Gerakan Paderi di Pantai Sumatera
* Bahaya, Murid yang Belum Siap Mental Pelajari Doktrin
Oleh Redaksi Padang Ekspres (http://www.padangekspres.com)

Di dalam SMMd Syekh Daud menjelaskan bahwa ilmu tasawuf tingkatan yaitu;
ilmu dasar, tarekat dan hakikat. Sedangkan para murid dapat digolongkan atas
tiga tingkat pula yaitu; orang mubtadi (penuntut baru), orang mutawassith
(pelajar tingkat menengah, tingkat kedua) dan orang muntahi (tingkat
lanjut).

Menurut Syekh Daud materi pelajaran yang diberikan harus disesuaikan dengan
kemampuan murid di masing-masing tingkat. Untuk ilmu dasar yang diikuti oleh
orang mubtadi sebaiknya murid disuruh membaca syarah karya-karya Imam
Ghazali, seperti Ihya Ulum Al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama),
Baidayatul Hidayat (Permulaan Petunjuk), Minhaj Al-Bidin (Jalan Orang yang
Beribadah) dan Albab Al-Hayat (Bab Kehidupan).

"Ihya Ulum al-Din satu kitabnya. Kepada mubtadi lebih manfaatnya. Bidayatul
hidayat kemudiannya. Karangan Imam Ghazali juga adana". "Minhaj al-Abidin
suatu lagi. Itupun manfaat kepada mubtadi. Albab al-Hayat demikian lagi.
Semuanya karangan Imam Ghazali".

Setelah murid lulus dalam jenjang pertama itu, maka para murid boleh
melanjutkan ke jenjang kedua, yaitu tarikat. Mereka sudah boleh disebut
orang mutawassith. Kepada mereka dianjurkan untuk membaca kitab-kitab yang
lebih dalam dan rumit, seperti Syarah Hikam, syarah atas karya-karya Adrani
dan Syarqawi:

"Aduhai tuan engkau nan dengar. Syarah Hikam sangat mu'tabar. Ini ibad
syurrah yang besar. Pahamnya manis seperti ambar". "Yang kedua Adrani nama
syarahnya. Kalimahnya baik di dalam pahamnya. Jikalau tuan di dalam ahlinya.
Sukar mendapat murad maksudnya". "Syarqawi itu syurah yang ketiga. Makna di
dalam tiada terhingga. Bahrul qadim siapa menduga. Itulah raja yang
mardahika".

Seorang murid yang sudah lulus pada jenjang kedua ini boleh mengikuti
jenjang berikutnya, yaitu mengkaji hakikat. Kini merekalah orang muntahi
yang akan mengkaji hakikat Tuhan. Dalam istilah sekarang mereka disebut
mempelajari filsafat yang sangat abstrak.

Sebagai bekas seorang guru ketika masih berada di Sumatera, Syekh Daud
mungkin merasakan adanya bahaya apabila seorang murid yang belum siap mental
mempelajari doktrin Martabat Tuhan.

Di Minangkabau, kalau seorang murid sudah berhasil melewati tahap ini, maka
mereka disebut sudah putus makrifat (telah mencapai pengetahuan yang tinggi
dan sempurna). Oleh karena itu diperlukan guru yang pintar (mursyid) untuk
mengajarkan hal yang abstrak ini. Kenyataannya memang seringkali didapati di
surau-surau Minangkabau.

Melalui teks SMMd kita dapat mengidentifikasi pemikiran Syekh Daud,
khususnya mengenai pentingnya menuntut ilmu dan penolakannya terhadap sikap
taklid dalam beragama. Ia mengawali teks SMMd dengan gambaran yang indah dan
memukai tentang kelokan Tanah Suci Makah. Padahal, tujuan di belakang itu
sebenarnya adaah mengkritik orang-orang yang pergi haji hanya karena
ikut-ikutan atau hanya karena mengikuti tradisi nenek moyang yang sudah
turun temurun, tanpa mengetahui hakikat yang sebenarnya dari ibadah haji.

"Setengah orang yang pergi haji. Tiada perduli hendak mengaji. Disangkanya
muda hukumnya haji. Sorban jubah sudahalah jadi". "Setengah haji berniat
celaka. Pergi ke Makah hendak berniaga. Menjadai halawa dengan. Itulah
basyarah (orang) negeri kita". Itulah kasad (niat) orang jahil. Pegi haji
memasarkan nakhil (korma). Pergianya itu tiada berfikir. Tiada sayang
hajinya bathil". "Tiap-tiap tahun banyak yang haji. Setengahnya kasad karena
puji".

Kembali dari Haji

Apakah ada yang lebih membanggakan hati seorang perantau Minangkabau selain
menerima pujian dari orang kampungnya? Merantau adalah cara untuk emnaikan
pamor di mata orang kampung.

Kapankah Syekh Daud kembali ke Sumatera? Berdasarkan keterangan Arnold
Snackey, Syekh Daud terdampar di Trumon, Aceh Selatan, pada tahun-tahun
terakhir masa pemerintahan Raja Bujang yang mangkat tahun 1835. Snackey
mengatakan, bahwa Syekh Daud diangkat menjadi guru agama Putra Mahkota Nyak
Batak yang baru berumur 12 atau 13 tahun yang kemudian naik nobat
menggantikan ayahnya.

Kalau begitu besar kemungkinan Syekh Daud pulang dari Makah sekitar tahun
1833 atau 1834. Perkiraan ini terasa cocok dengan keterangan Arnold Sanckey
yang mengatakan: "Di sana (Trumon) ija (Syekh Daud) kawin dan djadi goeroe
besar tjara madzhab Hanifi. Ika kahwin itoe dengan seorang poetri, sanak
Radja Boedjang Teroemoen dan diantara anaknja dengan poetri itu adalah
seorang yang kemoedian djoega ternama, ija itoe Toenkoe Sjech Mohamad Adam."
(bersambung)

RaNK MaRoLa
http://groups.yahoo.com/group/solok-selatan/



____________________________________________________

Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke