Crosposting dari ranah-minang.com --------------------------------- Festival Minangkabau, Festival Seni atau Pembangunan? 27/12/2004 - 18:23
Ranah Minang - Mendengar nama Festival Minangkabau, yang terbayang adalah sebuah festival yang sarat dengan muatan budaya, seni, tradisi dan berbagai hal lain yang kental nuansa Minangkabaunya. Apalagi, Festival Minangkabau diklaim sebagai salah satu kegiatan untuk mambangkik batang tarandam, untuk mengangkat kembali harkat dan martabat budaya Minangkabau yang belakangan warnanya sudah mulai pudar. Karena itu, festival ini disebut juga dengan Pekan Budaya Minangkabau. Dengan terbangkitnya kembali batang yang sudah tarandam itu, diharapkan akan diikuti dengan peningkatan dunia pariwisata Sumbar, yang memang sejak lama dikenal sebagai daerah yang kukuh memegang adatnya. Bahkan banyak orang luar Minangkabau yang tidak asing dengan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Hanya saja, penerapan falsafah ini masih pantas dipertanyakan dalam kehidupan sehari-hari. Lalu, festival yang memakan biaya sekitar Rp 1,2 miliar ini diharapkan bisa mengapungkan kembali semua yang berbau Minangkabau, sehingga dunia pariwisata Sumbar yang digembar-gemborkan mengandalkan wisata adat dan budaya di samping panorama alamnya itu, juga bisa ikut terangkat ke permukaan. Namun benarkah Festival Minangkabau mengapungkan kembali segala yang berbau Minangkabau? Benarkah festival yang diadakan di kawasan Taman Budaya Sumbar, di Jalan Diponegoro, Padang ini membangkitkan kembali rasa ke-Minangkabau-an kita? “Di sini banyak yang jualan. Harganya diskon lagi,” kata seorang ibu berpakaian seragam dinas sebuah instansi pemerintah saat ditemui di sekitar Taman Budaya Padang, Rabu (22/12) sore. Si ibu berusaha menjawab pertanyaan dengan singkat-singkat saja, karena dia terlihat sedang berkonsentrasi memilih pakaian anak-anak di arena festival tersebut. “Mumpung murah,” katanya sambil nyengir. Apa yang dilakukan si ibu pegawai tersebut merupakan sebuah gambaran nyata tentang kondisi festival tersebut. Bukan cuma membingungkan, festival yang katanya lebih banyak mengapungkan kegiatan budaya dan kesenian, terutama seni tradisi tersebut, ternyata tidak ada bedanya dengan pameran pembangunan yang dulu dilaksanakan hampir setiap tahun. Mulai dari pakaian anak-anak sampai pop corn dan celana dalam, semuanya ada di Festival Minangkabau. Begitu juga dengan sepeda motor sampai ke mainan ulat yang bergerak seperti ulat benaran jika tali yang mengikatnya ditarik-tarik. Kalau pun haus, segala jenis makanan dan minuman sampai ke warung rokok dan warung yang menyediakan indomi telur ada di arena festival budaya itu. Pokoknya, kalimat “Festival Minangkabau” yang dicantumkan di gerbang masuk arena festival dan di poster-poster serta spanduk yang banyak bertebaran di Kota Padang, menjadi sebuah kalimat yang pantas diberi tanda tanya besar. Benarkan ini Festival Minangkabau, yang katanya lebih mengutamakan penampilan budaya dan seni tradisi Minang tersebut? “Saya malas berkomentar, belum saatnya. Tapi sebagai gambaran, begitulah kalau semuanya dikelola langsung oleh birokrat. Orang yang jarang bersentuhan dengan dunia kesenian tiba-tiba harus mengelola sebuah kegiatan seni yang cukup besar,” kata Ivan Adilla, Ketua Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB), yang ditemui di Kantor DKSB, yang letaknya tak sampai sepenghisap rokok dari arena festival. Namun hanya itu, karena untuk diajak berbincang lebih jauh tentang festival tersebut, Ivan Adilla menolak. Memang membingungkan. Katanya festival budaya, tapi yang dilihat lebih banyak orang berjualan. Sedangkan pementasan kesenian dan budaya Minangkabau itu sendiri, justru menjadi bagian kecil dari kegiatan festival yang berlangsung sejak 18-25 Desember tersebut. Itupun bisa dikatakan sepi pengunjung. Karena di manapun, yang namanya pengunjung, apalagi bila pengunjung itu kaum hawa, lebih tertarik untuk mendatangi kios-kios yang memamerkan berbagai macam produk mereka. Sehingga tidak heran bila kemudian pementasan kesenian dan kebudayaan yang mengambil tempat pada beberapa ruangan di Taman Budaya, banyak yang sepi pengunjung. Lihat saja pameran kebudayaan Minangkabau yang banyak menampilkan gambar-gambar Padang dan beberapa daerah lain tempo doeloe, yang digelar di salah satu ruangan di Museum Adityawarman, yang tepat berada di depan Taman Budaya. Pengunjung yang datang ke ruangan ini bisa dihitung dengan jari. Begitu juga dengan kegiatan seminar sastra yang juga digelar sebagai bagian dari festival. Malah, seminar ini pesertanya jauh lebih sedikit dibandingkan lainnya. Tapi walau bagaimanapun, festival ini sudah dilaksanakan, walaupun sebenarnya lebih layak disebut sebagai pameran pembangunan, karena lebih banyak menampilkan perusahaan atau daerah lain yang melakukan promosi tentang kesempatan dan peluang berinvestasi di daerahnya masing-masing. Sehingga tidak heran jika kemudian ada seorang pengunjung yang justru menyebut festival itu sebenarnya lebih layak disebut sebagai pasar malam. Tapi setidaknya, festival ini memberikan kemudahan bagi ibu-ibu yang ingin berbelanja murah. Semuanya tersedia. Celana dalam, pakaian anak, cendol, sepeda motor, beras, telepon seluler, balon warna-warni, sate dan teh talua, semuanya ada di sini. Harganya pun di diskon! (Bonk/RM) ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting ------------------------------------------------------------ Tata Tertib Palanta RantauNet: http://rantaunet.org/palanta-tatatertib ____________________________________________________