Segenggam Gundah (Ode untuk Para Ayah)
Publikasi: 03/05/2005 12:59 WIB

eramuslim - Subuh tadi saya melewati sebuah rumah, 50
meter dari rumah saya dan melihat seorang isteri
mengantar suaminya sampai pagar depan rumah. "Yah,
beras sudah habis loh...," ujar isterinya. Suaminya
hanya tersenyum dan bersiap melangkah, namun
langkahnya terhenti oleh panggilan anaknya dari dalam
rumah, "Ayah, besok Agus harus bayar uang praktek."

"Iya...," jawab sang Ayah. Getir terdengar di telinga
saya, apalah lagi bagi lelaki itu, saya bisa menduga
langkahnya semakin berat.

Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya
semalam, "Besok beliin lengkeng ya" dan saya hanya
menjawabnya dengan "Insya Allah" sambil berharap anak
saya tak kecewa jika malam nanti tangan ini tak
berjinjing buah kesukaannya itu.

Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar, "Jangan
lupa, pulang beliin susu Nadia ya". Kontan saja SMS
itu membuat teman saya bingung dan sedikit berkelakar,
"Ini, anak siapa minta susunya ke siapa". Saya pun
sempat berpikir, mungkin jika SMS itu benar-benar
sampai ke nomor sang Ayah, tambah satu gundah lagi
yang bersemayam. Kalau tersedia cukup uang di kantong,
tidaklah masalah. Bagaimana jika sebaliknya?

Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah
mereka, mengiringi setiap langkah hingga ke kantor.
Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang sudah
habis, bayaran sekolah anak yang tertunggak sejak
bulan lalu, susu si kecil yang tersisa di sendok
terakhir, bayar tagihan listrik, hutang di warung
tetangga yang mulai sering mengganggu tidur, dan
segunung gundah lain yang kerap membuatnya terlamun.

Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat
isterinya tersenyum, meyakinkan anak-anaknya tenang
dengan satu kalimat, "Iya, nanti semua Ayah bereskan,"
meski dadanya bergemuruh kencang dan otaknya berputar
mencari jalan untuk janjinya membereskan semua gundah
yang ia genggam.

Maka sejarah pun berlangsung, banyak para Ayah yang
berakhir di tali gantungan tak kuat menahan beban
ekonomi yang semakin menjerat cekat lehernya. Baginya,
tali gantungan tak bedanya dengan jeratan hutang dan
rengekan keluarga yang tak pernah bisa ia sanggupi.
Sama-sama menjerat, bedanya, tali gantungan menjerat
lebih cepat dan tidak perlahan-lahan.

Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya
berlumuran darah sambil menggenggam sebilah pisau
mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan
gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di
dalam penjara. Yang pasti, tak henti tangis bayi di
rumahnya, karena susu yang dijanjikan sang Ayah tak
pernah terbeli.

Tak jarang para Ayah yang terpaksa menggadaikan
keimanannya, menipu rekan sekantor, mendustai atasan
dengan memanipulasi angka-angka, atau berbuat curang
di balik meja teman sekerja. Isteri dan anak-anaknya
tak pernah tahu dan tak pernah bertanya dari mana uang
yang didapat sang Ayah. Halalkah? Karena yang penting
teredam sudah gundah hari itu.

Teramat banyak para isteri dan anak-anak yang setia
menunggu kepulangan Ayahnya, hingga larut yang
ditunggu tak juga kembali. Sementara jauh disana,
lelaki yang isteri dan anak-anaknya setia menunggu itu
telah babak belur tak berkutik, hancur meregang nyawa,
menahan sisa-sisa nafas terakhir setelah dihajar massa
yang geram oleh aksi pencopetan yang dilakukannya.
Sekali lagi, ada yang rela menanggung resiko ini demi
segenggam gundah yang mesti ia tuntaskan.

Sungguh, di antara sekian banyak Ayah itu, saya
teramat salut dengan sebagian Ayah lain yang tetap
sabar menggenggam gundahnya, membawanya kembali ke
rumah, menyertakannya dalam mimpi, mengadukannya dalam
setiap sujud panjangnya di pertengahan malam, hingga
membawanya kembali bersama pagi. Berharap ada rezeki
yang Allah berikan hari itu, agar tuntas satu persatu
gundah yang masih ia genggam. Ayah yang ini, masih
percaya bahwa Allah takkan membiarkan hamba-Nya berada
dalam kekufuran akibat gundah-gundah yang tak pernah
usai.

Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan semua gundahnya
tanpa harus menciptakan gundah baru bagi keluarganya.
Karena ia takkan menuntaskan gundahnya dengan tali
gantungan, atau dengan tangan berlumur darah, atau
berakhir di balik jeruji pengap, atau bahkan
membiarkan seseorang tak dikenal membawa kabar buruk
tentang dirinya yang hangus dibakar massa setelah
tertangkap basah mencopet.

Dan saya, sebagai Ayah, akan tetap menggenggam gundah
saya dengan senyum. Saya yakin, Allah suka terhadap
orang-orang yang tersenyum dan ringan melangkah di
balik semua keluh dan gundahnya. Semoga. (Bayu Gautama)



_______________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke