Tulisan di cimbuak.net dibawah ini mungkin bisa
direnungkan oleh awak, sebagai Ninik Mamak atau
penghulu.
Salam
Erwin Moechtar, 45 


http://www.cimbuak.net/content/view/497/56/

Ninik Mamak Di Persimpangan Jalan 

Menurut adat, Pangulu atau Ninik Mamak itu sama, tidak
bertinggi berendah, duduk sahamparan/duduak samo
randah, kok tagak samo tinggi.
Untuk pengetahuan kita, dibawah ini diutarakan serba
sedikit mengenai hal diatas, bak kato nan tuo-tuo :
Kok kurang tukuak manukuak dan kok singkek uleh
mauleh, mudah-mudahan bermamfaat bagi sanak sudaro
sarato anak kamanakan nan alun tahu.

1. Sebelum Kemerdekaan
Setiap pribadi dari Datuk atau Pangulu,
sedapat-dapatnya harus bertempat tinggal/berdomisili
di kampung.
Gunanya ialah supaya beliau selalu melihat-lihat dan
atau mengawasi anak kemenakan yang berada dibawah
naungannya. Disamping itu dimaksudkan pula agar beliau
menyempatkan diri melakukan sholat Jum’at di kampung.
Ketentuan ini juga berlaku bagi para Datuk/Pangulu
yang tidak kawin/belum pernah berumah tangga di
kampung.
Pada kesempatan  bertemu muka dengan orang
kampung/jemaah  masjid yang lazimnya dibacakan
pengumuman-pengumuman atau keputusan-keputusan yang
telah diambil oleh Kerapatan Adat/Musyawarah
Datuk/Pangulu di Balairung, misalnya menyangkut pajak
nagari, aturan kerja bakti/gotong royong memperbaiki
banda/selokan, irigasi, jalan desa, hukuman/teguran
kepada pembangkang-pembangkang adat dstnya.
Biasanya sekembali dari sholat jum’at di masjid beliau
mampir di kediaman kemenakannya, dan ini diatur secara
bergilir, kalau minggu ini di rumah si A, maka minggu
yang akan datang ke rumah si B, dan begitulah
seterusnya. Ketentuan ini merupakan keharusan bagi
setiap Datuk/Pangulu Minangkabau yang bersuku
Ibu/Matriarchaat (Matrilinial).
Kunjungan ke rumah kemenakan ini dimaksudkan antara
lain untuk menyampaikan kepada mereka
maklumat/pengumuman yang barusan saja di lewakan
(disiarkan) di masjid.
Disamping itu untuk lebih memperat hubungan antara
sang mamak dan kemenakan. Pada kesempatan seperti itu
ditanyakan kondisi si kemenakan seperti kesehatan
mereka, keadaan ekonominya dan lain-lain. Adalah
kewajiban mamak untuk  waktu siang  maliek-liek dan
kok malam manadanga-dangakan, sebab bak bunyi pepatah
petitih adat :
   Kamanakan barajo ka mamak
   Mamak barajo ka alua jo patuik 
   Kamanakan manyambah lahia
   Mamak manyambah bathin
Tidak jarang terjadi justru pada siang Juma’at itu
pula kesempatan bagi kaum Ibu menemui Angku Kadhi guna
melaporkan segala sesuatu yang menyangkut rumah
tangga, sesuai dengan isi Taqlik Nikah. Karena mamak
yang bersangkutan hadir, maka Tuan Kadhi lansung
berembuk dan memecahkan persoalan tesebut, Tuan kadhi
tak akan berani memutuskan segala sesuatau yang secara
sepihak tanpa melalui perundingan dengan Ninik Mamak,
satu dan lain, karena berpegang teguh kepada
Undang-undang  tak tertulis : “Rumah ba
mamak/Tungganai dan Kampuang ba Urang Tuo, kok hati
samo dicacah, hati gajah samo di lapah”. 
Selanjutnya, supayo nak duo pantun sairiang :”Kok elok
samo dipakai, tapi kok buruak tasuo dibuang jo
etongan”. Landasan untuk semuanya itu adalah Tali
Bapilin Tigo, yakni Adat, Agamo dan Pemerintahan.

2. Setelah Kemerdekaan
Begitu revolusi pecah, maka teori adat seperti di
uraikan diatas berubah pula, Para Datuk/Pangulu pada
ke empat nagari banyak pergi merantau, sementara
Datuk/Pangulu yang baru diangkatpun tidak jarang
ikut-ikutan meninggalkan kampung halaman. Menurut
pengamatan di lapangan tidak lebih 40% dari jumlah
Datuk/Pangulu yang tetap bertahan di kampung,
sementara yang 60% berada diluar kampung asalnya.
(Masalahnya tentu lebih banyak disebabkan oleh
ekonomi).
Merisaukan memang, namun demikianlah kenyataan kini,
“Kuek (Kuat) sapik karano jari dan kuek kampo karano
minyak”.
Mamanda Datuk/Pangulu  merasa kurang tanggung jawabnya
lagi untuk menyilau-nyilau kamanakan. Lalu menanyakan
beberapa orang anak sekarang, tanah perumahan nan
disinan/situ baa kini, kemudian menyisiasati kamanakan
nan di anu dan mereka yang telah cukup umur untuk
dijodohkan dan sebagainya.
Diperparah  lagi mengenai hak jual tanah serta
menggadai yang sudah tidak perlu melalui musyawarah
mufakat. Peranan Pangulu/Ninik Mamak yang dulu
demikian besar, kini sudah tidak kedengaran lagi.
Padahal ketentuan itu dimaksudkan untuk membendung
kesewenang-wenangan sehingga anak kemenakan
terpelihara dari watak “basihabih/basitandeh” alias
main jual serta main sikat. 
Seperti diketahui, seorang baru/boleh dibenarkan
menggadai dan menjual apabila dijumpai tiga perkara
yang dapat mendatangkan ‘aib keluarga’ , yaitu :
a. Rumah Gadang katirisan
b. Gadih gadang (dewasa) tak berlaki (bersuami)
c. Mayat tabujua (terbujur) ditengah rumah.
Kalau pada suatu kaum kedapatan salah satu dari yang
tiga tersebut , barulah dapat dilakukan Rumah Gadang
Tahan rajok dan Kabau Gadang Tahan Tariak. Artinya
kalau sudah sangat terpaksa dan tidak bisa saling
tenggang lagi.
Lalu bagaimana kini ? Angku-angku Datuak/Pangulu yang
tergolong Pangulu Tiga Zaman sudah sangat langka,
boleh dihitung dengan jari banyaknya.
Barangkali bukanlah manyaruangkan baju sampik sembari
bernostalgia sekali-sekali kita menoleh ke belakang –
ke saat, dimana adat itu memang tak lekang di panas
dan tak lapuak dek hujan – untuk mengingat-ingat  jasa
para  pendahulu kita (Ninik Mamak) yang demikian
beribawa, tidak hanya terhadap anak kemenakan
(didalam) akan tetapi juga keluar (terhadap
pemerintah, sekalipun pemerintah asing). Ada undang
adat mengatakan : “Nak barundiang dalam barih”.
Akankah masa-masa bahagia dimana anak kemenakan merasa
terlindungi itu dapat kembali lagi dialam merdeka ini
?
Kendatipun Ninik Mamak/Pangulu ada jauh berdomisili
jauh di rantau, namun mentalitas terhadap kemenakan di
kampung tidak berubah, artinya senantiasa
memperhatikan kemenakan tersebut. Dan hal ini
dilakukan melalui alat komunikasi mutakhir, telepon, 
surat dan pesawat terbang, yang menyebabkan hubungan
dan komunikasi lebih cepat.
Sebaliknya kalau Ninik Mamak/Pangulu itu bertempat
tinggal di kampung halaman, akan tetapi mentalitas dan
perhatiannya terhadap kemenakan tidak ada, maka ia
“basibanam saja di rumah istrinya”, artinya perhatian
tidak ada sama sekali.
Yang menjadi pokok utama adalah mentalitas Ninik
Mamak/Pangulu terhadap kemenakan, jauh dan dekat tidak
menjadi soal di zaman sekarang dengan alat serba
mutakhir kemana saja dekat dan cepat.



__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke