Jumat, 27 Mei 2005 ( Jawapost )

Keharusan memakai busana Islam (bagi siswa/i Islam) seperti dberlakukan di 
Padang mengandung banyak persoalan. Bagaimana DirekturPusat Studi 
Antarkomunitas (Pusaka) di Padang, Sudarto? Inilah penuturannya kepada 
Novriantoni (19/5) dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK). Sebelum pemberlakuan 
wajib Jilbab bagi siswa SMU sebelumnya telah diterapkan di Solok , dan 
sepertinya tidak ada gejolak .

Zul amry piliang .

Jumat, 27 Mei 2005 ( Jawapost )

Seperti apa kisah mewajibkan jilbab di Padang itu?

Di Sumbar (Sumatera Barat) secara tidak langsung ada asumsi yang 
mengasosiasikan keminangan dengan keislaman. Jadi, orang-orang menyatakan 
Minangkabau adalah Islam dan Islam adalah Minangkabau. 

Karena itu, sekalipun muncul kebijakan daerah menyangkut agama (Islam), mereka 
akan selalu mengasosiasikannya dengan keminangkabauan itu sendiri. 

Kebijakan ini digulirkan karena asumsi menurunnya moral kalangan muda dan 
remaja Padang karena pakaian mereka dianggap kurang Islami. Karena itu, pilihan 
kebijakannya mengembalikan identitas keislaman masyarakat Padang dengan busana 
muslim. 

Kedua, sejak Wali Kota Fauzi Bahar terpilih, dia memang berupaya mengembangkan 
kegiatan keagamaan dalam bentuk program Pesantren Ramadan. Karena program itu 
berhasil, mereka terpikir untuk merambah kebijakan-kebijakan keagamaan lain. 

Selain kewajiban Pesantren Ramadan, anak-anak SMP dan SMU juga diwajibkan ikut 
program Wirid Remaja dua minggu sekali. Ada juga kegiatan Didikan Subuh bagi 
anak-anak TK dan SD. Kegiatan itu diwajibkan tiap Minggu pagi. Salah satu 
syarat yang menyertai semua kegiatan itu adalah kewajiban mengenakan jilbab 
bagi yang putri. 

Pada awalnya, kewajiban itu hanya dikenakan kepada siswa-siswa sekolah dasar 
dan menengah muslim. Tapi, kemudian muncul pertanyaan tentang anak-anak Islam 
yang bersekolah di luar sekolah Islam seperti Don Bosco, tempat saya mengajar 
agama Islam, atau sekolah negeri. 

Usul yang muncul: yang Islam wajib mengenakan jilbab, sementara yang tidak 
Islam dianjurkan memakai baju kurung. Tapi, yang menghebohkan, di beberapa SMU 
ternyata sudah ada beberapa kasus pemaksaan. Pada waktu ujian, anak-anak yang 
nonmuslim bahkan ditanya, "Kenapa Anda tidak pakai jilbab?" Jadi, itulah 
kronologi singkatnya.


Apakah instruksi ini turun setelah dibincangkan secara luas di masyarakat?

Perbincangan dengan masyarakat umum dan luas memang tidak ada. Tapi, saya kira, 
wali kota sudah punya tim ahli yang membisikkan tentang perlunya 
program-program formalisasi syariat. 

Jadi, dengan dukungan itu, dia tidak butuh lagi perbincangan yang partisipatif. 
Karena itu, ketika kebijakan sudah marak dibincangkan, anak-anak Islam di Don 
Bosco mulai gelisah walaupun kebijakannya baru akan berlaku efektif secara 
formal pada tahun ajaran depan. Mereka gelisah karena kebijakan ini butuh 
ongkos lagi karena mereka telah mengenakan pakaian umum seperti biasa. 


Menurut Anda, apakah wali kota Padang pernah berdialog dengan komunitas lintas 
agama sebelum mengambil kebijakan?

Sepengetahuan saya, belum pernah. Tetapi, dia mendapat dukungan dari 
tokoh-tokoh Islam. Karena sudah merasa mendapat dukungan kuat dari masyarakat, 
dia tidak merasa perlu lagi bermusyawarah dengan kaum minoritas. Mungkin, 
baginya, yang lain hanya tamu di Padang. 


Apakah ada resistensi dari masyarakat atas kebijakan ini?

Kemarin saya mendengar, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menolak kebijakan 
itu. Mereka menganggap ini sudah bentuk intervensi pemerintah atas persoalan 
yang sangat pribadi; menyangkut apa yang orang pakai. 

Sayang, di mainsteam masyarakat Padang sudah ada pola pikir yang monolitik soal 
ini. Karena itu, resistensi masyarakat sipil Islam sendiri tidak ada karena 
kebijakan itu sudah dianggap kebaikan bagi masyarakat. Resistensi yang lebih 
mirip suara lirih datang dari masyarakat Katolik. Mereka menyatakan, mengapa 
hal-hal seperti ini mesti dipaksakan? 


Katanya umat non-Islam hanya dianjurkan berbusana Islami, tidak diwajibkan!

Tapi, saya juga mendengar dari beberapa komunitas Katolik bahwa ada pemaksaan 
tidak langsung. Misalnya, muncul pertanyaan seperti ini: kenapa Anda tidak 
patuh? Lebih dari itu, di Padang ada jargon ’adat basandi syara’; syara’ 
basandi kitabullah. 

Jargon itu secara tidak langsung mengandaikan bahwa orang non-Minang tidak 
harus ada di ranah Minang. Atau, kalaupun ada, mereka harus menaati sepenuhnya 
aturan-aturan di sana agar tidak dianggap menyimpang dari adat dan syara’. 

Wali Kota Padang Fauzi Bahar memang menampik kalau dia mewajibkan nonmuslim 
berbusana muslim. Tapi, dia juga beranalogi dengan menyatakan tidak senang 
melihat sekawanan domba berbulu putih di sela beberapa domba yang berwarna 
lain. 


Bagaimana Anda melihat logika seperti ini?

Saya kira, logika itu naif. Mengapa persoalan yang bersifat simbolik seperti 
itu mesti diatur dan ingin diseragamkan sedemikian rupa? Masih banyak persoalan 
lain yang lebih substansial. 

Bagi saya, mengurusi pakaian merupakan bagian dari intervensi pemerintah dalam 
praktik keagamaan masyarakat. Itu tidak bisa dibenarkan. Kenapa Pak Wali Kota 
tidak berpikir seperti kabupaten ber-PAD (pendapatan asli daerah) rendah di 
Bali, tapi justru mampu membebaskan siswa-siswanya dari SPP atau biaya sekolah? 
Kenapa tidak memikirkan hal-hal yang lebih substansial seperti itu? 

Karena itu, wajar kalau sebagian LSM, seperti Lembagai Bantuan Hukum (LBH) Kota 
Padang, mengajukan gugatan. Bagi mereka, kebijakan simbolisasi agama itu hanya 
cara lain untuk menutupi problem Padang yang lebih besar. Soal yang lebih 
penting umpamanya soal pembangunan pasar-pasar modern yang cenderung 
memarjinalkan masyarakat miskin. 

Hanya, karena masyarakat Padang cenderung sudah terjebak pada kebijakan 
simbolis, mereka lalu menerima saja dan tidak sempat mengontrol perilaku 
pemerintah lainnya. Mereka secara aklamasi mendukung dan tidak ada resistensi. 


Konon, program ini bagian dari paket pemberantasan pekat (penyakit masyarakat). 
Anda melihat kaitannya?

Lupakan dulu soal kaitan itu! Sebab, sudah ada asumsi dari awal bahwa penyebab 
kemaksiatan adalah pakaian yang tidak sopan dan cenderung terbuka. Nah, agar 
kemaksiatan lebih minim, harus ada kebijakan pewajiban jilbab. Tapi, yang 
terlupa, sebetulnya kebijakan itu tidak berpengaruh signifikan terhadap 
pemberantasan pekat.

Bahkan, ada indikasi bahwa kebijakan itu akan cenderung menodai agama. 
Misalnya, anak-anak yang memakai jilbab tidak dari keinginan batinnya langsung 
akan tetap saja menganut pola pergaulan umumnya muda-mudi. Dia bisa saja mojok 
di pantai dengan mengenakan jilbab. Saya kira, hal seperti itu lebih tepat 
disebut degradasi syariat, bukan penerapan syariat.


Apa problem mendasar Padang selain soal pekat?

Yang paling kasat mata dalam bidang pendidikan adalah soal susahnya membayar 
SPP, seperti yang saya dengar langsung dari anak didik saya. Menurut saya, ini 
persoalan yang lebih serius. Soal yang lebih luas dari itu adalah soal 
kemiskinan yang mestinya ditangani lebih serius. Pemberian tunjangan dan 
lainnya untuk orang miskin mestinya harus diutamakan. Kenapa bukan soal itu 
yang dijadikan prioritas? 

Selain itu, masih ada soal yang masih masuk lingkup pendidikan. Dua tahun lalu, 
Sumbar ternyata berada di posisi terendah dan terpuruk dalam prestasi 
pendidikan. Ranking Sumbar terendah di seluruh Indonesia, bahkan di bawah Irian 
Jaya.(*)


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 
_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke