Peran Islam Dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi
Oleh: M. Shiddiq al-Jawi
Publikasi 18/03/2005
(http://www.hayatulislam.net/comments.php?id=480_0_1_0_C7)

hayatulislam.net - Ringkasan

Peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah
yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang
ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib
dijadikan landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu
pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala
macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu
pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat
diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak
dan tidak boleh diamalkan. Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari
Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan
sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan
umat Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang
ada sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan
iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam).
Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh Syariah
Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek telah diharamkan oleh Syariah, maka
tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat
sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Pengantar

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang
berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai
sarana modern industri, komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti
amat bermanfaat. Dengan ditemukannya mesin jahit, dalam 1 menit bisa
dilakukan sekitar 7000 tusukan jarum jahit. Bandingkan kalau kita menjahit
dengan tangan, hanya bisa 23 tusukan per menit (Qardhawi, 1997). Dahulu Ratu
Isabella (Italia) di abad XVI perlu waktu 5 bulan dengan sarana komunikasi
tradisional untuk memperoleh kabar penemuan benua Amerika oleh Columbus (?).
Lalu di abad XIX Orang Eropa perlu 2 minggu untuk memperoleh berita
pembunuhan Presiden Abraham Lincoln. Tapi pada 1969, dengan sarana
komunikasi canggih, dunia hanya perlu waktu 1,3 detik untuk mengetahui kabar
pendaratan Neil Amstrong di bulan (Winarno, 2004). Dulu orang naik haji
dengan kapal laut bisa memakan waktu 17-20 hari untuk sampai ke Jeddah.
Sekarang dengan naik pesawat terbang, kita hanya perlu 12 jam saja.
Subhanallah…

Tapi di sisi lain, tak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan dan
membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Bom atom telah menewaskan
ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Pada tahun
1995, Elizabetta, seorang bayi Italia, lahir dari rahim bibinya setelah dua
tahun ibunya (bernama Luigi) meninggal. Ovum dan sperma orang tuanya yang
asli, ternyata telah disimpan di “bank” dan kemudian baru dititipkan pada
bibinya, Elenna adik Luigi (Kompas, 16/01/1995). Bayi tabung di Barat bisa
berjalan walau pun asal usul sperma dan ovumnya bukan dari suami isteri
(Hadipermono, 1995). Bioteknologi dapat digunakan untuk mengubah
mikroorganisme yang sudah berbahaya, menjadi lebih berbahaya, misalnya
mengubah sifat genetik virus influenza hingga mampu membunuh manusia dalam
beberapa menit saja (Bakry, 1996). Kloning hewan rintisan Ian Willmut yang
sukses menghasilkan domba kloning bernama Dolly, akhir-akhir ini diterapkan
pada manusia (human cloning). Lingkungan hidup seperti laut, atmosfer udara,
dan hutan juga tak sedikit mengalami kerusakan dan pencemaran yang sangat
parah dan berbahaya. Beberapa varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika
juga diindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tak sedikit yang
memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk melakukan kejahatan
dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, dan
perjudian.

Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk
ditengok kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh
dampak iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya
semiminal mungkin? Sejauh manakah agama Islam dapat berperan dalam
mengendalikan perkembangan teknologi modern? Tulisan ini bertujuan
menjelaskan peran Islam dalam perkembangan dan pemanfaatan teknologi
tersebut.

Paradigma Hubungan Agama-Iptek

Untuk memperjelas, akan disebutkan dulu beberapa pengertian dasar. Ilmu
pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang diperoleh
melalui proses yang disebut metode ilmiah (scientific method) (Jujun S.
Suriasumantri, 1992). Sedang teknologi adalah pengetahuan dan ketrampilan
yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia
sehari-hari (Jujun S. Suriasumantri, 1986). Perkembangan iptek, adalah hasil
dari segala langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan
mengembangkan iptek (Agus, 1999). Agama yang dimaksud di sini, adalah agama
Islam, yaitu agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw, untuk
mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya (dengan aqidah dan aturan
ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (dengan aturan akhlak,
makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia dengan manusia lainnya (dengan
aturan mu’amalah dan uqubat/sistem pidana) (An-Nabhani, 2001).

Bagaimana hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan
ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma
(Lihat Yahya Farghal, 1990: 99-119):

Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek
adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat,
agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah). Agama
tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan
pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik.
Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan
mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik
secara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal),
epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis
(berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).

Paradigma ini mencapai kematangan pada akhir abad XIX di Barat sebagai jalan
keluar dari kontradiksi ajaran Kristen (khususnya teks Bible) dengan
penemuan ilmu pengetahuan modern. Semula ajaran Kristen dijadikan standar
kebenaran ilmu pengetahuan. Tapi ternyata banyak ayat Bible yang
berkontradiksi dan tidak relevan dengan fakta ilmu pengetahuan. Contohnya,
menurut ajaran gereja yang resmi, bumi itu datar seperti halnya meja dengan
empat sudutnya. Padahal faktanya, bumi itu bulat berdasarkan penemuan ilmu
pengetahuan yang diperoleh dari hasil pelayaran Magellan. Dalam Bible
dikatakan:

“Kemudian daripada itu, aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat
penjuru angin bumi dan mereka menahan keempat angin bumi, supaya jangan ada
angin bertiup di darat, atau di laut, atau di pohon-pohon.” (Wahyu-Wahyu
7:1)

Kalau konsisten dengan teks Bible, maka fakta sains bahwa bumi bulat tentu
harus dikalahkan oleh teks Bible (Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi
Sekular-Liberal, www.insistnet.com) Ini tidak masuk akal dan problematis.
Maka, agar tidak problematis, ajaran Kristen dan ilmu pengetahuan akhirnya
dipisah satu sama lain dan tidak boleh saling intervensi.

Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang
menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, dus, tidak ada
hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara
independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan
paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler,
agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya,
tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang
dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap
tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan.

Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx (w. 1883) yang ateis
dan memandang agama (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama
menurutnya membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang
kejam. Karl Marx mengatakan:

“Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of the heartless
world, just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium
of the people.”

(Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak
berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa
ruh/spirit. Agama adalah candu bagi rakyat) (Lihat Karl Marx, Contribution
to The Critique of Hegel’s Philosophy of Right, termuat dalam On Religion,
1957:141-142) (Ramly, 2000: 165-166).

Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya
sama sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam paradigma
sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme, khususnya Materialisme
Dialektis (Yahya Farghal, 1994: 112). Paham Materialisme Dialektis adalah
paham yang memandang adanya keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus
menerus melalui proses dialektika, yaitu melalui pertentangan-pertentangan
yang ada pada materi yang sudah mengandung benih perkembangan itu sendiri
(Ramly, 2000: 110).

Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah
dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu
pengetahuan. Aqidah Islam –yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam
al-Qur`an dan al-Hadits-- menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran),
yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan
ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001).

Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya
berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami
dari ayat yang pertama kali turun (artinya) :

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. sl-‘Alaq
[96]: 1).

Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh
berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh
lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu
tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam
(Al-Qashash, 1995: 81).

Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan
bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan
berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu (Yahya
Farghal, 1994: 117). Firman Allah SWT:

“Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (Qs.
an-Nisaa` [4]: 126).

“Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Qs.
ath-Thalaq [65]: 12).

Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah Saw (w. 632 M) yang meletakkan
Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai
asas ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu, lalu
setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi
berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa
ketika di masa Rasulullah Saw terjadi gerhana matahari, yang bertepatan
dengan wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata, “Gerhana
matahari ini terjadi karena meninggalnya Ibrahim.” Maka Rasulullah Saw
segera menjelaskan:

“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau
kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan
Allah. Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya…” [HR. al-Bukhari dan
an-Nasa`i] (Al-Baghdadi, 1996: 10).

Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah Saw telah meletakkan Aqidah Islam
sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena
alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya
dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang tertera
dalam al-Qur`an:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang
berakal.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 190).

Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala
pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak
muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah
hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat
pada masa kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun 700 – 1400 M. Pada masa
inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur,
Al-Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w.
858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar
kedokteran, ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli
kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi (Tentang kejayaan iptek Dunia
Islam lihat misalnya M. Natsir Arsyad, 1992; Hossein Bahreisj, 1995; Ahmed
dkk, 1999; Eugene A. Myers 2003; A. Zahoor, 2003; Gunadi dan Shoelhi, 2003).

Aqidah Islam Sebagai Dasar Iptek

Inilah peran pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah Islam
harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma
Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah Saw.

Paradigma Islam inilah yang seharusnya diadopsi oleh kaum muslimin saat ini.
Bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Diakui atau tidak, kini
umat Islam telah telah terjerumus dalam sikap membebek dan mengekor Barat
dalam segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya hidup, termasuk dalam
konsep ilmu pengetahuan. Bercokolnya paradigma sekuler inilah yang bisa
menjelaskan, mengapa di dalam sistem pendidikan yang diikuti orang Islam,
diajarkan sistem ekonomi kapitalis yang pragmatis serta tidak kenal halal
haram. Eksistensi paradigma sekuler itu menjelaskan pula mengapa tetap
diajarkan konsep pengetahuan yang bertentangan dengan keyakinan dan keimanan
muslim. Misalnya Teori Darwin yang dusta dan sekaligus bertolak belakang
dengan Aqidah Islam.

Kekeliruan paradigmatis ini harus dikoreksi. Ini tentu perlu perubahan
fundamental dan perombakan total. Dengan cara mengganti paradigma sekuler
yang ada saat ini, dengan paradigma Islam yang memandang bahwa Aqidah Islam
(bukan paham sekularisme) yang seharusnya dijadikan basis bagi bangunan ilmu
pengetahuan manusia.

Namun di sini perlu dipahami dengan seksama, bahwa ketika Aqidah Islam
dijadikan landasan iptek, bukan berarti konsep-konsep iptek harus bersumber
dari al-Qur`an dan al-Hadits, tapi maksudnya adalah konsep iptek harus
distandardisasi benar salahnya dengan tolok ukur al-Qur`an dan al-Hadits dan
tidak boleh bertentangan dengan keduanya (Al-Baghdadi, 1996: 12).

Jika kita menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek, bukan berarti
bahwa ilmu astronomi, geologi, agronomi, dan seterusnya, harus didasarkan
pada ayat tertentu, atau hadis tertentu. Kalau pun ada ayat atau hadis yang
cocok dengan fakta sains, itu adalah bukti keluasan ilmu Allah yang meliputi
segala sesuatu (lihat Qs. an-Nisaa` [4]:126 dan Qs. ath-Thalaq [65]: 12),
bukan berarti konsep iptek harus bersumber pada ayat atau hadis tertentu.
Misalnya saja dalam astronomi ada ayat yang menjelaskan bahwa matahari
sebagai pancaran cahaya dan panas (Qs. Nuh [71]: 16), bahwa langit (bahan
alam semesta) berasal dari asap (gas) sedangkan galaksi-galaksi tercipta
dari kondensasi (pemekatan) gas tersebut (Qs. Fushshilat [41]: 11-12), dan
seterusnya. Ada sekitar 750 ayat dalam al-Qur`an yang semacam ini (Lihat
Al-Baghdadi, 2005: 113). Ayat-ayat ini menunjukkan betapa luasnya ilmu Allah
sehingga meliputi segala sesuatu, dan menjadi tolok ukur kesimpulan iptek,
bukan berarti bahwa konsep iptek wajib didasarkan pada ayat-ayat tertentu.

Jadi, yang dimaksud menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek bukanlah
bahwa konsep iptek wajib bersumber kepada al-Qur`an dan al-Hadits, tapi yang
dimaksud, bahwa iptek wajib berstandar pada al-Qur`an dan al-Hadits.
Ringkasnya, al-Qur`an dan al-Hadits adalah standar (miqyas) iptek, dan
bukannya sumber (mashdar) iptek. Artinya, apa pun konsep iptek yang
dikembangkan, harus sesuai dengan al-Qur`an dan al-Hadits, dan tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits itu. Jika suatu konsep iptek
bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits, maka konsep itu berarti harus
ditolak. Misalnya saja Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah
hasil evolusi dari organisme sederhana yang selama jutaan tahun berevolusi
melalui seleksi alam menjadi organisme yang lebih kompleks hingga menjadi
manusia modern sekarang. Berarti, manusia sekarang bukan keturunan manusia
pertama, Nabi Adam AS, tapi hasil dari evolusi organisme sederhana. Ini
bertentangan dengan firman Allah SWT yang menegaskan, Adam AS adalah manusia
pertama, dan bahwa seluruh manusia sekarang adalah keturunan Adam AS itu,
bukan keturunan makhluk lainnya sebagaimana fantasi Teori Darwin (Zallum,
2001). Firman Allah SWT:

“(Dialah Tuhan) yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia
menciptakan keturunannya dari sari pati air yang hina (mani).” (Qs.
as-Sajdah [32]: 7).

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal.” (Qs. al-Hujuraat [49]: 13).

Implikasi lain dari prinsip ini, yaitu al-Qur`an dan al-Hadits hanyalah
standar iptek, dan bukan sumber iptek, adalah bahwa umat Islam boleh
mengambi iptek dari sumber kaum non muslim (orang kafir). Dulu Nabi Saw
menerapkan penggalian parit di sekeliling Madinah, padahal strategi militer
itu berasal dari tradisi kaum Persia yang beragama Majusi. Dulu Nabi Saw
juga pernah memerintahkan dua sahabatnya memepelajari teknik persenjataan ke
Yaman, padahal di Yaman dulu penduduknya adalah Ahli Kitab (Kristen). Umar
bin Khatab pernah mengambil sistem administrasi dan pendataan Baitul Mal
(Kas Negara), yang berasal dari Romawi yang beragama Kristen. Jadi, selama
tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam, iptek dapat diadopsi
dari kaum kafir.

Syariah Islam Standar Pemanfaatan Iptek

Peran kedua Islam dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah Islam harus
dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram (hukum-hukum
syariah Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam pemanfaatan iptek, bagaimana
pun juga bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan, adalah yang telah
dihalalkan oleh syariah Islam. Sedangkan iptek yang tidak boleh
dimanfaatkan, adalah yang telah diharamkan syariah Islam.

Keharusan tolok ukur syariah ini didasarkan pada banyak ayat dan juga hadits
yang mewajibkan umat Islam menyesuaikan perbuatannya (termasuk menggunakan
iptek) dengan ketentuan hukum Allah dan Rasul-Nya. Antara lain firman Allah:

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan…” (Qs. an-Nisaa` [4]: 65).

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya…[i/]” (Qs. al-A’raaf [7]: 3).

Sabda Rasulullah Saw:

“[i]Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintah kami
atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Muslim].

Kontras dengan ini, adalah apa yang ada di Barat sekarang dan juga
negeri-negeri muslim yang bertaqlid dan mengikuti Barat secara membabi buta.
Standar pemanfaatan iptek menurut mereka adalah manfaat, apakah itu
dinamakan pragmatisme atau pun utilitarianisme. Selama sesuatu itu
bermanfaat, yakni dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka ia dianggap benar
dan absah untuk dilaksanakan. Meskipun itu diharamkan dalam ajaran agama.

Keberadaan standar manfaat itulah yang dapat menjelaskan, mengapa orang
Barat mengaplikasikan iptek secara tidak bermoral, tidak berperikemanusiaan,
dan bertentangan dengan nilai agama. Misalnya menggunakan bom atom untuk
membunuh ratusan ribu manusia tak berdosa, memanfaatkan bayi tabung tanpa
melihat moralitas (misalnya meletakkan embrio pada ibu pengganti),
mengkloning manusia (berarti manusia bereproduksi secara a-seksual, bukan
seksual), mengekploitasi alam secara serakah walaupun menimbulkan pencemaran
yang berbahaya, dan seterusnya.

Karena itu, sudah saatnya standar manfaat yang salah itu dikoreksi dan
diganti dengan standar yang benar. Yaitu standar yang bersumber dari pemilik
segala ilmu yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang amat mengetahui mana
yang secara hakiki bermanfaat bagi manusia, dan mana yang secara hakiki
berbahaya bagi manusia. Standar itu adalah segala perintah dan larangan
Allah SWT yang bentuknya secara praktis dan konkret adalah syariah Islam.

Penutup

Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa peran Islam yang utama dalam
perkembangan iptek setidaknya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam
sebagai paradigma pemikiran dan ilmu pengetahuan. Jadi, paradigma Islam, dan
bukannya paradigma sekuler, yang seharusnya diambil oleh umat Islam dalam
membangun struktur ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan syariah Islam sebagai
standar penggunaan iptek. Jadi, syariah Islam-lah, bukannya standar manfaat
(utilitarianisme), yang seharusnya dijadikan tolok ukur umat Islam dalam
mengaplikasikan iptek.

Jika dua peran ini dapat dimainkan oleh umat Islam dengan baik, insyaallah
akan ada berbagai berkah dari Allah kepada umat Islam dan juga seluruh umat
manusia. Mari kita simak firman-Nya:

“Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.” (Qs. al-A’raaf [7]: 96).

Wallahu a’lam.

Daftar Pustaka

1.   Agus, Bustanudin. 1999. Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial : Studi Banding
      Antara Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam. Jakarta : Gema Insani Press.
2.   Ahmed, Shabir et.al. 1999. Islam dan Ilmu Pengetahuan. Bangil :
      Al-Izzah.
3.   Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah
      Islam.  Bagil : Al-Izzah.
4.   ----------. 2005. “Al-Qur`an Mu’kjizat Yang Abadi”. Jurnal Al-Insan.
      Vol I, No. 1, Januari 2005. Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan
      Al-Insan. hal. 104-114.
5.   An-Nabhani, Taqiyuddin. 2001. Nizham Al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit :
      Hizbut Tahrir.
6.   Arsyad, M. Natsir. 1992. Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah : Dari Jabir
      Hingga Abdus Salam. Bandung : Penerbit Mizan.
7.   Bahreisj, Hossein. 1995. Menengok Kejayaan Islam. Surabaya : PT. Bina
      Ilmu
8.   Bakry, Nurchalis et.al. 1996. Bioteknologi dan Al-Qur`an Referensi
      Dakwah Dai Modern. Jakarta : Gema Insani Press.
9.   Farghal, Hasan. 1994. “Pokok Pikiran Tentang Hubungan Ilmu Dengan
      Agama”. Dalam Abdul Hamid Abu Sulaiman. Permasalahan Metodologis Dalam
      Pemikiran Islam. Jakarta: Media Da’wah.
10. Gunadi, RA & M. Shoelhi (Ed.). 2003. Khazanah Orang Besar Islam Dari
      Penakluk Jerusalem Hingga Angka Nol. Jakarta : Penerbit Republika.
11. Hadipermono, Syeichul. 1995. Bayi Tabung dan Rekayasa Genetika. Surabaya
      Wali Demak Press.
12. Myers, Eugene A.2003. Zaman Keemasan Islam Para Ilmuwan Muslim dan
      Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat (Arabic Thought and Western World in
      The Golden Age of Islam). Alih bahasa M.M. el-Khoiry. Yogyakarta :
      Fajar Pustaka Baru.
13. Qaradhawi, Yusuf. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta : Gema
      Insani Press.
14. Ramly, Andi Muawiyah. 2000. Peta Pemikiran Karl Marx [Materialisme
      Dialektis dan Materialisme Historis]. Yogyakarta : LKiS.
15. Suriasumantri, Jujun S.1986. Ilmu Dalam Perspektif Moral, Sosial, dan
      Politik. Jakarta : PT Gramedia
16. ----------. 1992. Ilmu Dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan
      Tentang Hakekat Ilmu. Cetakan X. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
17. Winarno, Budi. 2004. Globalisasi Wujud Imperialisme Baru. Yogyakarta :
      Tajidu Press.
18. Zahoor, A. 2003. Dominasi Ilmuwan Muslim Tahun 700 – 1400 M. Jakarta :
      Bina Mitra Press.
19. Zallum, Abdul Qadim. 2001. Demokrasi Sistem Kufur : Haram Mengambil,
      Menerapkan, dan Menyebarluaskannya. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah.
20. Zubair, A. Charis. 1997. Etika Rekayasa Menurut Konsep Islam. Yogyakarta
      Pustaka Pelajar.



_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke