Republika, Selasa, 21 Juni 2005

Etika Orang Minang Semakin Merosot? 

Oleh : Ahmad Syafii Maarif 



Sesungguhnya kuranglah elok rasanya mengkritik sikap keseharian suku sendiri. 
Bukankah itu bagaikan menepuk air di dulang, akan tepercik ke muka sendiri? 

Tetapi, masalahnya adalah kenyataan semakin banyaknya keluhan perantau Minang 
yang pulang kampung. Mereka merasakan ada sesuatu yang kurang beres dalam 
kultur Minang kontemporer, terutama yang berkaitan dengan etika dan tatakrama 
terhadap tamu. 

Seorang dirjen asal Minang pernah mengeluh kepada saya betapa berubahnya 
masyarakat Minang sekarang; tidak memedulikan tamu, padahal tamu itu datang 
untuk memberikan bantuan. Ini tidak berarti bahwa tamu itu ingin diperlakukan 
seperti raja. Tidak! Yang mereka ingin lihat adalah sikap wajar dari masyarakat 
terhadap kedatangannya. 

Kewajaran inilah yang semakin punah dari ranah itu. Mengapa demikian? Tentu 
perlu penelitian yang komprehensif tentang faktor-faktor penyebab 
kekurangramahan ini.

Keluhan yang mirip saya terima beberapa hari yang lalu dari seorang petugas PWM 
[Pimpinan Wilayah Muhammadiyah] Sumatra Barat ketika mengantarkan barang 
cetakan ke sebuah PDM [Pimpinan Daerah Muhammadiyah] di suatu kota. Bertanyalah 
ia kepada polisi tentang alamat yang sedang dicari. Yang didapatkan adalah 
sikap acuh tak acuh dari aparat negara itu, padahal alamat itu benar-benar 
diperlukannya. 

Tidak saja polisi, rakyat biasa pun punya sikap serupa. Tidak terlihat sikap 
ingin membantu orang yang memerlukan. Tentu tidak semua demikian. Ada saja yang 
ramah, tetapi merosotnya etika dan tatakrama sudah semakin dirasakan di 
lingkungan masyarakat yang punya semboyan ''adat basandi syara', syara' basandi 
Kitabullah.'' 

Di mana adat, di mana syara', jika hubungan antarmanusia sudah gersang dan 
tandus? Nilai-nilai budaya berupa keramahan dan sifat suka menolong sudah 
semakin hilang dan jauh dari sikap umumnya orang Minang. Bukankah adat dan 
syara' mengajarkan hormat terhadap tamu? Maka, tidaklah mengherankan bila kita 
menyaksikan kenyataan tentang semakin panjang saja daftar perantau yang tidak 
betah tinggal agak lama di kampung, padahal ia sangat mencintai tanah 
kelahirannya. Dan, tidak sedikit di antara mereka yang telah menyisihkan 
sebagian rezekinya, demi kampung. 

Adat ''pulang basamo'' masyarakat Sulit Air misalnya adalah di antara contoh 
yang menonjol mengenai kecintaan perantau terhadap kampungnya, sekalipun 
sebagian mereka lahir di perantauan. Tetapi, Minang sekarang sudah seperti 
sri-gunung; jauh terlihat rancak (cantik), dekat penuh borok. Masyarakat sudah 
larut dalam pragmatisme-materialistik.

''Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah'' semakin mengawang jauh 
tinggi di langit, tidak lagi membumi. Ini realitas pahit yang dikeluhkan oleh 
banyak perantau Minang kepada saya. Bukan karena apa-apa, tetapi semata-mata 
untuk menunjukkan keprihatinan mereka yang dalam terhadap suasana kampung 
halamannya yang kehilangan rasa persahabatan yang tulus.

Apakah masjid tidak lagi berfungsi? Masih, tetapi khutbah dan penerangan agama 
sudah semakin tidak efektif. Agama tidak fungsional dalam menuntun kelakuan 
umat. Tentu gejala semacam tidak hanya di Minang, tetapi hampir merata di 
seluruh Tanah Air, bahkan di berbagai pojok dunia Muslim yang sedang jatuh, 
kehilangan wibawa. 

Oleh sebab itu, Minang sebagai bagian dari masyarakat Muslim universal, 
secepatnya harus bersedia berkaca diri, melihat kekurangan dan kelemahan yang 
ada, kemudian bulatkan tekad untuk berubah, menuju pencerahan peradaban 
lahir-batin. Masa depan ranah ini tidak boleh dikorbankan oleh kecenderungan 
pragmatisme-materialistik, demi raihan kepentingan-kepentingan duniawi jangka 
pendek. 

Korupsi berjamaah di kalangan sementara politisi, jangan diulang lagi pada 
masa-masa yang akan datang. Ingat senantiasa bahwa Minang adalah wilayah 
mayoritas Muslim yang tidak boleh larut dalam arus deras sejarah yang serba 
memukau tetapi menghancurkan nilai-nilai tertinggi dan terdalam yang kita anut 
selama ini. 

Petatah-petitih di kalangan pemuka adat yang padat makna, tidak boleh hanya 
singgah sebagai perhiasan tutur, tetapi perlu penghayatan yang sungguh-sungguh. 
Kembali ke surau bermakna kembali kepada akar kultur kita yang Islami, tidak 
semata-mata untuk belajar mengaji. 

Waktu sudah sangat tinggi bagi si Minang untuk berbenah diri, atau terus 
meluncur menjadi manusia tunamartabat. Perantau akan terus meratap bila 
perbaikan kualitas hidup secara sungguh-sungguh tidak dimulai sekarang juga, 
tanpa menunggu dan menanti lagi. 


_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Reply via email to