Maa Angku Sjamsir Sjarif di Palanta nangko. Lah ambo usahokan mancari
email angku Ahmad Syafi'i Ma'arif tapi alun dapek juo dek ambo lai.
Wassalam, Bandaro Kayo
====================================================
Seorang Sudan Bertanya
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
REPUBLIKA Selasa, 02 Agustus 2005
Sambil membalik-balik arsip lama, saya menjumpai kliping koran the
Indonesia Times, 3 Maret 1990, hlm 1 pada Pojok Koki yang mengisahkan
pembicaraan singkat antara seorang Indonesia dengan seorang Sudan di
Bandara Karachi, Pakistan. Terjemahan pembicaraan itu adalah sebagai
berikut:
Seorang laki-laki Sudan berjumpa dengan laki-laki Indonesia. Karena
melihat demikian ramai wanita Indonesia, ia bertanya akan pergi ke mana
para perempuan itu. "Mereka akan pergi ke Arab Saudi untuk bekerja
sebagai pembantu," jawab si Indonesia.
"Apakah negeri Anda begitu papa sehingga Anda harus mengirim perempuan
untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga? Tahukah Anda apa yang
berlaku pada diri mereka yang bekerja di rumah-rumah besar itu?" Si
Sudan meneruskan: "Negeriku adalah salah satu negeri yang termiskin di
dunia. Rakyatku sering menderita kelaparan tetapi kami tidak pernah
mengirimkan perempuan untuk bekerja di luar negeri sebagai pembantu,
khususnya tidak ke sebuah negeri yang memandang rendah kaum perempuan."
Si Indonesia tak berucap apa-apa, ia hanya tertawa. Bagaimana ia akan
dapat menjawab sebaliknya terhadap pertanyaan yang begitu perih? Di
Tanah Air pun tak seorang pun pernah memberikan jawaban yang tepat
terhadap pertanyaan serupa itu.
Sengaja saya kutip pojok surat kabar yang sudah almarhum itu semata-mata
untuk menyegarkan ingatan kita kembali tentang nasib buruk sebagian anak
bangsa yang harus membanting tulang di negeri orang karena sempitnya
lapangan kerja di Indonesia. Dan percakapan di atas terjadi awal 1990,
tujuh tahun sebelum krisis. Anda bisa bayangkan gambaran yang lebih
perih dan suram terjadi selama krisis yang sampai hari ini situasinya
belum juga membaik.
Derita panjang yang yang tak berkesudahan yang ditanggungkan oleh
TKW/TKI kita sudah umum kita ketahui, apakah itu di negeri Arab ataupun
bahkan di negeri jiran. Sebelum berangkat banyak di antara mereka yang
ditipu oleh calo tenaga kerja, sampai di tempat tujuan diperlakukan lagi
sebagai separuh manusia. Tentu tidak semua yang bernasib begitu. Bila
induk semangnya adalah seorang yang bermartabat, para pekerja kita akan
diperlakukan secara bermartabat pula, sebagai manusia penuh. Jika si bos
seorang yang haus seks sekalipun sudah punya istri, tidak jarang TKW
kita dijadikan tempat pelampiasannya. Tidak sedikit pula yang dizalimi
dan disiksa sampai lumpuh. Namun mereka tidak kapok juga pergi, karena
sulitnya mencari penghidupan di negeri sendiri.
Persoalan TKW/TKI ini hanyalah salah satu masalah sosial yang akut yang
dihadapi oleh bangsa kita yang berfalsafahkan Pancasila, yang di antara
silanya berbunyi: "Kemanusiaan yang adil dan beradab" dan "Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indoensia". Bulan ini kita akan memperingati
60 tahun Indonesia merdeka, tetapi masalah TKW/TKI kita yang bernasib
malang belum tersentuh oleh kedua sila itu. Rumusan silanya yang padat
dan anggun, dalam realitas kita belum sungguh-sungguh mau
melaksanakannya. Apakah sebagian besar politisi kita masih mau berunding
dengan sila-sila ini? Saya sangat ragu bila dikaitkan dengan fenomena
pilkada-pilkada yang sarat dengan politik uang dan ancaman kekerasan.
Pancasila dengan demikian telah terlalu lama diinjak-injak dalam perbuatan.
Saya tidak tahu bagaimana reaksi ruh seorang Hatta menonton perilaku
sebagian anak bangsa yang lupa daratan dan lupa lautan. Barangkali ruh
itu akan berucap, "Sewaktu aku masih menyatu dengan raga Hatta, aku
pernah menderita di Digul yang penuh nyamuk malaria demi kemerdekaan
Tanah Air. Hatta melakukan semuanya itu dengan tingkat ketabahan yang
luar biasa lantaran cintanya yang teramat dalam kepada bangsa ini.
Mengapa tuan-tuan yang datang kemudian sampai hati mengkhianati hasil
jerih payah para pendiri Indonesia yang telah berkorban demikian banyak?"
Nasib malang yang menimpa sebagian para TKW/TKI kita adalah di antara
penyebab yang membuat ruh Hatta gelisah yang tak putus-putusnya.
Pertanyaannya tetap saja: "Mengapa tuan-tuan belum juga sadar hai
anak-anak bangsaku. Mengapa petualangan dalam dosa dan dusta belum juga
berakhir?" Saya percaya dalam suasana 60 tahun Indonesia merdeka masih
ada di antara kita yang punya hati nurani. Itulah yang memberi secercah
harapan bahwa kita punya masa depan!
Website http://www.rantaunet.org
_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke:
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________