Bismillahirrahmaanirrahiim, Assalaamu 'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,
Seiring menjelangnya 'Iedul Fithri, semoga artikel berikut dapat membantu kita lebih memahaminya. Diambil dari majalah as-Salam No. 3/I. Semoga bermanfaat. Allahu Ta'ala a'lam. ------------------------------- MELURUSKAN ARTI DAN MAKNA ‘IEDUL FITHRI Oleh; Al Ustadz Ahmad Yuswaji Lc. Dalam kemarakan dan kesyahduan ‘iedul fithri banyak kaum muslimin yang tidak mengetahui maknanya, dan yang telah mengetahuinya ternyata dengan pengetahuan yang salah. Untuk menempatkan suatu pemahaman pada tempatnya, meluruskan kesalahkaprahan yang turun-temurun dan sebagai amanah ilmiyah serta untuk menasihati kaum muslimin maka saya susun tulisan ini. Di sini perlu kita tinjau ‘iedul fithri dari beberapa sisi: 1. Dari sisi bahasa arab. ‘Iedul fithri adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata, ’Ied dan Al Fithri. Lafazh ’Ied berasal dari kata “Aada-Yauudu” yang artinya kembali. Dan al fithru artinya berbuka dari puasa. Lihat Mu’jamul Washith. Ibnul A’rabi mengatakan, “Hari raya dinamakan ‘ied karena hal itu kembali datang pada tiap tahun dengan kebahagiaan yang baru.” Ahkamul ‘Iedain (hal: 7) Ibnu Abidin juga mengatakan, “Hari raya dinamakan ’ied karena pada hari itu Allah memiliki beragam kebaikan yang kembali kepada hamba-hamba-Nya pada tiap hari, seperti berbuka / makan setelah sebelumnya terlarang dan shadaqatul fithri”. Ahkamul ‘Iedain (hal: 7) Jadi ‘iedul fithri adalah hari berbuka dari puasa. 2. Dari sisi Dalil naqli Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, “Ash-Shaum adalah hari kalian berpuasa dan Hari raya ‘idul fithri adalah hari kalian berbuka dan ‘iedul adhha adalah hari kalian berkurban”. HR. At-Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah Radhyallahu 'anhu. Dan dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, “Hari raya ‘idul fithri adalah hari manusia berbuka dan ‘idul adhha adalah hari manusia berkurban”. HR. At-Tirmidzi dari Aisyah Radhyallahu 'anha. Dan Umar bin Al Khathhab Radhiyallahu 'anhu menyatakan dalam khutbahnya, “Inilah dua hari raya dimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam melarang dari berpuasa. Hari raya ‘idul fithri adalah hari raya berbuka kalian setelah berpuasa. Dan hari raya kedua adalah hari raya dimana kalian makan daging hewan kurban kalian”. Muttafaqun ‘Alaihi. 3. Realita. Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata, “Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidaklah berangkat (untuk shalat ‘ied) pada hari ‘iedul fithri hingga makan beberapa kurma”. HR. Al Bukhari. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam mengawali pagi hari raya ‘iedul fithri dengan berbuka dan ini menjadi sunnahnya ‘iedul fithri sesuai dengan namanya. Bahkan sudah menjadi tradisi kaum muslimin pada hari raya ini untuk makan seenak-enaknya, dan mengadakan makanan yang jarang ada selain pada hari raya ini. 4. HUBUNGAN antara ‘iedul fithri dan zakatul fithri. Antara ‘iedul fithri dan zakatul fithri mempunyai hubungan yang sangat erat sekali, Di antaranya; keduanya disyariatkan berkaitan dengan puasa Ramadhan dan disyariatkan usai puasa tersebut. Bahkan zakatul fithri diwajibkan untuk membantu agar orang-orang miskin dapat makan pada hari raya berbuka dari puasa. Sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah dalam suatu hadits. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam mewajibkan zakatul fithri sebagai pensucian bagi orang berpuasa dari kesia-sian dan omongan kotor. Juga sebagai pemberian makan bagi orang-orang miskin”. HR. Ibnu Majah dan Abu Daud. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam memberi nama zakatul fithri, zakat berbuka puasa. Di antara hikmahnya, bagi si pelakunya merupakan pensuci dari kotoran mental dan hikmah sosialnya adalah memberi makan kepada orang-orang miskin untuk bisa berbuka pada hari raya ‘iedul fithri. 5. Meluruskan arti / makna yang keliru tentang ‘iedul fithri. Hari raya ‘iedul fithri difahami oleh kebanyakan kaum muslimin baik da’i, mubaligh, kyai dan para penceramahnya apalagi orang awamnya sebagai hari kembali suci ada juga yang memahami sebagai hari kemenangan. Ini suatu pemahaman yang keliru. Pemahaman orang terhadap ‘iedul fithri sebagai hari kemenangan tidak perlu dibantah karena tidak mempunyai sandaran dan dasar sama sekali, hanya latah dan terbawa salah kaprah semata. Adapun yang mengatakan hari raya ‘iedul fithri sebagai hari suci menganggap orang yang telah puasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan berarti telah kembali suci seperti bayi dilahirkan. Lafazh fithri disamakan dengan lafazh fithrah pada hadits, كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ “Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah” Pemahaman ini, yakni ‘iedul fithri berarti hari kembali suci dapat dibantah dari beberapa sisi a.Sisi bahasa. Sungguh tidak tepat menyamakan arti lafazh fithri dengan lafazh fithrah. Fithri (tanpa ta’ marbuthah) berarti berbuka dan ini sudah menjadi istilah umum para pakar fiqih sedangkan fithrah (dengan ta’ marbuthah) berarti pembawaan asli. Jadi tidak benar arti fithri berarti suci. Hal ini sangat mencolok salahnya ketika kita lihat kalimat zakatul fithri. Zakat sendiri berarti pensucian, sedangkan kalau fithri disini diartikan suci juga maka maknanya menjadi sangat janggal dan ganjil. Bagaimana mungkin kata majemuk berasal dari dua kata yang mempunyai makna sama?! b.Sisi dalil naqli. Dari sisi ini mereka yang mengartikan hari kembali suci tidak mempunyai dalilpun. Kalau memang ada, coba datangkan dan itu sebagai ilmu baru bagi si penulis. Bahkan dalil yang ada malahan menguatkan pendapat kami ini. c. Sisi realita dan logika. Realita kaum muslimin banyak yang tidak patuh kepada ajaran agamanya, di siang bulan Ramadhan kita lihat banyak kaum muslimin lelaki, dalam keadaan tidak sakit juga dalam keadaan tidak bepergian dengan seenaknya makan dan minum secara terang-terangan tanpa beban dosa serta tanpa takut adzab. Tapi saat ‘iedul fithri tiba mereka paling semangat mudik, paling giat membikin kue dan ketupat, paling keras bertakbiran dan begitu menikmati ‘iedul fithri. Apakah yang demikian bisa disebut kembali suci seperti bayi baru dilahirkan. Di antara mereka ada yang berpuasa tanpa batal sehari pun, namun puasanya tidak menghalangi dia untuk berbuat kemungkaran, puasanya tidak mencegah mulutnya untuk dusta. Apakah di saat ‘iedul fithri orang tersebut bisa dikatakan telah kembali suci seperti bayi baru dilahirkan?! Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta/batil dan perbuatan dusta/batil maka Allah tidak butuh padanya dalam meninggalkan makan dan minum”. HR. Al Bukhari dari Abu Hurairah Radhyallahu 'anhu. Dan dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar dan betapa banyak orang yang beribadah malam hari tidak mendapatkan dari ibadah malam harinya kecuali begadangnya”. HR. Ibnu Majah dan Ahmad dari Abu Hurairah Radhyallahu 'anhu. Asy-Syaikh Al Albani mengatakan dalam kitab shahih Ibnu Majah, “Hasan shahih”. Siapakah dari kalangan kaum muslimin yang mampu berpuasa begitu mendalamnya, hingga puasanya bukan hanya untuk berlapar dan berhaus ria. Ditambah lagi banyak/kebanyakan kaum muslimin masih berkubang dalam kesyirikan dalam berbagai bentuknya. Bahkan di awal bulan syawal banyak digelar seremonial kelas teri sampai kolosal yang pasti tidak lepas dari kesyirikan. Hal ini terutama di daerah pesisir pantai. Sungguh dosa ini menyebabkan orang kekal dalam neraka dan dosanya tidak akan diampuni apaabila ia tidak bertaubat sebelum matinya. Ditambah lagi banyaknya amalan ibadah kaum muslimin di bulan Ramadhan ini yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan ajaran Rasulullah dan yang demikian pasti tertolak. Ditambah lagi di awal bulan syawal, pada perayaan ‘iedul fithri banyak/kebanyakan kaum muslimin terjerumus dalam berbagai praktek kekeliruan dan dosa, campur-baur lelaki dan perempuan yang bukan mahramnya dalam satu tempat, bersalamannya lelaki dan perempuan dengan lawan jenisnya yang tidak halal. Juga kita saksikan pemborosan dan jiwa materialisme yang sangat berlebihan. Ditambah lagi banyaknya kaum muslimin yang berdosa kepada Allah dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak manusia, yang tidak terampuni hanya sekadar berpuasa dan sekadar minta maaf namun harus diselesaikan dengan mengembalikan hak-hak yang diambil dari orang lain. Apakah pantas kita namakan ‘iedul fithri dengan hari kembali suci?! sungguh sangat jauh sekali. ------------------------------- --- Ahmad Ridha bin Zainal Arifin bin Muhammad Hamim (l. 1980 M/1400 H) Website http://www.rantaunet.org _____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting ____________________________________________________