Kompas, Sabtu, 09 April 2005

Orang Rantai Padang di Afrika Selatan 


PADA  zaman kolonial Belanda di tambang batu bara Ombilin Sawah Lunto,
Sumatera  Barat,  dipekerjakan  narapidana  sebagai buruh paksaan atau
dwangarbeiders.

Saya  singgung  topik  orang rantai karena penyair Taufiq Ismail dalam
kesan-kesan  perjalanannya  ke  Afrika  Selatan  tahun  1993  menyebut
tentang:  tiga tapol rantai Sumatera Barat di Afrika Selatan. Di makam
di  bukit  Islam  Hill  di  Constantia  terdapat  prasasti dengan teks
berikut:

"Pada tanggal 24 Januari 1667 kapal Polsbroek meninggalkan Batavia dan
sampai  di  sini tanggal 13 Mei dengan tiga orang tahanan politik yang
dirantai.  Mereka  orang  Melayu dari pantai Barat Sumatera yang telah
dibuang  ke Cape sampai datang perintah lebih lanjut dengan pengertian
bahwa  mereka  kelak akan dibebaskan. Mereka adalah penguasa (rurels).
"Orangh  Cayen"  yang  memiliki  kekayaan  dan  pengaruh. Mereka harus
dijaga  ketat,  tidak  dibiarkan  bergerak  bebas, karena mereka dapat
merugikan  Kompeni  (VOC).  Dua  orang  dibuang  ke  hutan Kompeni dan
seorang  ke  Robben  Island".  Prasasti  diakhiri  dengan kutipan dari
Pujangga  Shakespeare:  Man  is but a shadow and Life a dream (Manusia
hanyalah sebuah bayangan dan Hidup sebuah mimpi).

Tidaklah  jelas  nama  ketiga  orang rantai dari Sumatera Barat. Dalam
register  VOC tercatat nama seperti Coridor dan September dari Padang,
Februari  dari  Bencoolen,  Flora  dari  Palembang,  Moses dari Jambi,
Urania,  Juli  dari Nias. Orangh Cayen di teks prasasti menurut Taufiq
Ismail  adalah  nama  lazim  di  Sumatera Barat, yaitu Urang Kayo yang
berarti:  Orang  Kaya. Tapi, di kesultanan semenanjung Melayu terdapat
istilah  Orang-orang  Kaya yang berarti kaum bangsawan. Di Banda Neira
pada  awal  abad ke-17 Orang-orang Kaya yang melawan VOC dibunuh habis
atas  perintah  Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen yang menggunakan
algojo-algojo  serdadu  bayaran  Jepang,  yakni samurai, yang terlepas
dari kumpulannya, lalu menjadi ronin yang bertualang.

Syeikh  Yusuf  dari  Sulsel digolongkan oleh VOC sebagai Orangh Cayen,
juga  disebut  Orang  Cahen.  Dalam buku saya, Perkisahan Nusa (1986),
dipertanyakan  apakah sebutan Cahen itu ada hubungan dengan Cain dalam
Kitab  Injil  Wasiat  Lama,  saudara Abel? Soal orang rantai Padang di
Afrika Selatan, soal sebutan Orang Cahen, perlu diteliti lebih jauh.

Derita budak dan orang buangan

Yang  jelas  ialah  penderitaan  hebat kaum budak dan orang buangan di
Cape  abad  ke-17  dan  ke-18.  Prof  Suleiman Dangor dari Universitas
Kwazulu-Natal,  Durban, Afsel, dalam makalah Muslim Slaves at the Cape
>From  dishonour  to dignity (Budak-budak Muslim di Cape-Dari kecemaran
hingga  kemartabatan)  menyampaikan  dalam  seminar  sehari tanggal 23
Maret  2005  di  Meseum Iziko bahwa budak pertama yang tercatat adalah
Abraham  van  Batavia  yang  tiba  tahun 1653. Budak-budak itu bekerja
untuk  VOC  dan  untuk warga Belanda bebas yang dinamakan Burgers yang
bermukim di Cape.

Perlakuan  terhadap budak oleh majikannya sangat mengerikan. Dicambuk,
dirantai,   dicap   dengan   besi  panas  kayak  mencap  sampai  koboi
(branding),  dipotong  kuping  adalah  hukuman  bagi kejahatan seperti
mencuri  sayur  kol.  Bentuk  hukuman  lain  ialah digantung, dipotong
tangan,  dipenggal,  dicekik,  dibakar hidup-hidup, diremukkan sekujur
tulang  oleh jentera siksaan yang oleh Belanda disebut radbraken, oleh
Inggris breaking on the wheel.

Kondisi  budak  belian  ialah dilarang berjalan di trotoar, harus bawa
surat keterangan, dilarang bikin testamen, dihukum jika berjudi, bikin
berisik,  berkelahi,  dilarang  membeli atau membawa senjata, dilarang
memiliki  uang,  barang, harus membawa lampu waktu malam, dihukum mati
jika  memukul,  melawan  majikan kulit putih atau sembarang bule. Maka
dalam  catatan  VOC  dapat  dibaca: Jan dari Macassar digantung karena
mencuri  kambing.  Francis  dari Batavia yang divonis karena melarikan
diri,  mencuri,  membakar,  dan  membunuh diremuk-redamkan badannya di
jentera  siksaan  alias  geradbrakt. Anthony dari Coromandel dicambuk,
dibakar  kulitnya,  dipotong  jari  tengah tiap tangannya, dan disayat
puncak hidungnya.

Prof Shell mengatakan di seminar bahwa banyak budak memandang kematian
sebagai  suatu  pembebasan  dari  kesengsaraan  hidup.  Do  Kock dalam
bukunya,  Those  in  Bondage (1950), melukiskan "kebiasaan budak-budak
Melayu mengamuk (to run amok), berlari sepanjang jalan mengayun keris,
menikam  dan mencincang siapa saja yang lewat, sampai mereka diringkus
atau tewas, sebagai suatu cara terhormat melakukan bunuh diri, sebagai
sebuah jalan raya melepaskan diri dari penderitaan, dan sebagai metode
heroik pembalasan dendam mereka kepada umat manusia".

Prof Azyumardi Azra dan Prof Nabilah Lubis dari UIN Jakarta menyajikan
makalah  tentang  riwayat  hidup dan peran Syeikh Yusuf sebagai pemula
pembaharu  Islam,  tapi  tidak memaparkan kekejaman VOC terhadap budak
dan  tapol.  Seusai  seminar seraya mengenang cerita-cerita seram tadi
saya   terpikir   barangkali  tidaklah  terlalu  mengherankan  apabila
diskriminasi  dan  apartheid  berlangsung  di Afrika Selatan pada abad
ke-20  yang  akar-akar  kultural-historisnya  sudah  ada  "dari sono",
orang-orang Belanda zaman Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC).

Perempuan bule pengemis

Apartheid  telah  hancur  dan  sejak sepuluh tahun ini Republik Afrika
Selatan  mempunyai Black Government dipimpin oleh Presiden Thabo Mbeki
yang  menggantikan Nelson Mandela. Kaum kulit putih yang dulu berkuasa
kini merupakan minoritas, sepuluh persen dari penduduk.

Tidak  semua  mereka  menerima  realitas  politik baru. Sebagian kecil
Afrikaner,  turunan  Belanda,  juga  dinamakan Boer, melawan kekuasaan
kaum  kulit hitam. Pemimpinnya, Eugene Ter Blanche (56), yang bersikap
seperti Neo-Nazi, melakukan aksi teror dan pengeboman.

Ia  ingin  mewujudkan  kembali  Boeremaag, bahasa Afrikaans yang dalam
bahasa  Belanda  tentu  adalah Boeremacht, kekuasaan Boer. Gerakan itu
sia-sia.

Kesan saya sepintas lalu tentang Afrika Selatan ialah ini suatu hybrid
state,  negara  bastar,  cangkokan, dengan bagian yang maju sekali dan
bagian yang terbelakang. Jangan lupa Afsel menguasai teknologi nuklir,
mempunyai industri pesawat terbang.

Orang-orang  Inggris  menguasai pertambangan emas berlian. Orang-orang
Yahudi  menduduki  posisi  ekonomi  yang  berkuasa.  Orang-orang China
tengah naik ke atas sebagai pelaku ekonomi penting.

Di  ibu kota Pretoria sudah ada China Town atau Pecinan. Golongan kaum
coloured  seperti India kebanyakan pengusaha. Sedangkan golongan kulit
hitam the Blacks tercecer di belakang, kendati mereka sedang mengambil
alih posisi manajer.

Yang tetap mencolok mata ialah perkampungan kulit hitam yang dinamakan
Township, merupakan daerah kumuh dipagari dan terasing letaknya.

Ketika  tiba  di  bandara  Cape  Town  dalam  perjalanan ke kota, saya
melihat  di  pinggir  jalan  raya  deretan Township, gubuk-gubuk kecil
terbuat dari batu dan semen, tapi punya air ledeng, listrik, dan WC.

Di  zaman  apartheid  orang-  orang  Afrika Hitam dilarang keluar dari
Township  secara  bebas.  Di  Cape  Town  dulu  tidak  disediakan oleh
pemerintah  fasilitas  angkutan  bus  umum  sehingga orang Negro harus
berjalan kaki bermil-mil jauhnya, berbeda dengan kulit putih yang naik
mobil pribadi.

Kini  secara  bertahan  diusahakan transpor bis dan angkot sebagaimana
saya  lihat  suatu petang diparkir di tepi pantai dari sebuah restoran
tempat kaum turis yang kebanyakan bule menyaksikan pemandangan sunset,
tenggelamnya  Matahari  di  ufuk laut, dengan Tafelberg Gunung Meja di
latar  belakang.  Indah  nian, kata saya kepada Atun dan Salfrida yang
duduk di sampingku.

Tapi,  sebuah pemandangan yang rada bikin shock atau mengagetkan ialah
ketika  saya  keluar  dari  kediaman  Dubes  Nasier di Pretoria. Mobil
berhenti  di  sebuah perapatan. Tiba-tiba saya lihat seorang perempuan
bule,  masih  muda,  pakai  celana  jins  dan blus kaos, menengadahkan
tangannya  minta  uang dari penumpang mobil. Perempuan bule itu karena
sulit mencari pekerjaan di Afsel sekarang telah menjadi pengemis.

Bukan   di  Jakarta  saja  peminta-minta  beraksi  di  simpang  jalan,
melainkan  juga  di  Pretoria  dan dilakukan oleh perempuan bule lagi.
Masya  Allah.  Hidup ini ibarat roda, sekali di atas, sekali di bawah.
(H Rosihan Anwar)


--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
Berhenti, berhenti sementara dan konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
--------------------------------------------------------------
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply
- Besar posting maksimum 100 KB
- Mengirim attachment ditolak oleh sistem
=========================================================

Kirim email ke