http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=214744&kat_id=16
 
Senin, 26 September 2005

Anak Kecil Bisa Jajan di ATM Kondom! 

Fatmawati
Dosen  Program  Studi  Kebidanan,  Politeknik Kesehatan, Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD)
Siti Nuryati
Jurnalis

Papua,  Surabaya,  Semarang,  Bandung,  Jakarta,  Mataram dan beberapa
daerah  lainnya  telah  menyediakan  mesin vending kondom (semacam ATM
khusus).  Alat  ini  tersedia  di beberapa lokasi seperti rumah sakit,
klinik,  maupun  kantor-kantor kelurahan. Program itu digulirkan Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Langkah   tersebut   dibungkus   argumen  agar  konsumen  lebih  mudah
mendapatkan  kondom  yang  merupakan  alat  kontrasepsi dan pencegahan
penyakit   menular.   Selain  mudah  diakses  oleh  mereka  yang  malu
membelinya  di  apotek dan minimarket, akses kondom ini juga merupakan
upaya untuk menanggulangi persoalan HIV/AIDS yang terus merebak.

Tapi  ada  pertanyaan  mengganjal.  Bukankah  langkah tersebut berarti
upaya  melegalkan  seks  bebas  (free  sex)? Dengan kondisi sebelumnya
saja,  free sex sudah cukup merebak. Apa jadinya kalau ada ATM Kondom?
Adanya  ATM Kondom membuat kondom lebih mudah didapat. Langkah itu pun
tampak  kontradiktif  dengan  berbagai  upaya untuk menjaring/membasmi
pekerja  seks komersial (PSK) maupun penggrebekan lapak VCD porno yang
selama ini sudah sering digaungkan.

Tak hanya itu. Adanya fasilitas ATM Kondom sangat mengkhawatirkan jika
sampai  diakses oleh remaja-remaja kita yang belum berkeluarga. Bahkan
anak  di bawah umur pun dapat dengan mudah mendapatkannya. Sebab hanya
dengan  memasukkan  tiga  koin Rp 500, ATM Kondom akan secara otomatis
mengeluarkan  tiga buah kondom. Bagi anak-anak kita, untuk mendapatkan
kondom  sama  mudahnya  dengan  jajan makanan kecil/minuman dari mesin
otomatis yang biasa ditemui di pinggir jalan.

Sejalan  dengan  itu,  kontrasepsi  untuk remaja pun turut ditawarkan.
Adanya  pemerintah  daerah yang telah membuka program kontrasepsi bagi
para  remaja  (belum  menikah)  adalah fakta yang semakin membuat kita
miris.  Jalan  kemudahan  bagi  para  remaja  untuk melakukan free sex
semakin  terpampang.  Mereka  akan berpikir: ''toh dengan alat itu tak
akan hamil.''

Upaya parsial
Jika kita cermati, langkah pemerintah (BKKBN) dalam mengatasi berbagai
problem    kesehatan   reproduksi   di   Indonesia,   masih   parsial.
Menyelesaikan suatu masalah dengan menciptakan masalah baru.

Bila  membaca  salah satu poin tips dalam menjaga kesehatan reproduksi
yang   tertera   dalam   situs   BKKBN   sungguh   kita   akan  dibuat
terheran-heran.   Tipsnya  antara  lain  berbunyi:  ''Gunakan  kondom,
terutama  jika  berhubungan  dengan kelompok berisiko tinggi, misalnya
pekerja  seks  komersial.''  Sebegitu  liberalnya  pandangan  terhadap
aktivitas seks bebas yang telah menjamur di negeri ini.

Mengapa bukan pembinaan etika, moral, dan agama yang dijadikan program
besar-besaran  untuk  menghentikan  segala  bentuk merebaknya penyakit
seksual?  Mengapa  justru langkahnya dengan memberikan alternatif cara
melakukan seksual yang aman (dengan memakai kondom), padahal perbuatan
tersebut  jelas-jelas  bertentangan  dengan  nilai-nilai agama, etika,
maupun moral --karena dilakukan bukan oleh sepasang suami-istri?

Bahwa persoalan seks bebas ini telah menjadi fenomena yang cukup sulit
dikendalikan    oleh   pemerintah,   kita   bisa   memahaminya.   Tapi
persoalannya,  tidak  bisakah kita mengatasi persoalan tersebut dengan
pendekatan  pendekatan  yang  ''luhur''  dan  ''mulia''?  Yaitu dengan
terus-menerus   menyadarkan   mereka  dan  kemudian  dibarengi  dengan
berbagai  langkah  ''sigap''  pemerintah  untuk  memberantas  berbagai
bentuk penyimpangan seksual tersebut.

Pernahkan  terbayang oleh kita, generasi muda kita yang kian hari kian
''rusak'',  salah  satunya  akibat seks bebas? Jangan lantaran argumen
untuk   memberikan   hak-hak  warga  negara  untuk  mendapatkan  akses
kesehatan   reproduksi,   lantas   membuat   berbagai  kebijakan  yang
dikeluarkan menjadi ''salah kaprah''.

Isu  kesehatan reproduksi tak hanya menjadi agenda di Indonesia, namun
telah  menjadi  isu global. Melalui tangan International Conference on
Population  and  Development  (ICPD),  wajah  dunia  dipromosikan akan
diubah agar lebih segar, sejahtera, adil dan indah.

Pertama  kali  digelar pada 1994 di Kairo, forum yang dihadiri 10 ribu
perwakilan   masyarakat   sipil   dunia  (dari  179  negara,  termasuk
Indonesia)  tersebut  menyetujui  visi  20 tahun (program aksi). Yaitu
untuk membina keluarga berencana nasional dan internasional, kesehatan
reproduksi,    pencegahan   HIV/AIDS,   pemberdayaan   perempuan   dan
upaya-upaya pembangunan terkait lainnya.

Program  kerja  ICPD diantaranya menjelaskan kerangka bagi tercapainya
status  kesehatan  reproduksi  yang  lebih baik. Tujuan ini diwujudkan
antara  lain  dengan program kerja yang mengupayakan agar semua wanita
yang  aktif  secara  seksual  memiliki  akses  ke  pelayanan kesehatan
reproduksi yang aman --termasuk dalam hal ini pencegahan (kondomisasi)
dan kuratif (aborsi).

Liberal dan permisif

Apabila kita pertanyakan, siapa yang dimaksud dengan wanita yang aktif
secara  seksual?  kita  dapati  fakta  bahwa mereka adalah remaja yang
belum  menikah  namun sudah melakukan hubungan seks, wanita yang sudah
menikah  dan  sebelum  pernikahannya  sudah  pernah melakukan hubungan
seks, dan wanita yang berprofesi sebagai PSK.

Program aksi ICPD yang ditujukan bagi wanita yang aktif secara seksual
tersebut  secara  tidak  langsung  mengakui  perbuatan  yang melanggar
norma-norma  agama.  Perbuatan  yang merupakan gaya hidup liberal yang
membebaskan  individu  untuk  berbuat  apapun.  Gaya hidup serba boleh
(permisif)  ini  merupakan  perwujudan dari kebebasan berperilaku yang
merupakan  salah  satu  pilar  pemikiran liberal yang diagung-agungkan
masyarakat Barat. Masyarakat yang hidup dalam naungan ideologi sekuler
yang  memisahkan agama dari pentas kehidupan dan menjauhkan agama dari
pengaturan masalah kehidupan manusia.

Dari sini jelas sudah bahwa upaya mengamankan aktivitas seks bebas dan
juga  aborsi  merupakan  rekayasa global untuk mengeksiskan gaya hidup
liberalis.  Terlebih,  tingginya  kasus  angka  kematian ibu (AKI) dan
aborsi  terjadi  di  negara-negara  berkembang  yang notabene termasuk
negara  miskin  yang sangat tergantung pada bantuan hutang luar negeri
dari negara-negara maju (Barat).

Konon,  dana  yang  ditargetkan  untuk mencapai tujuan dan target ICPD
sebesar  15  milyar  dolar  AS.  Dan  dana  yang sudah disetujui untuk
mencapai  target  ICPD  tahun 2005 adalah sekitar 18,5 milyar dolar AS
yang  sebagian  besar  ditujukan untuk pelayanan di negara-negara yang
paling  miskin.  Bukankah  kita  memaklumi  bahwa  tidak ada dana yang
diberikan secara cuma-cuma, sekalipun untuk tujuan kemanusiaan? Adanya
''sesuatu''  di  balik  ''mega  bantuan''  tersebut yang patut menjadi
sorotan kita.

Racun-racun  liberalisme  diinjeksikan  ke  tubuh masyarakat kita yang
nota  bene  ''beragama''  ini  dengan  berbagai kemasan, termasuk yang
ditumpangkan  pada  isu-isu  seputar kesehatan reproduksi. Kewaspadaan
perlu  kita  tebarkan.  Kehati-hatian perlu kita tingkatkan, agar kita
tak  teracuni  dengan  ide-ide  Barat tersebut. Dan yang lebih penting
adalah  segera kembali kepada aturan Sang Maha Pengatur, Allah Azza Wa
Jalla, untuk dapat keluar dari semua persoalan tersebut.
( ) 


--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
Berhenti, berhenti sementara dan konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
--------------------------------------------------------------
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply
- Besar posting maksimum 100 KB
- Mengirim attachment ditolak oleh sistem
=========================================================

Reply via email to