Setiap Minggu pagi isteri saya Kur membuka warung tenda di pinggir jalan Merdeka Depok Tengah yang ramai digunakan oleh warga sekitarnya untuk berolahraga jalan pagi. Kemarin pagi ketika mengantarkan obat yang lupa diminumnya, Kur sedang ngobrol dengan kenalan kami Bapak dan Ibu Simatupang yang mampir untuk sarapan nasi uduk. Pak Simatupang beribukan perempuan Minang, karena itu fasih berbahasa Minang. Begitu pula isterinya seorang perempuan Tionghoa yang selalu mengenakan jilbab itu. Lalu kami ngobrol dalam bahasa Minang tentang gejala darah tinggi yang diderita Kur. Ngobrol ngalor-ngidul, Pak Simatupang Lalu menyarankan agar Kur menjalankan terapi air. “Diminum sekaligus setiap pagi Bu Haji,” jelas Pak Simatupang. Terapi air? Lalu saya ingat pengalaman saya dengan terapi air. Sejak tahun 1998, saya bekerja pada sebuah program bantuan Pemerintah AS di Indonesia sampai program itu selesai awal tahun lalu. Mula-mula saya ditempatkan di Malang selama dua tahun. Kita tahu Malang adalah kota yang sejuk, makan apa saja enak, apalagi kalau makan soto Lombok di jalan Sulawesi yang sangat cocok dengan lidah Padang saya. Karena Kur hanya mendampingi saya selama satu tahun pertama, makan saya jadi tidak terkontrol. Akibatnya saya menjadi kelebihan berat Bahkan tensi saya sempat tinggi, tetapi Alhamdulillah, bisa saya atasi dengan rajin berpuasa sunat Senin-Kamis. Ketika ditarik ke Jakarta, awalnya saya ditempatkan Task kami yang berkantor di Depdagri jalan Merdeka Utara. Mula-mula saya ke kantor pakai mobil sendiri, sekali jalan dibutuhkan waktu sekitar 2 jam, itupun liwat tol. Merasa bete di jalan, saya memilih naik KRL AC Depok Express Depok-Gambir-Jakarta Kota, yang perjalanan Depok-Gambir hanya ditempuh kurang dari setengah jam. Apalagi ketika itu karcis abonemen masih mudah didapat, sehingga untuk yang jam 7:20 dari Depok dan Jam 18:00 dari Gambir selalu dapat tempat duduk di bangku yang nomernya tertera di karcis abonemen. Ongkosnyapun lebih ringan. Apalagi saya tidak bisa nyetir sendiri karena tidak pernah diperbolehkan Kur, sebab ketika masih bujangan dan di tahun-tahun pertama perkawianan kami, saya beberapa kali mengalami kecelakaan sepeda motor. Saya hanya perlu diantar jemput pakai mobil ke/dari setasiun Depok Lama. Dari setasiun Gambir ke Depdagri, saya lebih sering jalan kaki. Walaupun berat badan saya sudah mulai normal karena makan lebih terkontrol, tak urung saya ingin juga mengikuti nasehat seorang teman agar mencoba terapi air, 1,5 liter setiap pagi, yang katanya bisa menyembuhkan darah tinggi, kecing manis dan seabreg penyakit lainnya. Dan dengan mantap, pada suatu pagi sebelum berangkat kerja, walaupun dengan agak susah payah, karena tenggorokan saya agak sempit, saya berhasil mengirim 1,5 liter ke dalam lambung saya. Tapi, alaamaak, tanpa dinyana, tanpa diduga, ketika kereta yang saya tumpangi lewat setasiun Pondok Cina, sebagian dari air yang saya minum minta keluar dengan segera. Rupanya ada yang terlupa oleh saya. Seperti kebanyakan pria “aktif” seusia saya, saya mengalami pembesaran prostat, yang menyebabkan kandung kemih agak menyempit karena tertekan. Nah rupanya sebagian dari air yang saya tenggak sebelumnya yang dikirim oleh ginjal saya untuk dibuang sudah tidak tertampung lagi di sana. Saya mulai panik, karena di atas KRL tersebut WC hanya terdapat di bagian dan belakang KRL. Itupun khusus diperuntukkan untuk masinis, dan untuk ke sana bukan perkara mudah, karena terhalang penumpang yang berdiri. Lalu ke mana muka mau saya surukkan, kalau bendungan itu sampai jebol sebelum KRL sampai “berhenti dengan sempurna” di Gambir. Menarik rem darurat, urusan bisa menjadi lebih gawat. Bisa-bisa nama saya keesokan harinya masuk Koran dengan cara yang sangat tidak elegan. Dan saya JG tidak bisa membayangkan bagaimana saya turun dan lari terbirit-birit mencari tempat melepas hajat, disaksikan begitu banyak orang. Akhirnya setelah hampir 15 menit “menderita”, saya sampai juga dengan selamat di setasiun Gambir. Tetapi apakah urusan selesai? Ternyata tidak. Sebagian besar penumpang KRL turun di Setasiun Gambir. Artinya untuk mencapai WC Umum yang terletak di lantai bawah---peron terletak di lantai 3---di tengah kerumunan orang yang berjalan lambat, diperlukan waktu sekitar 5 menit. Akhirnya---ya apa boleh buat---begitu kaki saya mennyentuh peron, sambil berjalan, keran mulai saya buka, cret, cret, cret meluncur melalui kaki celana, membasahi kaus kaki dan sepatu, kemudian meluncue ke lantai. Dalam kerumunan orang yang berjalan pelan tentu tidak ada yang memperhatikan saya, walaupun tentunya ada juga yang hidungnya terganggu oleh bau menyengat. Tetapi ketika sampai di lantai dua di mana kosentrasi kerumunan mulai pecah, saya mendengar suara samar di belakang, “Ni bapak ngompol kali ya?” Tentu saja suara itu tidak saya perdulikan. Dengan setengah berlari saya turun ke WC Umum di lantai I, untuk menyelasaikan “pengeluaran saya”, mencuci kaos kaki, celana dalam, dan celana panjang yang terkena “bensin” saya. Setelah itu saya buru-buru naik kembali ke lantai 3 untuk menunggu KRL yang saya tumpangi tadi kembali dari setasiun Kota untuk pulang ke Depok, untuk mandi, ganti pakaian dan berangkat kembali ke kantor dengan mobil. Begitu Pak Simatupang dan Isteri pergi, saya minta Kur membelikan saya ketupat gulai (ketupat sayur) Padang yang berjualan dekat warung tenda Kur. Gak takut kolestorel sih? Ah itu baru ketupat gulai. Kadang-kadang saya minta Kur membelikan saya sate padang yang juga ada dijual di sana. Wassalam, Darwin.
-------------------------------------------------------------- Website: http://www.rantaunet.org ========================================================= Berhenti, berhenti sementara dan konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting -------------------------------------------------------------- UNTUK DIPERHATIKAN: - Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply - Besar posting maksimum 100 KB - Mengirim attachment ditolak oleh sistem =========================================================