ass ww
   Sangat mengherankan Ada sekelompok anak muda telah disepakati oleh Gebu 
Minang  mengadakan suatu upaya mengentaskan kemiskinan yang melanda  Ranah 
Miangkabau. ( sebenarnya seluruh pelosok negri ini ) Konsepnya jelas mengangkat 
kembali dan menyempunakan  teori nenek moyang  Ini sangat menarik Diangkat di 
melis yang katanya mereka yang memahami teori modern Teori apa saja kemniskinan 
harus dibrantas  Tapi tiada reaksi seakan tidak peduli dan tidak ada yang 
tertarik 
  Khusus untuk orang Minang apa harus ditunggu Ranah Minang diulanda musibah 
dulu baru ramai ramai mengemis minta bantuan Sekarang anak anak muda itu 
berupaya dengam kekuatan sendiri menggunakan teori nenek moyang membangun 
kembali dengan kekuatan sendiri dengan apa yang mereka namakan dana abadi 
Apakah upaya baik ini dibiarkanb gagal baru kemudian mencemeeh seperi biasanya 
urang Minang 
  Mohon;ah masalah ini dibahas oleh angkatan muda Kalau di Ranah Minang upaya 
ini berhasil bukan tidak mungkin ini dapat diulakukanb didaerah lainnya
  Terima kasih
  CFh N Latief Dt Bandaro 78 

Sjamsir Sjarif <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  Ee, ko ado lo tulisan dari Padang Ekspres barangkali nan rancak pulo dibaco 
Rang Lapau. Dikutip kasadoalalhe dari duo tanggal tanpa izin panabik 
surekkabanyo, sakadar untuak dipalagakan dibaco-baco di Lapau sambai makan 
katan (jan lupo karambiano) jo goreng pisang.

Baa lo mangko manulih Minangkabau, "kabau"nyo masuak kandang, bakuruang, 
bakaluani iduangnyo barangkali, "Minang(kabau)" kurang jaleh lo di awak 
mukasuik panulihnyo.

Salam,
--MakNgah

Robohnya Kebudayaan Minang(kabau)
Oleh Fadlillah
Minggu, 04-Juni-2006, 03:38:07 32 clicks


Sesungguhnya tidak ada yang dapat merobohkan kebudayaan Minangkabau. 
Bukankah, kebudayaan Minangkabau tidak lekang oleh panas, tidak lapuk oleh 
hujan. Artinya, sehebat-hebat globalisasi dan budaya Barat dengan 
teknologinya yang setinggi langit itu maka tidak akan mampu merobohkan 
budaya Minangkabau.


Kalau mau mengoreksi diri, maka yang merobohkan budaya kita adalah kita 
sendiri. Bukankah budaya Barat dan budaya Jakarta tidak pernah dipaksakan 
kepada anak kemanakan kita? Yang terjadi adalah kita tidak mendidik anak 
kemanakan dengan adat istiadat budaya Minangkabau.

TIDAK pada tempatnya menuduh budaya Barat, budaya Jawa atau budaya dari 
Jakarta sebagai penyebab robohnya sendi-sendi budaya Minangkabau. Banyak 
orang berpendapat bahwa biang keladi kerobohan budaya Minangkabau adalah 
budaya Barat dan budaya Jakarta. Serbuan budaya Barat (trendy dengan 
istilah globalisasi) itu dikatakan tidak tanggung-tanggung, dahsyat, 
lengkap dengan perangkat teknologi tingginya.

Kemudian dengan apatis dikatakan bahwa kita tidak sanggup melawannya, atau 
dengan optimis kita harus melawannya. Dengan demikian digembar-gemborkanlah 
slogan 'Membangun Budaya Minangkabau'. Apakah Anda sudah Berbudaya Minang? 
Kembali ke Nagari, Kembali ke Surau, Mambakik Batang Tarandam? Kita harus 
melindungi anak kemenakan kita dari budaya Barat dan budaya Jakarta. Dengan 
demikian kita harus melarang mereka, melindungi mereka. ABS-SBK, dan banyak 
lagi, hanya terbuai oleh slogan.

Dapat dikatakan, tidak pada tempatnya mengatakan budaya Barat dan budaya 
Jakarta sebagai penyebab hancurnya budaya Minangkabau. Sebab, logika 
berpikirnya mencari kambing hitam, tidak mau mengoreksi diri sendiri, 
membebankan kesalahan kepada orang lain. Bukan logika bahu memikul tangan 
mencincang.

Sebagai contoh, kita sering menyalahkan batu ketika anak kita tertarung, 
daripada mengatakan bahwa kita lah yang salah, tidak hati-hati berjalan. 
Kita tidak pernah mendidik anak-anak kita berjalan hati-hati dan mengoreksi 
diri, tetapi mendidiknya untuk menyalahkan batu atau apa saja sebagai 
tempat pelepas beban kesalahannya. Logika kita adalah bahwa padamnya lampu 
kita akibat hidupnya lampu orang. Padahal padamnya lampu kita karena kita 
tidak mengurus lampu itu, sehingga ia kehabisan minyak. Kita menyalahkan 
televisi, padahal kita dapat mematikan televisi dan mendidik anak bagaimana 
cara menonton televisi. Kita mendidik dengan cara otoriter, tidak dengan 
cara demokrat.
Kalau mau mengoreksi diri, maka yang merobohkan budaya kita adalah kita 
sendiri. Bukankah budaya Barat dan budaya Jakarta tidak pernah dipaksakan 
kepada anak kemanakan kita? Yang terjadi adalah kita tidak mendidik anak 
kemanakan dengan adat istiadat budaya Minangkabau. Kemudian anak kemanakan 
kita dengan sukarela memakai budaya Barat dan budaya Jakarta dengan alasan 
modern dan maju sedangkan budaya kita kuno.

Adapun yang terjadi adalah orang membangun kebudayaannya dengan telaten dan 
dengan teknologi sehingga kebudayaannya menjadi kuat dan sangat menarik, 
sedangkan kita menelantarkan, tidak mengacuhkan dan menghina kebudayaan 
kita sendiri, jangankan mengaktualkannya, maka adalah logis anak kemenakan 
kita memakai kebudayaan orang yang penuh dengan penghargaan dan gengsi 
daripada kebudayaan sendiri yang penuh kehinaan dan terhina.
Seperti tokoh kakek Garin dalam cerpen Robohnya Surau Kami A. A. Navis, 
orang Minangkabau bunuh diri dengan merobohkan kebudayaannya sendiri. 
Mengapa dapat dikatakan begitu, karena disebabkan unsur pokok kebudayaan 
Minangkabau oleh orang Minangkabau sendiri sudah tidak difungsikan dan 
dipinggirkan. Ada empat unsur pokok tersebut yang sangat vital, akan tetapi 
sudah tercerai berai dan tidak berfungsi. Pertama rumah gadang, kedua balai 
adat, ketiga surau, keempat rantau.

Rumah gadang, jangankan akan berfungsi, tetapi sudah langka. Sekarang 
gubernur Sumatera Barat (SB) kabarnya akan membangun ratusan rumah gadang 
untuk melestarikannya. Tetapi bagaimana pun juga kebudayaan itu akan tubuh 
kuat kalau datangnya dari dalam bukan dari luar. Padahal, baru dapat 
membangun rumah gadang adalah dengan mengaktifkan dan merevitalisasi 
sistemnya, dengan kekerabatan Minangkabau. Kemudian menghimpun para sarjana 
dan doktor arsitektur Minang untuk membangun disain arsitek rumah gadang 
yang sesuai dengan zaman, bagaimana rumah satu keluarga yang berarsitek 
rumah gadang posmodern. Tanpa meninggalkan tata ruang, filosofi, agama dan 
budaya. Memberi award kepada arsitektur budaya Minang. Tetapi yang terjadi 
adalah kepalanya berdisain rumah gadang tetapi badan dan ekornya entah 
rumah apa. (Bersambung)


*) Fadlillah, staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra, 
Universitas Andalas, Padang.

Perantau, dan Kebudayaan Minangkabau
Oleh: Fadlillah
Minggu, 11-Juni-2006, 04:26:22 8 clicks


Balai adat banyak yang terlantar dan tidak berfungsi. Ninik mamak jarang 
melakukan seminar, diskusi, dan sidang pengadilan adat. Kasus tanah ulayat 
sering dibawa ke pengadilan negeri daripada ke balai adat, kasus perebutan 
gelar adat pun sering dibawa ke pengadilan negeri dan bahkan diputuskan 
secara tidak jujur di rumah yang bukan rumah gadang.


BANYAK pengangkatan penghulu hanya sebagai acara seremonial yang gunanya 
untuk mengejar kekuasaan dan kemegahan, dengan cara-cara yang tidak jujur 
dan tidak adil, daripada untuk membangun adat itu sendiri. Sehingga banyak 
ditemukan orang adat yang tidak beradat.

Ninik mamak dengan balai adatnya tidak mempunyai program untuk lima atau 
sepuluh tahun ke depan secara konkret untuk menghadapi perubahan zaman, 
mereka menganggap adat hanya pekerjaan rutin dan sudah selesai.

Akibat balai adat tidak berfungsi maka pendidikan adat untuk anak kemenakan 
tidak ada, tidak ada kontrol terhadap anak kemenakan dan kaum, sehingga 
organ tunggal inul setiap malam minggu bersilatas angan karena lurah tidak 
berbatu.

Surau sebagai sebagai sistem pun sudah terpecah-pecah. Banyak orang yang 
mengumandangkan kembali ke surau akan tetapi banyak yang tidak paham empat 
unsur surau yang sudah dipecah dan dicabut dari surau. Sehingga banyak yang 
kembali ke surau hanya dalam pengertian fisik dan agama saja.

Keempat unsur tersebut adalah; pertama agama, kedua adat, ketiga ilmu 
pengetahuan, keempat ekonomi perdagangan. Maka pengertian surau dalam 
kebudayaan Minangkabau adalah terhimpunnya secara integral keempat unsur 
tersebut dalam satu lembaga pendidikan dan budaya.

Keempat tersebut sudah terpisah dan terputus tanpa kenal satu sama lain, 
semacam sekularisasi, bahkan usur adat hilang. Adapun yang terjadi adalah 
untuk menuntut ilmu agama orang ke mesjid atau madrasah, untuk menuntut 
pendidikan adat sudah tidak ada, hanya ada sedikit jadi beban yang tidak 
memadai di SD dan SMP, menuntut ilmu pengetahuan ke TK, SD, SMP, SMU, dan 
Universitas.

Di rantau tidak ada lagi surau dagang untuk ekonomi perdagangan, yang 
berupa mes untuk anak dagang, anak sekolah, dan orang kampung yang ke 
malaman. Begitu juga gelanggang sudah tidak ada lagi pada setiap nagari, 
tempat pertunjukan kesenian anak nagari.

Selama ini, Orde Baru dikatakan bersalah, karena mereka telah merubah 
sistem Nagari dengan sistem desa. Pada satu sisi memang benar, pada sisi 
lain ketiga unsur tersebut memang sudah lemah kemudian Orde Baru hanya 
tinggal melalukan saja (jadi makanan empuk), tetapi secara politik 
kebudayaan memang jadi penyebab. Hanya ada unsur yang keempat yang tidak 
terjangkau oleh Orde Baru dan cukup kuat untuk membuat budaya Minang tetap 
bertahan, yakni unsur rantau.

Orang Minang baru merasa menjadi Minangkabau kalau sudah pergi merantau dan 
sukses di rantau. Rasa sayang dan memiliki kebudayaan Minangkabau baru 
disadari ketika sudah di rantau, ini tidak terjangkau oleh kekuasaan Orde 
Baru. Bahkan ada yang mengakatakan bahwa orang Minang di rantau lebih 
Minang daripada orang Minang di kampung. Tetapi bukan tidak banyak orang 
Minang yang hanyut oleh kebudayaan Jakarta dan Barat sehingga tidak tentu 
rimba rantaunya.

Tetapi sekali lagi, yang membuat kebudayaan Minangkabau itu roboh adalah 
oleh bangsa Minangkabau itu sendiri bukanlah oleh karena globalisasi, 
westernisasi, Jawanisasi, atau Jakartanisasi saja. Namun globalisasi, 
westernisasi, Jawanisasi, atau Jakartanisasi pun mempunyai peran yang besar 
secara politik kebudayaan dalam kerobohan kebudayaan Minang.

Tetapi sekarang, bagaimana kebudayaan Minangkabau itu?

Agaknya dapat dikatakan kebudayaan Minangkabau dalam krisis jika tidak 
dalam proses kerobohan. Sebaliknya di beberapa nagari di Minangkabau masih 
dapat ditemukan beberapa unsur kebudayaan Minang masih berfungsi dan ada 
semacam revitalisasi. Pada akhirnya tentu hanya kembali kepada bangsa 
Minangkabau apakah mereka akan membangun kebudayaan Minangkabau atau 
membiarkan kerobohan kebudayaan Minangkabau. (Habis)



-- 
No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Anti-Virus.
Version: 7.1.394 / Virus Database: 268.8.3/362 - Release Date: 6/12/2006



--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply
- Besar posting maksimum 100 KB
- Mengirim attachment ditolak oleh sistem
=========================================================


 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 
--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply
- Besar posting maksimum 100 KB
- Mengirim attachment ditolak oleh sistem
=========================================================

Kirim email ke