Oleh : Ahmad Syafii Maarif
 
Republika, Selasa, 04 Juli 2006
 
http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=19
 
Berikut ini hanyalah fragmen catatan harian (diary) seorang perakit bom 
yang kemudian dikenal dengan nama Jabir, tertembak di sebuah rumah di 
Wonosobo pada 29 April 2006 yang lalu. Fotokopi catatan harian ini saya 
minta dari pihak kepolisian untuk dipelajari struktur kejiwaan anak umat 
ini, mengapa seorang santri sampai terjebak oleh jaringan teror yang 
dipimpin Dr Azhari dan Noor Din M Top, warga Malaysia, yang menebarkan 
maut di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir.
 
Lebih 100 halaman tulis tangan diary yang sampai ke tangan polisi, di 
samping juga ditemukan teknik cara membuat dan merangkai bom. Di bagian 
depan ada moto dalam bahasa Arab yang diterjemahkan kemudian: "Bagi din 
[agama] ini kami menjadi pejuang sejati; sampai kemuliaan din ini 
kembali, atau mengalir tetes-tetes darah kami." Jelas di sini mengikuti 
ajaran mentornya, bagi Jabir merakit dan meledakkan bom bunuh diri 
adalah bagian dari jihad untuk kemuliaan din. Fragmen di bawah adalah 
catatan tentang suasana keluarga Jabir yang ditulis sebagai kenangan 
terhadap ibunya yang dipanggilnya ummi dan bapak dengan sebutan abi. 
Ibunya, seorang guru, sering menderita, baik oleh tingkah abangnya, 
Ipul, yang sering memaksakan kehendak, maupun oleh temperamen ayahnya 
yang tidak sabar, seperti menampar anak atau membanting hidangan yang 
sudah siap untuk disantap. Jabir sangat hormat kepada ibunya, karena dia 
tahu betul bahwa sang ibulah yang paling bertanggung jawab untuk 
membiayai pendidikan anak-anaknya.
 
Kita kutip (ejaan dan kalimat disesuaikan tanpa mengubah isi: "walau 
dengan NEM pas-pasan ummilah yang mengantar nanda daftar di pondok 
Al-Mukmin. Masih ingat dalam memori nanda, ketika ummi harus kecopetan 
ketika turun dari bus di wilayah Tirtomoyo. Ummi hanya bisa bersedih dan 
sedikit meneteskan air mata, nanda waktu itu tak tahu harus berbuat 
apa." Selanjutnya kita turut merasakan kedekatan hubungan emosional 
Jabir dengan ibunya. Kita baca: "Nanda juga ingat ketika ummi berkunjung 
ke pondok, ummi hanya memberi nanda uang 10.000. Waktu itu nanda balas 
'insya Allah cukup' walaupun kenyataannya sangat jauh dari cukup, nanda 
tak tega 'tuk mengatakannya. Tiga tahun lebih nanda di Al-Mukmin dengan 
tunggakan SPP yang pernah sampai tujuh bulan, menyebabkan nanda harus 
berkamar di teras bersama santri-santri yang belum membayar uang kamar, 
namun nanda ikhlas karena prinsip nanda selagi belum ada kiriman uang 
berarti ummi belum punya uang. Masih teringat juga dalam benak nanda 
ketika masa liburan selesai, ummi sibuk ke sana ke mari mencari pinjaman 
uang, paling tidak untuk bisa memberangkatkan nanda ke pondok, nanda 
masih ingat mata sembab ummi ketika memberikan uang yang hanya cukup 
balik ke pondok dan sedikit jajan dengan mengucapkan 'sing sabar sek ya 
le' (yang sabar dulu nak). Dalam perjalanan nanda hanya dapat menangis, 
bukan karena sedikitnya uang, namun jerih payah ummi dalam mengusahakan 
mencukupi kebutuhan nanda di pondok." Trenyuh juga rasanya kita membaca 
catatan Jabir ini yang sering diterpa oleh serba kekurangan.
 
Kita teruskan betapa sang ibu harus berkorban terlalu banyak untuk anak: 
"Pernah ummi ke kantor polisi guna mengambil motor mas Ipul yang 
ditilang gara-gara nggak pakai helm, ummi rela menunggu dari siang 
sampai sore. Belum lagi ketika mas Ipul menggunakan telepon dengan cara 
tak wajar, sehingga ummi terpaksa menjual motor mas Ipul guna menutup 
bayaran telepon." Rentetan nasib ibunya direkam Jabir dalam kalimat: 
"Ketika ummi pulang mengajar, dengan rasa capek yang belum hilang, ummi 
harus segera membungkusi tempe tanpa sempat memejamkan mata. Itu ummi 
lakukan terkadang sampai sore, bahkan estafet ba'da (sesudah) 'Isya'." 
Sebelum sajak penutup sebagai penghormatan untuk ibunya, Jabir menulis: 
"Sebenarnya nanda ingin membahagiakan ummi, namun, biarlah nanda 
bahagiakan ummi kelak jika Allah mengaruniakan syahadah (kesaksian 
sebagai syahid) pada nanda karena hanya itu yang nanda bisa, dan 
mudah-mudahan Allah menerima amal jihad nanda". (Ditulis malam Senen jam 
20.22-21.47, Bumi Allah, 4 September 2005). Seperti disebutkan di muka, 
Jabir tewas ditembak pada 29 April 2006 di Wonosobo.
 
Pada bagian lain, digambarkan pula kebahagiaan Dr Azhari ketika dalam 
majlis pertemuan di suatu tempat di Afghanistan, Usamah bin Ladin telah 
memanggil warga Malaysia ini untuk duduk di sampingnya. Kejadian ini 
tentu turut memberi legitimasi moral dan politik pada Azhari untuk 
menambah kharismanya dalam menebarkan maut di Indonesia. Seorang Jabir, 
si santri, yang demikian dalam mencintai ibunya, ternyata dengan mudah 
terseret oleh magnet Azhari, seorang doktor lulusan Inggris, yang 
pengetahuan agamanya jauh di bawah Jabir. Allahu a'lam



--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply
- Besar posting maksimum 100 KB
- Mengirim attachment ditolak oleh sistem
=========================================================

Reply via email to