Menggugat Adat Minangkabau (1)
* Penghulu/Datuk tidak Menyelesaikan Masalah 
Minggu, 14-Agustus-2005, 16:11:19 431 clicks   
 
 
Edisi hari Jumat, 27 Desember 2002, harian Padang Ekspres menurunkan dua
berita dengan judul "Kasus Tanah, Teratas di Padang, Nilai-nilai Adat
Menipis" dan "Kasus Tanah Akibat KAN tak Berfungsi". Tidak berfungsinya KAN
- lembaga peradilan adat itu - karena hilangnya kepercyaan masyarakat
terhadap organisasi para Penghulu/Datuk tersebut. 
 
 


Masalah tanah di Sumatera Barat, termasuk di Kota Padang, bukan tidak
mungkin akan menjadi suatu masalah yang begitu ruwet di masa mendatang,
karena pemahaman generasi muda Minangkabau mendatang terhadap Adat, akan
semakin berkurang. Tidak tertutup kemungkinan mereka yang lahir dan besar
dirantau, nantinya akan menerima warisan tanah berdasar silsilah garis
keturunan ibu yang akan mereka pahami sebagai warisan berkekuatan hukum. 

Luas wilayah Sumatera Barat sekitar 42.898 km persegi. Dari daratan seluas
itu hanya 56 persen atau sekitar 24.022,88 km persegi saja yang bisa diolah
menjadi lahan pertanian. Dari luas ini, baru 16 persen atau lebih kurang
3.843,66 km persegi yang sudah diolah secara intersif sebagai lahan
pertanian produktif. Sisanya seluas 20.179,22 km merupakan lahan terlantar
atau diolah dengan seadanya. Pada umumnya lahan tersebut merupakan tanah
ulayat atau tanah kaum yang tidak dilengkapi dengan surat-surat keterangan
sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum. Umumnya tanah tersebut terletak di
berbagai kenagarian yang boleh dikatakan di bawah kekuasan Penghulu/Datuk
Andiko. 

Tidak heran, jika sampai sekarang ini, investor kurang berminat menanamkan
modalnya di Sumatera Barat, terutama di sektor agribisnis, karena tidak ada
kepastian hukum tentang kepemilikan lahan. Jangankan investor yang bukan
berasal dari Sumatera Barat, perantau asal Minangpun enggan menanamkan
modalnya di kampung halaman mereka. Jika ada segelintir perantau membangun
rumah di kampungnya atau membeli tanah di salah satu kota di Sumatera Barat,
tak lebih hanya sekedar pamer (show-off) untuk kebanggaan bahwa mereka
memperoleh sukses selama di rantau. 

Tanah Adat (tanah ulayat atau tanah kaum) boleh dikatakan merupakan tanah
pusako (pusaka) tinggi yang hanya diwariskan kepada kemenakan perempuan
keturunan menurut garis ibu. Apabila masih ada tanah yang belum digarap oleh
kaum, maka tanah tersebut dianggap tanah nagari. Baik tanah ulayat maupun
tanah nagari, umumnya dikuasai oleh para Penghulu/Datuk. Disamping itu, ada
pula yang disebut tanah atau harga pusaka rendah (pusako randah) yang
diperoleh setelah bekerluarga. Pusaka rendah ini bisa diwariskan kepada anak
yang pewarisannyapun lebih banyak kepada anak perempuan. Begitu menurut
hukum adat yang berlaku di ranah Minangkabau. 

Padahal dalam memimpin kemenakannya, Penghulu/Datuk berpegang kepada "Adaik
basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adaik mamakai" .
Maka dalam masalah harta warisan ini, adat Minangkabau sangat bertentangan
dengan ajaran Islam yang dalam Al Qur'an jelas-jelas disebutkan bahwa anak
lelaki memperoleh harta warisan yang ditinggalkan sama dengan bagian dua
orang anak peremuan. (Surat An Nisaa" ayat 11). Dan Islam tidak mengenal
harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. 

Lain pula halnya kalau ada suatu keluarga yang punah, artinya tidak
mempunyai keterunan perempuan. Maka harta warisan keluarga ini, mungkin
berupa tanah sawah atau tanah lading, rumah dan sebagainya, boleh dijual
dengan prioritas utama dijual kepada saudara dalam satu pasukuaan. Inipun
harus sepengetahuan KAN nagari setempat dengan kewajiban berbagi dengan
lembaga adat ini. 

Masalah berikutnya adalah jabatan Penghulu/Datuk yang seumur hidup.
Karenanya seorang Penghulu/Datuk hanya bisa diganti setelah meninggal dunia
(tanah tasirah) dalam Bahasa Minangkabau. Bagaimana mungkin seorang
Penghulu/Datuk yang sudah tua renta dan pikun serta sakit-sakitan, mampu
memimpin dan memberikan nasihat kepada kemenakannya. Tapi di sejumlah
kanagarian, apabila seorang Penghulu/Datuk tidak mampu lagi menjadi niniak
mamak yang baik, karena sudah tua dan sakit-sakitan, dapat diganti sebelum
meninggal dunia. 

Jika diamati, pada dasarnya membuat Penghulu/Datuk (batagak pangulu) ada dua
macam. Pertama, batagak pangulu, karena penghulu/Datuk sebelumnya meninggal
dunia. Sementara mayat Penghulu/Datuk yang meninggal masih disemayamkan di
rumah isteri dan anaknya, di rumah kemenakan orang sibuk menyelenggarakan
upacara batagak pangulu yang dihadiri oleh semua Penghulu/Datuk serta
pengurus Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang terdapat di kanagarian tersebut. 

Lagi-lagi akan disaksikan suatu kebiasaan yang sangat memalukan serta amat
bertentangan dengan ajaran Islam. Kelaziman dalam ajaran Islam bahwa mereka
yang sedang berduka diringankan bebannya. Tidak demikian dengan kemenakan
seorang Penghulu/Datuk yang meninggal dunia. Dalam suasana sedang berkabung,
kemenakan yang berduka mau tidak mau harus menyediakan sejumlah dana untuk
dibagikan kepada Penghulu./Datuk yang hadir dalam upacara batagak pangulu
ini. Jika dana yang tersedia belum mencukupi seperti yang diminta, mereka
belum mengesahkan Penghulu/Datuk baru pengganti yang meninggal dunia. 

Cara batagak pangulu/datuk seperti ini tidak di semua nagari berlaku
demikian, tetapi sangat bergantung kepada peraturan KAN di nagari
masing-masing. Ada KAN nagari yang menyadari bahwa hal seperti di atas hanya
akan memberatkan beban kemenakan yang ditinggal serta tidak sesuai dengan
ajaran Islam. Karena itu, upacara batagak panghulu/Datuk diselenggarakan
langsung di tempat dan pada acara pemakaman penghulu/datuk yang meninggal
dunia. 

Kedua, batagak pangulu karena ingin memisahkan diri dari Penghulu/Datuk yang
sudah ada dan kemudian membuat Penghulu/Datuk sendiri. Sebabnya bisa
bermacam-camam, ada yang karena Penghulu/Datuk terkait tidak mau memberi
gelar Sutan kepada salah satu kemenakannya yang akan menikah seperti
keinginan orangtua pria bersangkutan. Ada pula yang disebabkan ingin
mempunyai status sosial lebih di kampung dan ada pula yang merasa derajatnya
lebih tinggi dari Penghulu/Datuk mereka yang telah ada. 

Dalam kasus batagak pangulu kotegori kedua ini, biayanya bisa lebih mahal
karena terpaksa melangsungkan perhelatan besar dengan menghadirkan seluruh
anggota KAN kanagarian setempat serta keharusan memotong kerbau. Setiap
anggota KAN yang hadir harus pula diberi uang saku yang jumlahnya lebih
besar dari uang saku ketika menghadiri batagak pangulu menggatikan
penghulu/datuk yang meninggal dunia. 

Yang menggelikan adalah apabila seseorang yang entah karena apa, lalu
menghina dengan mengucapkan kata-kata kotor kepada salah seorang
penghulu/datuk di tempat umum. 

Kemudian penghulu/datuk tersebut tidak bisa menerima perlakuan seperti ini
dan membawa persoalannya paada KAN yang kemudian KAN meminta kesaksian
kepada orang yang mendengar kata - kata penghinaan tersebut. Selanjutnya KAN
dan orang banyak menganggap Penghulu/Datuk bersangkutan sudah kumuah (kotor)
dan harus disasah (dibersihkan). Untuk itu harus diadakan upacara "manyasah
pangulu/datuk kumuah". 

Anehnya, KAN tidak memberikan hukuman kepada orang yang menghina
penghulu/datuk bersangkutan, tetapi malah menghukum para kemenakan
penghulu/datuk terkait. Hukumannya adalah keharusan mengadakan upacara
"menyasah penghulu/datuk kumuah". Pepatah Minang mengatakan "tak kayu
janjang dikapiang, tak ameh bungka di asah", yang artinya apapun harus
diadakan untuk mengermbalikan nama baik penghulu/datuk mereka. Bahkan pernah
satu pasukuan di Pandai Sikek, terpaksa mengadaikan sawah mereka untuk
membiayai upcara "manyasah panghulu/datuk kumuah" mereka. 

Aneh memang, tetapi nyata, itulah penggalan adat Minangkabau yang berlaku
sampai sekarang di sebagian nagari. Pelaksanan adat Minangkabau seperti yang
disebut di atas tidak lagi dapat diterima oleh generasi muda, karena tidak
sesuai dengan kemajuan zaman yang sudah berubah. Namun para penghulu/datuk
generasi tua ini masih berusaha mempertahankan dengan dalih "sudah begitu
dari dahulu'. 

Yang jelas dan pasti para penghulu/datuk generasi tua ini tidak lagi
merupakan figure yang menyelesaikan masalah (problem solfing), tetapi telah
menjadi bagain dari masalah itu sendiri. Lalu, tidaklah mengherankan jika di
beberapa nagari generasi muda tidak lagi respek atau menghargai
penghulu/datuk mereka. Namun mereka hanya dapat mengerutu dalam hati, sambil
menunggu datangnya membaharuan dengan proses regenerasi secara alamiah. 

Padahal seorang Penghulu/Datuk seharusnya mampu mencari penyelesaian
berbagai persoalan yang mungkin dihadapi oleh para kemenakan, sebab dalam
adat Minang, Penghulu/Datuk memberikan bimbingan kepada kemenakannya atas
dasar "kok kusuik kamanyalasaikan, kok karuah kamanjaniahkan". 

Jika memberikan hukuman kepada kemenakan yang dianggap bersalah, seorang
Penghulu/Datuk harus adil seperti yang diungkapkan dalam Kato Posako
Minangkabau "Kok mauji samo merah, kok manimbang samo barek, kok maukue samo
panjang, kok mambilai samo laweh, kok mambagi samo adie, kok baragiah samo
banyak". (bersambung) 

(Aswin Jusar adalah wartawan senior, tinggal di Depok, Jawa Barat)  


DISCLAIMER: The above message is for the intended recipient only and may
contain confidential information and/or may be subject to legal privilege.
If you are not the intended recipient, you are hereby notified that any
dissemination, distribution, or copying of this message, or any attachment,
is strictly prohibited. If it has reached you in error please inform us
immediately by reply e-mail or telephone, reversing the charge if necessary.
Please delete the message and the reply (if it contains the original
message) thereafter. Thank you. 



--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply
- Besar posting maksimum 100 KB
- Mengirim attachment ditolak oleh sistem
=========================================================

Kirim email ke