Assalaamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu

Cerita di tengah maraknya nostalgia perkeretapian
nagari awak tempo dulu.

Wassalamu'alaikum,

Lembang Alam

KERETAPI, RIWAYATMU DULU

Saya mempunyai dua kenangan yang tidak mungkin
dilupakan dari keretapi ‘nagari awak’ tempo dulu
(sampai tahun 1970an). Lengkingan cuitnya dan bau
asapnya. Bunyi lengkingan keretapi sekaligus menjadi
tanda waktu bagi kami ketika itu. Mak-mak saya (yang
manapun) biasa membangunkan kami di pagi hari dengan
kata-kata, ‘Bangunlah lagi Buyuang, keretapi sudah ke
ujung.’ Agak perlu beberapa kalimat untuk menerangkan
makna kalimat ini.

Lintasan keretapi arah (ke dekat kampung kami yaitu)
ke Baso agak khas, karena jalur ini dijalani secara
khusus pada waktu itu. Sekurang-kurangnya ada empat
kali keretapi bolak balik sehari secara teratur sejak
subuh jam lima pagi, seterusnya jam sembilan pagi, jam
satu siang dan jam lima sore melalui jalur ini. Saya
tidak yakin ada lintasan yang dilalui dengan ‘sangat’
teratur seperti jalur Bukit Tinggi – Baso ini di
tempat lain di Sumatera Barat. 

Baso terletak sebelas kilometer arah ke timur dari
Bukit Tinggi. Lebih jauh ke timur, kereta itu bisa
pergi sampai ke Paya Kumbuh. Ada kereta dari Paya
Kumbuh yang terus ke Padang sekali sehari, menempuh
jarak 124 km sehari suntuk, dan kereta yang ke Padang
itu baru akan kembali keesokan harinya ke Paya Kumbuh.

Waktu keretapi jam lima dari Bukit Tinggi sampai di
Tanjung Alam (4 ½ km dari Bukit Tinggi) lengkingan
atau cuitnya terdengar sampai ke kampung kami yang
jarak lurusnya sekitar 2 ½ km. Waktu saat itu
menunjukkan lebih kurang jam setengah enam. Arah ke
Baso atau arah ke timur dalam bahasa di kampung kami
disebut arah ke ujung. Itulah yang dimaksud mak-mak
kami ketika membangunkan kami dengan mengatakan
keretapi sudah ke ujung. 

Bangun ketika suara keretapi terdengar di Tanjung Alam
sangat pas dan mencukupi untuk mendapatkan keretapi
itu nanti ketika dia kembali ke Bukit Tinggi.
Mencukupi untuk bangun terus mandi tidak lupa
menggosok gigi, shalat subuh (terlambat) sarapan, dan
seterusnya berjalan kaki 1 ½ km ke Biaro, dimana ada
stoplat tempat membeli karcis. Keretapi akan sampai di
stoplat ini kira-kira jam enam seperempat membawa kami
untuk sampai di Bukit Tinggi jam tujuh kurang
seperempat dan tidak terlambat di sekolah yang dimulai
pukul tujuh.

Jadwal keretapi yang waktu itu dicemooh karena
mempunyai jam karet, sebenarnya lumayan teratur
kecuali pada hari Sabtu dan Rabu, hari pasar di Bukit
Tinggi. Entah dengan cara apa para pedagang merayu
petugas keretapi ketika itu yang membuat jadwal kereta
pada hari-hari itu menjadi jadwal sangat telat. Kalau
kami bisa sampai jam delapan di sekolah di Bukit
Tinggi setiap hari Rabu atau Sabtu, itu namanya sudah
sangat beruntung. Muatan keretapi di kedua hari itu,
khususnya yang pagi dari arah Baso dan yang siang
menuju Baso, na’utzubillah padatnya. Pernah saya
mengalami hanya kebagian satu kaki yang menyentuh
tangga kereta dan satu tangan berpegangan entah dimana
saja, saking berselingkit-pingkitnya.

Pada hari-hari khusus itu, keretapi akan ‘ngetem’ di
Baso lebih lama, menunggu ‘urang panggaleh’.  Tidak
lupa pula masinis meninggalkan masing-masing sebuah
atau dua buah wagon yang kami sebut ‘daresi’ di Biaro
dan di Tanjung Alam. Kalau hari-hari biasa jam enam
kurang kereta itu sudah menuju ke Bukit Tinggi, maka
di hari Rabu dan Sabtu, jam tujuh lebih, lokomotif itu
mendengus-dengus saking beratnya beban di tanjakan
menjelang Biaro. Bebannya bertambah berat karena harus
mendorong pula dua daresi ekstra yang ditinggal
sebelumnya di Biaro, mendengus dengan tenaga ekstra
mendaki di jembatan Batang Air Katik. Susah payahnya
lokomotif menarik dan sekaligus mendorong di pendakian
itu, yang menyebabkan para penumpang ikut sesak
nafasnya, yang lalu melahirkan buah pemeo, ‘keretapi
nan mandaki, manga angok awak nan sasak.’

Sesampai di stasiun Tanjung Alam yang mempunyai rel
kereta ganda untuk langsir, susunan daresi di atur
kembali dengan lokomotif kembali diletakkan paling
depan. Maka dari Tanjung Alam ke Bukit Tinggi,
lokomotif perkasa itu menarik rangkaian gerbong di
jalan yang relatif lebih rata dengan cuitan panjang
penuh kemenangan menjelang Bukit Tinggi.

Urut-urutan tempat kereta itu berhenti dari Baso
adalah Koto Hilalang (2 km dari Baso, disini kereta
kadang-kadang saja berhenti), lalu Biaro yang ada
stoplatnya, kemudian Tanjung Alam, seterusnya Aur
Tajungkang destinasi sebagian besar penumpang yang
menuju baik Pasar Atas maupun Pasar Bawah, atau siswa
SMA I Bukit Tinggi serta murid sekolah lainnya.
Perjalanan keretapi itu berakhir di stasiun gadang
Bukit Tinggi yang berjarak satu kilometer dari Aur
Tajungkang.

Benarkah jadwal kereta itu teratur di luar hari Sabtu
dan Rabu? Ternyata ungkapan ini tidak terlalu tepat.
Cukup sering lokomotif kereta yang asapnya terlihat
tetap mengebul-ngebul di stasiun gadang (kelihatan
dari stoplat Aur Tajungkang), ternyata sedang
mengalami perbaikan cukup serius. Tidak ada yang dapat
dilakukan oleh calon penumpang selain menunggu dengan
sabar sampai perbaikan itu selesai. Tidak susah
memahami kalau lok-lok itu sering rusak, karena
umumnya memang sudah lumayan sepuh. Sebagian besar
dari lokomotif yang beroperasi sampai awal tahun
tujuhpuluhan itu adalah buatan awal abad ke dua puluh
dengan tahun pembuatan 1903, 1905, 1911. Hanya dengan
keahlian khusus tenaga-tenaga ahli mesin ketika itu
sajalah lok-lok itu tetap mampu berjalan.  

Masa-masa ketika keretapi berjalan lancar sampai awal
tahun tujuhpuluhan itu merupakan masa-masa indah
masyarakat Baso dan sekitarnya karena mereka
benar-benar mendapatkan subsidi nyata untuk alat
transport keretapi. Bagaimana tidak, karena usaha
perkeretapian kala itu sesungguhnya sangat tidak
menguntungkan baik dari jumlah penumpang / pemasukan
dari penjualan karcis. Kecuali pagi dan menjelang
siang untuk jurusan Baso – Bukit Tinggi, siang dan
sore jurusan sebaliknya di hari-hari Sabtu dan Rabu,
keretapi itu sangat sedikit membawa penumpang. Sekali
jalan sekurang-kurangnya dibawa empat buah wagon atau
daresi dengan kapasitas 160 sampai 200 tempat duduk.
Tidak pernah sampai seperduanya yang terisi, namun
kereta itu tetap dengan setia dijalankan empat kali
sehari. Belum lagi dikarenakan penumpang yang enggan
membeli karcis alias membayar langsung ke kondektur di
atas kereta. Membayar seperti ini boleh suka-suka,
seikhlas kondektur, yang pasti lebih murah dari harga
karcis. Kondektur-kondektur itu menyukai cara
pembayaran seperti ini. Di hari Rabu dan Sabtu,
kantong celana mereka menggelembung dan tangan mereka
terkembang menggenggam uang receh yang dibayarkan para
penumpang yang malas membeli karcis di stoplat itu.
Sekali-sekali diadakan petugas polisi kereta api
(PUKA) untuk menakut-nakuti penumpang, tapi ini hanya
hangat-hangat tahi ayam.

Benar-benar sebuah keajaiban bahwa dengan kondisi
manajerial yang ambur-adul itu perkeretapian di Bukit
Tinggi – Baso itu bisa bertahan bertahun-tahun.
Meskipun bahan bakar batu bara dapat mereka ambil
gratis di Sawah Lunto, namun onderdil lokomotif tua
tentunya tidak mungkin diperoleh secara gratis.

Sayapun sempat menikmati jasa keretapi itu ketika saya
bersekolah di SMA III Birugo tahun 1969. Naik dari
Biaro, turun di stasiun gadang untuk seterusnya
berjalan kaki ke Birugo. Karena saya duduk di kelas
tiga, dan tidak mungkin secara teratur terlambat dua
kali seminggu akhirnya saya terpaksa menyewa kamar di
Birugo.

Kalau jurusan Bukit Tinggi Baso dijalani empat kali
sehari, jurusan Paya Kumbuh – Padang dijalani sekali
sehari. Di sekitar tahun 1963 perkeretapian Sumatera
Barat menerima ‘sumbangan’ sebagai pampasan perang
dari Jepang berupa beberapa wagon dan lokomotif baru
yang digunakan sebagai angkutan keretapi khusus.
Diantaranya adalah keretapi Paya Kumbuh - Padang yang
dijuluki dengan nama keretapi Ganefo, karena tahun
1963 adalah tahun dilangsungkannya sekali-sekalinya
sukan Ganefo di Jakarta. Keretapi Ganefo pulang dan
pergi Paya Kumbuh – Padang di hari yang sama, untuk
dibandingkan dengan keretapi regular yang hanya mampu
berjalan satu kali pergi saja. Kalau keretapi regular
pernah saya tumpangi dari Bukit Tinggi ke Padang
maupun dari Padang ke Bukit Tinggi masing-masing
sekali, maka keretapi Ganefo tidak pernah saya coba.
Soalnya keretapi ekspres ini tidak berhenti di stoplat
Biaro, dekat kampung saya.

Naik keretapi dari Bukit Tinggi ke Padang yang
berhabis hari itu dikarenakan seringnya kereta
berhenti di stoplat-stoplat kecil. Akibatnya ya itu
tadi, untuk menempuh jarak 91km Bukit Tinggi – Padang
(harusnya panjang rel kereta lebih pendek lagi dari
itu), diperlukan waktu antara tujuh sampai delapan
jam. Berangkat jam tujuh pagi dari Bukit Tinggi baru
akan sampai di Padang antara jam dua dan jam tiga
sore. Tidak mungkin lagi kereta yang sama
diberangkatkan kembali ke Bukit Tinggi, kecuali kalau
mau sampai di Bukit Tinggi tepat tengah malam.
Bandingkan dengan bus yang memerlukan waktu maksimum
dua setengah jam untuk menempuh jarak yang sama.

Kalau Bukit Tinggi punya stasiun gadang, stasiun yang
lebih besar lagi terdapat di Padang Panjang dan di
Padang (pusat keretapi Sumatera Barat). Padang Panjang
merupakan perlintasan keretapi Solok dan Sawah Lunto
yang juga akan ke Padang. Keretapi Sawah Lunto –
Padang pengangkut batu bara dari tambang Ombilin
bahkan bertahan sampai awal tahun 2000an.

Saya tidak tahu kapan terakhir kali keretapi Baso –
Bukit Tinggi berjalan. Ketika saya pulang kampung yang
pertama kali tahun 1974 (sejak saya meninggalkan
kampung pertengahan tahun 1970), keretapi di Bukit
Tinggi sudah tidak ada. Waktu saya berangkat, kereta
itu masih ada. Sejak keretapi tidak lagi berjalan itu,
secara berangsur-angsur tapi pasti, jalan keretapi
‘diasak urang lalu’. Ada yang ditimbuni, bahkan ada
yang dibongkar relnya. Stasiun atau stoplatnya sudah
berubah menjadi lepau, kedai atau toko yang entah
dengan cara bagaimana digunakan oleh mereka yang
menempatinya.

Sebingkah kenangan tentang perkeretapian di kampung
kita, ke masa ketika keretapi di masukkan kedalam bait
pantun lagu Minang;

Mamakiak kureta Padang
Manyauik kureta Solok
Taragak badan nak pulang
Baju lah sasak dek panumbok


                        *****




St. Lembang Alam



__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply
- Besar posting maksimum 100 KB
- Mengirim attachment ditolak oleh sistem
=========================================================

Kirim email ke