Dunsanak Anzori ysh,
  Kutipannya sangat menarik, dan justru terlewatkan oleh saya selama ini. 
Beberapa bahan pelengkap dapat dilihat pada link berikut :
  http://www.swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=495_0_1_0_M
  http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/01/2445.html
  dan sedikit kutipan AQD di bawah.
   
  Saya pernah menemukan catatan lain, yang menyebutkan penyerangan ke Sulit Air 
itu memakan waktu 5 hari, dan meninggalkan kehancuran yang luar biasa. Dengan 
kata lain penduduk Sulit Air pada waktu itu 'pergi' ke suatu tempat. Saya baru 
menduga mereka pindah ke Padang Barimbiang dan Kinari Kabupaten Solok, karena 
mereka mengaku berasal dari Sulit Air.
   
  Ada banyak pertanyaan yang menghinggapi saya selama ini :
  1 Sebenarnya siapakah orang Sulit Air? Dan kenapa serangan pertama Belanda 
ditujukan ke negeri ini? Dalam hikayat disebutkan mereka tidak pernah beraja ke 
Pagaruyung, dan ... tidak pernah disinggung-singgung dalam sejarah dan tambo 
sebelum masa itu. Hanya secuil pituah adat yang tersisa yang menyebutkan: 
'Sulit Air cumeti Koto Piliang'.
  2 Benarkah pada kurun 1812-1821 ada pengumpulan pasukan Paderi di tempat 
tersebut?
  3 Bila setelah serangan 1821 itu negeri menjadi kosong, kemudian siapakah 
orang-orang yang kemudian membangun kembali negeri tersebut, dan pada saat ini 
menjadi nagari terbesar di Sumatera Barat?

  Saya coba melakukan penelitian amatir selama ini, dan memang dalam tahap 
penyusunan puzzle. Sehubungan dengan pertanyaan nomor 2, saya menilai dari 
aspek geomorlogis belaka, kurang lebih sbb:
   
  Bila kita berada di Ombilin Singkarak, terdapat dua jalan menuju ke bukit, 
satu ke arah Batusangkar-Pagaruyung dan satu lagi ke arah Bukit Kanduang - 
Sulit Air. Dari sejarah yang saya pernah dengar, sebelumnya titik di Simawang 
itu merupakan daerah strategis. Dan sebelumnya Inggris dikabarkan juga 
membangun semacam pos di tempat tersebut. Dari titik ini sebenarnya dapat 
dipantau 'jalan dagang' ke arah Batusangkat-Pagaruyung. Mengenai istilah 'jalan 
dagang' ini dapat dilihat pada Kamus Minangkabau karya Dr. Gusti Asnan.
   
  Karenanya cukup beralasan bila Belanda ingin menduduki titik ini sepenuhnya. 
Namun sebelumnya, saya mencurigai bila kaum Paderi juga telah menduduki titik 
ini. Pada masa itu disebutkan, dari Talago Laweh Sulit Air dapat leluasa mata 
memandang sampai ke Padang Panjang. Apalagi bila sampai mendaki Gunung Merah, 
maka terlihatlah bentangan luas luhak Tanah Datar hingga perbatasan kedua luhak 
yang lain.
   
  Kuat dugaan saya bila pada masa 1812-1821 ada pengumpulan kekuatan Paderi di 
tempat tersebut. Namun tentunya telah ada pula pemukim awal yang telah tinggal 
di tempat tersebut, dan membangun budaya 'cumeti Koto Piliang'.
   
  Untuk pertanyaan ke-3, saya sudah coba menghitung proyeksi mundur penduduk, 
untuk sekitar tahun 1840 ada kurang lebih 2.000 jiwa, atau sekitar 500 kk. Dan 
komposisi ini masih saya uji dengan total jumlah ruang rumah gadang. Bilamana 
pas, maka bisa sampai pada hipotesis: Sulit Air 'dibangun baru' pasca perang 
Paderi.
   
  Demikian sanak, dan wassalam,
   
  -datuk endang
   
   
  AQD:
  Dengan terjalinnya kerjasama antara para penghulu dengan Belanda, maka 
berarti 
kaum Padri akan menghadapi bahaya besar. Dalam kondisi demikian, tiba--tiba 
Tuanku Nan Renceh, Yang menjadi pimpinan ter-tinggi kaum Padri yang gemilang 
pada tahun 1820 wafat. Kekosongari ini secara demokrasi diisi oleh Iman Bonjol. 
Atas persetujnan para perwira pasukan Padri, Imam Bonjol langsung memimpin 
gerakan Padri untuk menghadapi pasukan gabungan Belanda-Penghulu. 
  Pada tahun 1821 pertahanan Belanda di Semawang diserang oleh pasukan Padri; 
sedangkan pasukan Belanda yang mencoba memasuki Lintau dicerai-beraikan. Untuk 
menguasai medan, pasukan Belanda membuat benteng di Batusangkar dengan nama 
'Benteng atau Fort van der Capellen'. Berulang kali pasukan Belanda--Penghulu 
menyerang kedudukan pasukan Padri di Lintau, tetapi selalu mendapati kegagalan, 
bahkan pernah pasukan Belanda-Penghulu terjebak. 
  Perlawanan yang sengit dari pasukan Padri, men-dorong Belanda untuk 
memperkuat 
pasukannya di Padang. Pada akhir tahun 1821 Belanda mengirimkan pasukannya dari 
Batavia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff. Dengan bantuan militer yang 
lengkap persenjataannya, pasukan Belanda melakukan ofensif terhadap kedudukan 
pasukan Padri. 
  Operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda--Penghulu ditujukan ke 
daerah yang dianggap strategis yaitu Luhak Tanah Datar. Dengan menaklukkan 
Luhak Tanah Datar, yang berpusat di Pagaruyung, menurut dugaan Belanda 
perlawanan pasukan Padri akan mudah ditumpas. Oleh karena itu pada tahun 1822 
pasukan Belanda-Penghulu di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff menyerang 
Pagaruyung. Pertempuran sengit terjadi, korban dari kedua pihak banyak yang 
berjatuhan. Karena kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya pasukan Padri 
mengundurkan diri ke daerah Lintau setelah meninggalkan korban di pihak Belanda 
yang cakup besar. 
  Usaha pengejaran dilakukan terus oleh pasukan Belanda dengan jalan 
mendatangkan 
bantuan dari Batusangkar. Tetapi pasukan Belanda sesampainya di Lintau 
seluruhnya dapat dipukul mundur dan terpaksa kembali ke pangkalan mereka di 
Batusangkar. 
  Setelah Belanda memperkuat diri, ofensif dilakukan kembali dengan jalan 
memblokade daerah Lintau, sehingga terputus hubungannya dengan Luhak Lima Puluh 
Kota dan Luhak Agam. Walaupun nagari Tanjung Alam dapat direbut oleh pasukan 
Belanda, tetapi usaha-nya untuk merebut Lintau dapat dipatahkan, karena pasukan 
Padri di Luhak Agam di bawah pimpinan Tuan-ku Pamansiangan memberikan 
perlawanan yang sengit. Kemudian Letnan Kolonel Raaff menyusun kembali 
pasukannya untuk merebut Luhak Agam, Koto Lawas, Pandai Sikat dan Gunung; dan 
kali ini berhasil, setelah melalui pertempuran dahsyat, di mana Tuanku 
Pamansiangan dapat tertangkap, yang kemudian di-hukum gantung oleh Belanda. 
  Pada akhir tahun 1822 pasukan Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol melakukan 
serangan balasan ter-hadap pasukan Belanda di berbagai daerah yang pernah 
didudukinya. Pertama-tama Air Bangis mendapat serang-an pasukan Padri. Operasi 
ke Air Bangis ini langsung dipimpin oleh Imam Bonjol dibantu oleh 
perwira-perwira pasukan Padri dari Tapanuli Selatan. Hanya dengan per-tahanan 
yang luar biasa dan dibantu dengan tembakan--tembakan meriam laut, Air Bangis 
dapat selamat dari serangan pasukan Padri. Kegagalan ini, pasukan Padri mencoba 
merebut kembali daerah Luhak Agam. Serangan pasukan Padri ke daerah ini 
berhasil merebut kembali daerah Sungai Puar, Gunung, Sigandang dan beberapa 
daerah lainnya. 
  Awal tahun 1823 Kolonel Raaff mendapatkan tam-bahan pasukan militer dari 
Batavia. Dengan kekuatan baru, pasukan Belanda mengadakan operasi militer 
besar-besaran untuk merebut seluruh Luhak Tanah Datar. Tetapi di bukit 
Marapalam terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan 
Padri selama tiga hari tiga malam, sehingga Belanda terpaksa harus mengundurkan 
diri. Tetapi operasi militer Belanda itu diarahkan ke Luhak Agam seperti daerah 
Biaro dan Gunung Singgalang. Pertempuran sengit terjadi antara pasukan Belanda 
dengan pasukan Padri, tetapi karena kekuatan pasukan Belanda jauh lebih besar, 
akhirnya daerah-daerah itu dapat direbutnya. Kemenangan pasukan Belanda diikuti 
oleh tindakan biadab dengan jalan melakukan pembunuhan massal terhadap 
penduduk, besar-kecil, laki-laki maupun perempuan. 
  Pengalaman pertempuran selama tahun 1823, mem-buat Belanda berhitung dua 
kali. 
Sebab banyak daerah yang telah direbutnya, ternyata dapat kembali diambil oleh 
pasukan Padri. Operasi militer besar-besaran dengan tambahan pasukan dari 
Batavia terbukti tidak dapat menumpas pasukan Padri. Oleh karena itu, untuk 
kepentingan konsolidasi, Belanda berusaha untuk meng-adakan perjanjian gencatan 
senjata. Usaha ini berhasil, sehingga pada tanggal 22 Januari 1824 perjanjian 
gencat-an senjata di Masang ditanda-tangani oleh Belanda dan kaum Padri. 
  Perjanjian Masang hanya dapat bertahan kira-kira satu bulan lebih sedikit. 
Sebab Belanda dengan tiba-tiba mengadakan gerakan militer ke daerah Luhak Tanah 
Datar dan Luhak Agam. Melalui pertempuran dahsyat, pusat Luhak Tanah Datar dan 
Luhak Agam dapat sepenuhnya dikuasai pasukan Belanda, dan mereka mendirikan 
benteng dengan nama Fort de Kock di sana. Dengan kekalahan pasukan Padri di 
Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam, maka Imam Bonjol memusatkan kekuatan kaum 
Padri di benteng Bonjol dan sekitarnya sambil sekaligus melakukan konsolidasi 
pasukan yang telah jenuh berperang selama lebih dari duapuluh tahun lamanya. 
  Sementara itu pada tahun 1825 di Jawa telah pecah perang Jawa. Dengan 
timbulnya 
perang Jawa ini, ke-kuatan pasukan Belanda menjadi terpecah dua: sebagian untuk 
menghadapi perang Padri yang tak kunjung selesai, dan yang sebagian lagi harus 
menghadapi Perang Jawa yang baru muncul. Karena perang Jawa dianggap oleh 
Belanda lebih strategis dan dapat mengancam ek-sistensi Belanda di Batavia, 
pusat pemerintahan kolonial Belanda (Hindia Belanda), maka mau tidak mau semua 
kekuatau militer harus dipusatkan untuk menghadapi perang Jawa. 
  Untuk itu perlu ditempuh satu kebijaksanaan guna mengadakan perdamaian 
kembali 
dengan kaum Padri di Sumatera Barat. Pada tahun 1825 usaha perdamaian dan 
gencatan senjata dengan kaum Padri berhasil dicapai, dengan jalan mengakui 
kedaulatan kaum Padri di be-berapa daerah Minangkabau yang memang masih secara 
penuh dikuasairiya. Perjanjian damai dan gencatan senjata dipergunakan oleh 
Belanda untuk menarik pasukannya dari Sumatera Barat setanyak 4300 orang, dan 
mensisakannya hanya 700 orang saja lagi. Pasukan sisa sebanyak 700 orang 
serdadu itu, digunakan hanya untuk menjaga benteng dan pusat-pusat pertahanan 
Belanda di Sumatera Barat. 
  Setelah Perang Jawa selesai dan kemenangan diperoleh oleh penguasa kolonial 
Belanda, maka kekuatan militer Belanda di Jawa sebagian terbesar dibawa ke 
Sumatera Barat untuk menghadapi Perang Padri. Dengan kekuatan militer yang 
besar Belanda melakukan serangan ke daerah pertahanan pasukan Padri. Pada akhir 
tahun 1831, Katiagan kota pelabuhan yang men-jadi pusat perdagangan kaum Padri 
direbut oleh pasukan Belanda. Kemudian berturut-turut Marapalam jatuh pada 
akhir 1831, Kapau, Kamang dan Lintau jatuh pada tahun 1832, dan Matur serta 
Masang dikuasai Belanda pada tahun 1834. 
  Kejatuhan daerah-daerah pelabuhan ke tangan Belanda mendorong kaum Padri, 
yang 
memusatkan kekuatannya di benteng Bonjol, mencari jalan jalur per-dagangan 
melalui sungai Rokan, Kampar Kiri dan Kampar Kanan, di mana sebuah anak sungai 
Kampar kanan dapat dilayari sampai dekat Bonjol. Hubungan Bonjol ke timur 
melalui anak sungai tersebut sampai ke Pelalawan, dan dari sana bisa terus ke 
Penang dan Singapura, dapat dikuasai. Tetapi jalur pelayaran ini, pada akhir 
tahun 1834 dapat direbut oleh Belanda. Dengan demikian posisi pasukan Padri 
yang berpusat di benteng Bonjol mendapat kesulitan, terutama dalam memperoleh 
suplai bahan makanan dan persenjataan. 
  Kemenangan yang gilang-gemilang diperoleh pasukan Belanda menimbulkan 
kecemasan 
para golong-an penghulu, yang selama ini telah membantunya. Kekuasaan yang 
diharapkan para penghulu dapat di-pegangnya kembali, ternyata setelah 
kemenangan Belanda menjadi buyar. Sikap sombong dan moral yang bejat yang 
dipertontonkan oleh pasukan Belanda--Kristen, seperti menjadikan masjid sebagai 
tempat asrama militer dan tempat minum-minuman keras, mengusir rakyat kecil 
dari rumah-rumah mereka, pembantaian massal, pemerkosaan terhadap 
wanita--wanita, memanjakan orang-orang Cina dengan memberi kesempatan menguasai 
perekonomian rakyat, akhirnya menimbulkan rasa benci dan tak puas dari golongan 
penghulu kepada Belanda. Kebencian dan kemarahan para penghulu menumbuhkan rasa 
harga diri untuk mengusir Belanda dari daerah Minangkabau untuk me-lakukan 
perlawanan terhadap Belanda secara sendirian tidak mampu, karenanya perlu 
adanya kerjasama dengan kaum Padri. 

   
  
Anzori <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  Assalamualaikum wr.wb.

Dusanak pencinta sejarah Minang. Berikut ambo berikan cuplikan isi buku 
SUMATERA BARAT HINGGA PLAKAT PANJANG karangan Rusli Amaran Alm. yang 
menceritakan sejarah tentang PERANG PIDARI. Kenapa Sulit-Air menjadi nagari 
perang pertama dapat dilihat alasannya.
Kebetulan saya punya buku ini dan dulu pernah hilang kemudian saya dapatkan 
lagi pada waktu pameran buku di JHCC tahun ini. Buat saya buku ini adalah yang 
paling beharga untuk mengkaji sejarah Minang masa penjajahan Belanda

Buku ini tebalnya lebih kurang 650 halaman dan isinya adalah hasil riset 
diperpustakaan Belanda dan Indonesia. Bagi Bapak-Bapak yang belum membaca buku 
ini, berarti belum mengetahui sejarah Minangkabau secara lengkap terutama zaman 
Belanda.
Saya cuplik sebagian kecil isinya, semoga ada gunanya.

Ada suatu perbedaan yang menarik antar perang melawan Pidari di Sumatera dan 
perang lawan Diponegoro di Jawa. Di Jawa Belanda harus mengirim pasukan ke 
sana-sini untuk menggempur musuh sedangkan di Sumatera musuh selalu berada di 
belakang pertahanannya. Sekali-sekali, di bawah pimpinan dubalang yang fanatik, 
mereka mengadakan serangan gencar. Tetapi serangan –serangan begini tidak 
begitu berarti bagi kita. Dari pengalaman di Bonjol semenjak 1834, ternyata 
kalau kita bisa bertahan lama saja, meraka akhirnya akan kalah! Hendriks juga 
mengatakan bahwa bagaimana berani dan nekatnya orang-orang Pidari, sekali 
mereka menyerah, mereka sangat menurut, damai dan banyak yang dapat kita 
kerjakan dari mereka. Syarakatnya ialah asal kita perlakukan mereka secara 
wajar (billijk). Streng boleh, tapi wajar. Apa yang diutarakan Hendriks ini 
mengenai watak orang Minang sesudah dikalahkan, menarik juga.

Kita ingat komentar orang-orang Belanda lainnya. Michiels umpamanya mengatakan 
keheranannya bahwa sesudah Bonjol jatuh, bekas-bekas musuh menjadi penduduk 
yang patuh. Walaupun Michiels menambahkan, tidak sampai terlalu merendahkan 
diri. Sewaktu di Sumatra Barat dijalankan tanaman paksa (oleh Michiels juga) 
yang mendatangkan begitu banyak malapetaka dan kesengsaraan bagi rakyat 
(terutama disebabkan oleh kopi), seorang pegawai Pemerintah Belanda tidak 
putus-putusnya geleng kepala, heran kenapa rakyat yang begitu terkenal sebagai 
pemberontak, diam saja dan menerima tekanan hidup tidak terhingga yang dibawa 
Belanda.

Lain sekali dengan sikap mereka sebelumnya. Dalam laporan-laporan De Stuers, 
orang-orang di sana terkenal sebagai tidak mempunyai perasaan renah diri sama 
sekali terhadap orang Belanda. Mereka biasa saja menegur De Stuers di jalan, 
menyetop dan minta menyalakan rokok dari api cerutu yang diisap residen dan 
komandan militer tersebut. Malah Jenderal Van Swieten (pengganti Michiels 
sebagai gubernur militer Sumatra Barat) menganggap sudah baik, kaalu diminta 
terlebih dahulu. Kadang-kadang mereka berani menarik cerutu begitu saja dari 
mulut seorang Belanda.

BELANDA MEMANCING PERANG

Kini tiba waktunya, kita memulai dengan kontak senajata pertama antara gerakan 
kaum Pidari melawan Belanda. Sewaktu Du Puy mengambil alih pemerintahan dari 
tangan Inggeris di Padang dalam tahun 1819, dia segera mengingatkan atasannay 
di Batavia mengenai SIMAWANG dan minta bantuan tentara untuk mendudukinya. DIa 
juga mengirim laporan tentang pergolakan Pidari di daerah pedalam Minangkabau. 
Du Puy melaporkan bahwa banyak pengulu atau pemimpin adat yang dating kepadanya 
minta bantuan untuk memerangi kaum Pidari seperti yang juga mereka kerjakan 
sewaktu Inggris masih berkuasa dulu tetapi tidak diladeni.

Antara yang datang minta bantuan itu, terdapat kedua Tuanku Suruaso yang pernah 
berhubungan dengan Raffles di Bengkulu dan membawa mereka ke Pagaruyung. 
Sesudah Inggris berangkat dan mereka kehilangan sumbangan tiap bulan, sekarang 
kedua Tuanku itu minta sumbangan dari Pemerintah Hindia Belanda. Setelah surat 
menyurat dengan Batavia, akhirnya disetujui untuk membantu mereka tiap bulan 
sebanyak 50 gulden untuk yang tua dan 10 gulden untuk yang lebih muda.

Pemeritah di Batavia dalam hal ini melihat peluang untuk menguasai daerah 
pedalaman berhubung dengan timbulnya perang saudara itu. Apalagi karena lintas 
dagang dengan daerah-daerah pesisir telah terputus yang membawa kerugian bagi 
Belanda.

Antara lain Du Puy menulis bahwa “tidak ada saat terbaik untuk bertindak 
seperti sekarang, karena rakyat walaupun sebagian tunduk kepada kaum Pidari dan 
menganut ajaran-ajarannya, hanya menunggu bantuan dari Belanda untuksegera 
berbalik dan menyerang orang-orang Pidari itu sendiri.” Dia mengusulkan supaya 
bertinda cepat, sebab kalau tidak, mungkin orang-orang anti Pidari akan meminta 
bantuan dari pihak lain. Yang dimkasudkan ialah Inggris yang masih berkuasa 
waktu itu di Bengkulu, Barus, Air Bangis dan Natal (Mereka baru meninggalkan 
tempat-tempat ini dalam tahun 1825)

Untuk membuktikan kebenaran usul-usulnya, Du puy mengirim ke Batavia pernyataan 
para penghulu yang melarikan diri dari kejaran Pidari. Dalam pernyataan itu 
disebut bahwa mereka bersedia menyerahkan Kerajaan Minangkabau kepada Belanda, 
asal saja mereka dibantu memerangi kaum Pidari. Surat tersebut didapat Du Puy 
setelah menyuruh kedua Tuanku dari Suroaso tadi ke pedalaman dikawal tentara. 
Tawaran beberapa pengulu tersebut yang bersedia menyerahkan Alam Minangkabau 
kepada Belanda, begitu penting, hingga Du Puy dating sendiri ke Batavia untuk 
membicarakannya.

Pimpinan Hindia Belanda segera setuju memberi”bantuan”. Setelah beberapa kali 
mengadakan perundingan (antaranya dengan keturunan Raja Minangkabau, Sutan Alam 
Bagagarsyah), pada tanggal 10 Februari 1821, ditandatanganilah sebuah 
perjanjian yang isinya antara lain sebagai berikut :

Kepala-Kepala (para pengulu) dari Kerajaan Minangkabau, secara formal dan 
mutlak menyerahkan Nagari Pagaruyung, Sungaitarab dan Suroaso begitu juga 
daerah-daerah sekelilingnya dari Kerajaan Minangkabau, kepada Pemerintah Hindia 
Belanda. 
Kepala-Kepala tersebut dengan sungguh-sungguh berjanji atas nama mereka dan 
rakyat maupun keturunan rakyat mereka, untuk mematuhi tanpa kecuali pemerintaha 
Hindia Belanada dan tidak akan menetang perintah apapun dari Hindia Belanda. 
Pemerintah menyediakan satuan tentara terdiri atas 100 orang di bawah 
perwira-perwira bangsa Belanda dengan dua pucuk meriam. Tujuannya ialah untuk 
merebut daerah-daerah yang telah diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda di 
sebut tadi dan untuk menduduki benteng SIMAWANG, guna melindungi rakyat 
terhadap serangan-serangan kaum Pidari dan untuk mengusir mereka dari dan 
membawa perdamaian ke daerah-daerah tersebut. 
Para Kepala akan menyediakan kuli-kuli dalam jumlah yang dibutuhkan dan 
mengurus makanan tentara yang dibutuhkan, dengan sebaik-baiknya. 
Adat dan kebiasaan lama dan hubungan kepala-kepala itu dengan penduduk, akan 
dipertahankan dan tidak akan dilanggar selama tidak bertentangan dengan 
pasal-pasal dalam perjanjian.
Demikian secara ringkas isi perjanjian antara Pemerintah hindia Belanda dengan 
“pemimpin” rakyat, di mana mereka menyerahkan pusat Alam Minangkabau kepada 
Belanda, asal mereka dibantu melawan kaum Pidari. “ Pemimpin-Pemimpin” rakyat 
yang menandatanganinya, semua harus bersumpah setia dengan Quran untuk mereka 
dan anak cucu mereka, disaksikan oleh Panglima di Padang (Sutan Raja Mansyur 
Alamsyah) beserta wakilnya Tuanku Bandaro Raja Johan, para penghulu di Kota 
Padang, para pedagang penting dan lain-lain.
Persetujuan itu sendiri ditandatangani oleh Residen Du Puy dan 20 orang kepada 
atau “wakil” rakyat, juga oleh Panglima sebagai saksi. Ada baiknya kita berikan 
nama-nama mereka yang menandatangani “atas nama” rakyat.

Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagarsyah dari Pagaruyung (seperti pernah 
kita tulis, dialah seroang yang dapat melarikan diri ke Padang bersama Sutan 
Muning Alamsyah yang pergi ke Lubuk Jambi) 
Yang Dipertuan Raja Tangsir Alam dari Suroaso 
Yang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam dari Suroaso (kedua mereka ini adalah kakak 
adik yang sering kita sebut) 
Datuk Basuko dan Datuk Mudo atas nama sendiri dan 12 Penghulu di batipuh 
Datuk Satu dan Datuk palindih atas nama sendiri dan 6 penghulu di Singkarak 
Datuk Rajo nando dan Datuk Rajo Bagagar atas nama sendiri dan 8 penghulu di 
Saningbakar. 
Datuk Rajo Nan Sati atas nama sendiri dan 5 Penghulu dari Bungotanjung 
Datuk Gadang Maharajo lelo atas nama sendiri dan 5 Penghulu dari Pitalah. 
Datuk Sati atas nama snediri dan 6 pnghulu dari Tanjungbarulak. 
Datuk Rajo Buhet atas nama sendiri dan 4 penghulu dari Gunungrajo 
Datuk Penghulu Besar atas nama sendiri dan 4 penghulu dari Batusangkar 
Datuk Maharajo lelo atas nama sendiri dan 6 penhulu dari Sumpur 
Datuk Saripado atas nama sendiri dan 6 Penghulu dari Malalak 
Datuk Nakoda Intan dan Datuk paduko atas nama snediri dan 40 pengulu selebihnya 
dari IX Kota 
Datuk Mangun Nan Tuo dan Datauk bandaro Mudo atas nama sendiri dan 6 penghulu 
dari Simawang

Itulah mereka ke 20 pengulu dan kaum adat Pagaruyung yang menandatangani 
perjanjian dengan Belanda ditambah lebih dari 100 penghulu lainnya di pedalamam 
Sumatra barat yang mereka atas namakan saja (Footnote: Bahwa “penyerahan” ini 
hanya satu sandiwara saja, semua kita tahu, Sutan Alam Bagagarsyah sama sekali 
bukan raja dalam arti kata yang kita ketahui. Tetapi Belanda pura-pura 
menganggapnya serius. Dengan dalil “melindungi” rakyat, mereka mulai perang 
melebarkan daerah jajahannya. Tetapi kira-kira 20 tahun kemudian (sesudah 
Belanda menang), barulah disebut bahwa mereka “terkecoh” atau “terjebak” oleh 
segelintir manusia yang sama sekali tidak berpengaruh dan tidak berhak 
“menjual” daerah Minangkabau, hingga Belanda akhirnya terlibat dalam 
perperangan yang lama dan dahsyat. Tetapi ini baru ditulis setelah tidak ada 
lagi kekuasaan yang mampu mengusir mereka waktu itu dari Sumatra Barat! (Baca 
antara lain surat sangat rahasia Gubernur/Komandan Militer A.V. Michiels No. 
La.Q
tertanggal 3 Oktober 1942 terkenal sebagai standard-brief Michiels)).

Segera setelah penandatanganan, diedarkan surat-surat terutama di daerah 
Pagaruyung, Suruaso dan Sungaitarab yang meganjurkan rakyat menentang Pidari 
dan minta perlindungan dari Belanda. Dikatakan bahwa “pemimpin-pemimpin” itu 
ialah orang-orang yang telah melarikan diri dan tidak berhak sama sekali 
mengatasnamakan rakyat. Namun harapan Belanda, bahwa rakyat sekonyong-konyong 
menyerang kaum Pidari atau berbondong-bondong datang kepada mereka, tidak 
terlaksana. Oleh karena itu baik residen Du Puy maupun komandan militer di 
Padang, Goffinet, berniat mengambil inisiatif sendiri saja memulai perperangan.

Benteng SIMAWANG segera mereka duduki dan menempatkan meriam-meriam mereka di 
sana.

Atas anjuran Du Puy, kapten Goffinet menyerang nagari SULITAIR karena rakyatnya 
tiadak ingin dilindungi Belanda. Serangan dilakukan pada tanggal 28 April 1831, 
tetapi tanpa disangka sangka menadapat perlawanan sengit selama sehari. Boleh 
kita katakana bahwa serangan Goffinet terhadap SULITAIR ini, merupakan 
permulaan perang Belanda melawan Pidari, tanpa pernyataan perang. Selama 
serangan itu, menurut laporan Du Puy, dapat dihancurkan 3 desa dan direbut 3 
meriam kecil. Dia menganjurkan agar pemerintahan terus menggempur 
pertahanan-pertahanan kaum Pidari dan pasti hasilnya akan menguntungkan Belanda.

Berlainan sedikit dngan laporan Du Puy itu dan kemudian juga dengan karangan 
Kilestra dan De lange, bekas residen Francis menulis dalam tahun 1856, bahwa 
serangan Belanda pada hari-hari pertama, jauh dari berhasil. Sewaktu menyerang 
SULITAIR mula-mula pasukan Belanda terpukul mundur begitu juga waktu menyerang 
Sipinang. Korban-korban cukup tinggi dibandingkan dengan jumlah tentara yang 
menyerang. Itulah sebabnya semua anjuran du puy untuk segera mengirim pasukan 
lebih banyak, tidak dituruti Batavia. Dia meminta untuk menyelidiki beberapa 
kekuatan kaum Pidari sebenarnya dan apakah benar gerakan pidari ini menguasai 
seluruh Minangkabau 


                
---------------------------------
Do you Yahoo!?
 Get on board. You're invited to try the new Yahoo! Mail.
--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply
- Besar posting maksimum 100 KB
- Mengirim attachment ditolak oleh sistem
=========================================================

Reply via email to