Mencetak Einstein secara Alamiah, atau Robot-Robot
Karena ingin anaknya superpintar, sejumlah orang tua menjejalinya dengan kursus-kursus--termasuk kursus mental arithmetic dan kumon. "Tapi ini gila!" teriak seorang pendidik, "Yang mereka perlukan fun!" Lahirnya seorang Einstein tidak bisa dengan dikarbit. TORU Kumon boleh jadi tidak menyangka sistem belajar yang dikembangkannya akan sepopuler sekarang. Awalnya, 1954, ia hanya ingin membantu Takhesi, murid kelas dua SD, mendongkrak mata pelajaran matematikanya yang jeblok. Guru di sebuah SMU di Prefektur Kochi, Jepang, itu lantas merancang suatu sistem belajar yang efektif dan sistematis bagi anaknya. Ia harapkan pula dasar-dasar matematika si anak menjadi kuat. Hasilnya? Sungguh luar biasa! Saat Takhesi di kelas enam SD, ia sudah dapat menyelesaikan persamaan diferensial dan kalkulus integral yang setara dengan pelajaran SMU. Sukses Takhesi lalu melecut Toru mengembangkan sistem itu kepada anak-anak lain di lingkungan rumahnya. Berkembang dari mulut ke mulut, sistem belajar itu dikenal sebagai metode kumon. Malah, pada 1958, untuk lebih mengembangkannya, didirikanlah Kumon Institute of Education (KIE). Kini metode dari Jepang ini telah menyebar di 45 negara di dunia, dengan jumlah siswa lebih dari 3 juta anak. Di Indonesia, siswanya telah mencapai 11 ribu orang, dihitung dari 1993 hingga Mei 2002. Menurut Magdalena, planning team leader KIE Indonesia, sebetulnya sistem ciptaan Toru Kumon itu cukup sederhana. Metode ini merupakan kursus matematika yang materinya sama dengan pelajaran di sekolah. "Bedanya, materi pelajarannya disusun sesistematis mungkin sehingga bisa lebih mudah dipahami siswa," katanya. Suasana belajarnya pun dibuat se-enjoy mungkin. Untuk tingkat pemula, misalnya, siswa diberi alat bantu pelajaran yang menarik, seperti papan bilangan magnetik, kartu bilangan, buku tulis bilangan, dan pensil segitiga kumon. Sebelum mengikuti kursus kumon, papar Magdalena, anak harus mengikuti "tes penempatan". Tujuannya untuk mengetahui sejauh mana kemampuannya saat itu, plus buat menentukan level pelajaran awal (titik pangkal) yang tepat. Setelah itu, anak akan belajar di kelas kumon seminggu dua kali. Si anak bebas datang pukul berapa saja di antara ketentuan jam buka kursus. Untuk bukan hari kursus, siswa akan mendapat lembar tugas pekerjaan rumah (PR). Setiap menyelesaikan satu level pelajaran, murid akan menjalani "tes penyelesaian pelajaran" untuk memastikan sudah sejauh mana penguasaannya akan materi pelajaran. Yang jelas, ujar Magdalena, kursus kumon mencoba memberikan pelajaran yang "tepat" untuk setiap anak sesuai dengan kemampuan masing-masing, sehingga pelajaran yang dipelajari bisa terus maju ke tingkat lebih tinggi. Intinya, dengan pemberian pelajaran yang "tepat" sesuai dengan kemampuan setiap anak, kemampuannya dapat berkembang secara maksimal. Selain yang disebut di atas, kini marak pula kursus metode mental arithmetic (MA). Hingga sekarang, jumlah penyelenggara kursus MA di Indonesia telah mencapai puluhan, dengan jumlah peserta ratusan ribu anak. Sebut saja Adil Sempoa Mandiri (Asma), Aloha Indonesia Abakus (AIA), Sempoa Indonesia Pratama (SIP), International Mental Arithmetic (IMA), dan Mental Aritmatik Soroban (MAS). Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah. Penyebabnya, di samping sedang tren, syarat dan izin pendiriannya tidaklah terlalu rumit. Sekarang, seperti apa sih metode MA itu sampai begitu besar minat siswa dan para orang tuanya? Metode ini sebetulnya merupakan sistem pengajaran berhitung untuk anak dengan menggunakan alat bantu soroban atau sempoa. Alat hitung tradisional Cina atau Jepang ini berupa kotak segi empat berisi manik-manik dalam jumlah tertentu. Dengan alat itu, si anak atau siapa saja yang mempelajarinya dapat menghitung sangat cepat--bahkan melebihi kecepatan kalkulator. Dengan sistem tersebut, perhitungan memakai pergerakan posisi biji-biji sempoa. Setelah rumus-rumusnya diketahui, pergerakan biji-biji sempoa itu cukup dibayangkan dalam otak si anak (mental), sehingga dia bisa menjawab soal dengan cepat. Jadi, untuk tingkat pemula, para siswa diajari berhitung dengan alat bantu sempoa atau soroban tadi. Tapi, bila siswa sudah mahir, alat tersebut dapat dicampakkan. Cukup dengan membayangkannya, si siswa tetap dapat menjawab soal hitungan dengan cepat dan akurat. Walhasil, pelajaran berhitung pun menjadi enteng dan menyenangkan. Cukup menarik memang. Toh, maraknya kursus seperti itu tetap saja mengundang pro dan kontra. Yang pro menganggap metode belajar model begitu sangat dibutuhkan--terutama untuk merangsang kecerdasan anak. Soalnya, menurut Tukiman, General Manager Aloha Indonesia Abakus, sistem belajar memang dirancang untuk melatih berfungsi maksimalnya otak kiri dan kanan. Sedangkan yang kontra berpandangan bahwa model pendidikan tersebut belum begitu perlu, khususnya untuk anak yang berusia di bawah lima tahun (balita). Metode ini dianggap memaksa si anak melakukan tugas-tugas berat sebelum waktunya. Bukankah dalam usia balita, anak-anak seharusnya menghabiskan waktunya untuk bermain--atau belajar sambil bermain? Nah, jika untuk itu mereka kehilangan waktu bermainnya, kasihan, kan? Psikolog anak Seto Mulyadi menilai, maraknya kursus itu mewakili gejala kehausan orang tua untuk memberikan semacam akselerasi kepada putra-putrinya. Jika sasarannya tercapai, itu dapat mendongkrak gengsi orang tua. Mereka senang bukan main kalau ada yang bilang, "Wah, anak Ibu (Bapak) hebat, Jeng." "Fenomena itu menggambarkan kekeliruan persepsi para orang tua bahwa makin digenjot anak akan makin hebat," kata bekas asisten Pak Kasur itu. Padahal, kalau makin digenjot, ujar Seto, anak akan kian kontraproduktif. Semakin anak dipaksa, justru akan tambah hilang potensi-potensi alamiahnya yang menunjukkan adanya ciri-ciri spontanitas, kreativitas, kebahagiaan, dan emosi yang lebih matang. Akibat buruknya, anak-anak akan school phobia (benci sekolah) dan mereka akan mengalami stres. Mereka juga akan menjadi robot-robot kecil yang tidak kreatif. Seto lalu menawarkan solusi, yakni kembali kepada prinsip the best interest of the child. Jadi, kalau anak-anak haus akan berbagai kegiatan, oke-oke saja. Yang penting jangan dipaksa. Kembalikanlah mereka kepada dunia bermainnya. Mereka harus senang melakukan apa saja, asalkan yang positif. "Ingat, dunia anak adalah dunia bermain. Dengan bermain, anak belajar banyak hal," Seto menandaskan. Pengamat pendidikan Andreas Harefa menyikapinya dengan lebih keras. Menurut dia, munculnya lembaga-lembaga pendidikan seperti itu adalah sindiran paling nyata atas mandulnya proses belajar-mengajar formal. Kalau di sekolah orang belajar menghitung, lalu di luar sekolah melakukannya lagi dengan cara lain, si anak akan kekurangan waktu luangnya. Sungguh ironis. Sekolah, yang awalnya untuk mengisi waktu luang anak, sekarang justru meniadakan waktu kosong yang menjadi hak mereka. Harefa tak yakin, kalau anak dijejali dengan banyak beban berpikir (selain belajar di sekolah dan membuat PR), akan baik perkembangan si anak. Dipandang dari sisi kemanusiaannya, anak-anak itu juga membutuhkan waktu yang banyak untuk melakukan apa yang mereka mau, terutama untuk bermain, yang harus banyak alokasi waktunya--bukannya justru menambahnya dengan beban belajar yang lebih besar. Bagi orang tua yang anaknya telanjur mengikuti kursus seperti itu, Harefa hanya ingin mengatakan bahwa anak-anak punya masa depannya sendiri. Anak-anak juga punya keahlian sendiri. Tolong temani mereka, dan jangan paksa mengikuti maunya orang tua. Lalu jangan memaksa anak-anak mengikuti sekolah lagi sepulangnya dari sekolah formal. "Mereka perlu fun! Untuk apa sih mereka belajar sepanjang hari hanya mengejar nilai belaka? Itu gila!" ujarnya. Harefa mencoba menenteramkan hati para orang tua yang anaknya belum "telanjur" mengikuti kursus tambahan. Happy saja. Belum tentu anak yang mengikuti kursus di luar lebih baik dari yang tidak sempat mendapatkan tambahan di luar. Jadi, tak soal apakah anak ikut pendidikan luar sekolah atau tidak, keberhasilan pendidikannya bergantung pada talenta si anak dan sejauh mana perhatian rutin orang tua kepada anaknya. Pendapat mana pun yang Anda ikuti, ikut atau tidak ikut kursus-kursus tersebut, keputusan ada di tangan Anda. Cuma, yang patut dicatat, biaya pendidikan kursus tambahan itu masih cukup mahal. Rata-rata ratusan ribu rupiah per paketnya. Sayang, kan, kalau ternyata hasilnya tak seperti yang diharapkan. Kata orang arif: arang habis besi binasa. Nurdin Kalim -------------------------------------------------------------- Website: http://www.rantaunet.org ========================================================= * Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi keanggotaan, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting * Posting dan membaca email lewat web di http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages dengan tetap harus terdaftar di sini. -------------------------------------------------------------- UNTUK DIPERHATIKAN: - Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply - Besar posting maksimum 100 KB - Mengirim attachment ditolak oleh sistem =========================================================