Adik Ahmad Ridha yss,
   
  Saya merasa berkewajiban untuk menanggapi dikotomi adat-agama, dengan 
pengetahuan yang terbatas saja.
   
  Ada empat buku yang pernah saya baca pada masa muda, yaitu “Kuliah Tauhid” 
merupakan kumpulan ceramah Bang Imad, “Monoloyalisme dalam Islam” karya Syed 
Qutb, sebuah buku karya Jalaluddin Rahmat yang judulnya saya lupa, dan “Ilmu 
Jiwa Agama (mantiq)” karya Nurhayati Amir. Buku pertama saya dalami setelah 
mengikuti LMD Bang Imad tahun 1986, menjelaskan pengertian tauhid dalam sistem 
keyakinan. Praktek tauhid dilanjutkan dalam memimpin berbagai perjuangan 
keIslaman pada masa itu, dan terus membekas hingga saat ini.
   
  Buku kedua menjelaskan “puncak” kepatuhan adalah hanya pada Allah SWT semata. 
Sebenarnya tiada sulit memahami buku ini bila telah membaca buku pertama.
   
  Buku ketiga, kurang lebih menjelaskan dalam beberapa tatacara peribadatan 
kita, “terkadang” muamalah dapat “mendahului” syariah. Jalal mencontohkan, 
ketika perhatian kita semata tertuju pada Allah semata, dan tiba-tiba ada orang 
mengetuk pintu, maka kita dapat mengeraskan bacaan kita atau mengucapkan 
“subhanallah”. Sebenarnya saya kurang pas dengan kesimpulan ini, mudah-mudahan 
para ahli dapat menjelaskan.
   
  Buku keempat, kebetulan karya ibunda sendiri, yang akhirnya mendorong saya 
untuk mendalami system of thinking.
   
  Pada masa tersebut, sebenarnya saya telah diangkat sebagai seorang penghulu 
adat. Dengan demikian secara bersamaan saya juga harus mempelajari sistem nilai 
adat. Cukup lama hal ini menjadi kontradiksi dalam pemikiran. Hingga pada suatu 
ketika saya mendapatkan keyakinan tentang “bagaimana” menempatkan diri dalam 
berbagai “amanah” tersebut. Bahwa pemahaman esensi mengenai adat justru bisa 
ditemukan bila mendalami makrifat. Bahwa sebagai “orang Minang” kita seharusnya 
dapat lebih bertauhid dan berIslam.
   
  Suatu realita perbandingan dari perjalanan dari Banda Aceh sampai Jayapura, 
bila “orang Minang” adalah relatif lebih ‘bertauhid’, dan juga adalah lebih 
“memakai” adat. Hal ini telah saya buka disini, bahwa kelebihannya adalah “peta 
mental” orang Minang. Saya belum menemukan istilah yang tepat untuk hal ini, 
mungkin juga bisa dengan istilah “otak kanan” (atau otak kiri?).
   
  Bahwa hal ini bersifat genetik, karena terasah dari zaman ke zaman. Bekasnya 
tertuang dalam berbagai pituah adat. Coba perhatikan logika ‘aneh’ ini: “baju 
dipakai usang, adat dipakai baru”, atau “taimpik nak di ateh, takuruang nak di 
luar”. Banyak contoh lagi, beberapa disebutkan juga dalam ceramah Dt. 
Parapatiah. Dalam logika tradisional (linier) hal ini dirasakan tidak mungkin.
   
  Atau perhatikan bagaimana suatu nasehat itu diberikan: “nak luruih rentangi 
tali, supayo jaan manyimpang kiri jo kanan, condong jaan kamari rabah, luruih 
sasuai barih adat; nak tinggi naiakkan budi, supayo jaan kalangkahan, tagak 
jaan tasundak, malenggang jaan tapampeh; nak haluih baso jo basi, jaan 
barundiang basikasek; nak elok lapangkan hati, basuluah jalan di nan tarang; 
nak mulia tepati janji, kato nan bana nan dipacik, tibo di ikrar sasuai lidah, 
tibo dijanji tepati juo; nak labo bueklah rugi, namuah bapokok babalanjo, 
marugi kito dahulu, pokok banyak labo basakik, lamo lambek dapek juo”. Logika 
ini bukan logika linier, atau, ‘kembali’, sementara saya menyebutkan sebagai 
logika lateral atau sistemik.
   
  Dengan ‘sedikit sentuhan eksternal’, logika ini berkembang luar biasa. Contoh 
ke-3 haji di awal Paderi untuk menanggapi situasi pada saat itu. Yang lebih 
tepat adalah Bung Hatta pada tahun 1920 mencetuskan Perhimpoenan Indonesia di 
Belanda, dan Dt. Tan Malaka pada tahun 1927(?) berpikir tentang Indonesia Raya 
di Cina, serta tentunya beberapa tokoh lain. Hanya satu orang yang mempunyai 
pemikiran setara saat itu, yaitu SAM Ratoelangie 1931 alumni Swiss. Saya tidak 
memaksudkan tentang ideologi, tetapi adalah logika itu telah membuka 
inklusivisme. Jiwa inklusif ini pada banyak suku bangsa adalah ‘keajaiban’, 
tapi khusus untuk orang Minang adalah ‘tipikal’.
   
  Hipótesis ini telah coba saya cari bukti di dalam sejarah, dan telah sama 
kita kaji. Orang Minang belum pernah dijajah oleh Melayu, Sriwijaya, Majapahit, 
Aceh, dan kekuasaan apa pun hingga Belanda 1821. Dapat dibayangkan sejak 1596 
armada Belanda hilir-mudik di Samudera Indonesia, namun tidak pernah mau 
menyentuh Minangkabau.
   
  Merantau pun orang Minang, yang dikibarkan bendera Minangkabau juga. Hal ini 
menunjukkan suatu ‘bakat genetik’ atau ‘tipikal’ yang tidak mudah punah. Saya 
sudah menemukan banyak perantau hingga ke perbatasan Timor Leste, Pulau Rote 
yang merupakan pulau paling selatan, hingga ke pedalaman Papua. Yang 
ditampilkan adalah ‘lambang adat’ dengan tanpa malu dan segan, yaitu rumah 
gadang, apakah sekedar gambar atau sebagian arsitektur bangunan. Sewaktu di 
Sorong kemarin saya cukup terkesima dengan sebuah bangunan yang termasuk 
terbesar di situ yaitu sebuah hotel dengan arsitektur rumah gadang, sebuah 
bangunan kecil di depannya malah disewakan untuk menjadi kantor DPRD Kota 
Sorong. Di Rótterdam di tepi sebuah danau di Kralingen, dulu ada sebuah 
restoran besar berdiri sendirinya secara mencolok dengan arsitektur rumah 
gadang.
   
  Mudah-mudahan ini bukan pandangan chauvinistik, tapi upaya menemukan jatidiri 
kita. Bila kita dapat lebih merumuskan hal ini dengan baik, siapa tahu kita 
malah dapat menemukan kembali ‘hakekat kemanusiaan terdalam sebagai makhluk 
Allah’ bagi orang Minang. Intinya adalah membenahi kembali ‘peta mental’ kita 
secara lebih dan kurangnya. Sesuai sebuah pandangan, sudah bukan saatnya 
mempertentangkan adat dan agama sebagai suatu sistem keyakinan. Terbukti usaha 
seperti ini dalam seabad ini senantiasa membuat kita kian terpuruk, dan kian 
menjauhkan kita dari jatidiri yang sebenarnya. Wallahu alam.
   
  Mudah-mudahan Allah meridhoi. Wassalam.
   
  -datuk endang

                
---------------------------------
Yahoo! Messenger with Voice. Make PC-to-Phone Calls to the US (and 30+ 
countries) for 2¢/min or less.
--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply
- Besar posting maksimum 100 KB
- Mengirim attachment ditolak oleh sistem
=========================================================

Kirim email ke