Tolong dibaca aturan di footer dibawah
--------------------------------------

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Republika, Selasa, 07 Nopember 2006

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=270869&kat_id=19&kat_id1=&kat_id2=
 


Ada satu ungkapan yang disepakati oleh seluruh umat Islam sebagai 
mengandung kebenaran: “Al-Islam shalih li kulli zaman wa makan” (Islam 
itu sesuai/baik bagi setiap masa dan tempat). Sebagai sesuatu yang 
ideal, saya sendiri setuju dengan ungkapan ini, sebab jika tidak 
demikian Islam akan kehilangan relevansinya untuk mengawal perubahan 
zaman. Pertanyaan kuncinya bila dikaitkan dengan situasi Indonesia 
adalah: Apakah Islam yang ada di kantong Muhammadiyah dan NU sudah mampu 
secara moral mengawal perubahan zaman ke arah kebaikan di negeri ini?

Bahwa Muhammadiyah dan NU sering diperhitungkan orang untuk kepentingan 
politik sesaat, tentu semua kita mengakuinya mengingat pengaruh kedua 
sayap umat itu sudah meresap jauh sampai ke akar rumput. Tetapi, apakah 
kerja keduanya sudah cukup efektif dalam upaya memperbaiki moral bangsa, 
data empiris menunjukkan bahwa jawabannya masih negatif. Mengapa? Saya 
melihat ada tiga alasan utama mengapa antara idealisme dan realitas 
masih ada sekat-sekat berupa dinding tebal yang membatasinya.

Pertama, saya mulai ragu apakah Islam yang selama ini ada dalam otak 
orang Muhammadiyah dan NU sudah cukup memadai untuk membawa bangsa dan 
negara ini ke arah keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi semua, 
tanpa diskriminasi. Jika keraguan saya ini mengandung kebenaran, maka 
pilihan yang terbuka adalah keberanian untuk meninjau kembali seluruh 
paham keagamaan kita dengan Alquran sebagai al-furqan (kriterium 
pembeda). Peninjauan ini akan meliputi ranah teologi, filsafat, moral, 
politik, sosial, dan ekonomi.

Kedua, apakah doktrin mazhab, nonmazhab, salafiyah, dan yang sejenis itu 
tidak perlu kita masukkan saja ke dalam museum sejarah, sebuah gerakan 
dekonstruksi sekaligus rekonstruksi perlu dilakukan terhadap semua paham 
keagamaan kita yang ternyata sudah tidak shalih lagi untuk memecahkan 
masalah-masalah kemanusiaan yang semakin ruwet dari hari ke hari. 
Otokritik ini sangat diperlukan, sebab jika tidak abad-abad yang akan 
datang boleh jadi masih akan dikuasai oleh kekuatan 
sekularisme-ateistik, di mana gagasan besar tentang Tuhan akan tetap 
saja tertindas oleh gelombang modernitas yang antikeadilan.

Jika umat Islam tetap saja berkutat dalam paham keagamaannya seperti 
selama ini, apakah kita yakin bahwa masa depan akan berpihak kepada 
Islam? Gagasan semacam ini telah mulai saya komunikasikan dengan 
beberapa pemikir muda Muhammadiyah dan NU untuk dipertimbangkan. Ketiga, 
Muhammadiyah dan NU tidak lain dari hasil sejarah yang kelahirannya 
dipengaruhi oleh lingkungan zaman tertentu yang kemudian menampakkan 
diri dalam sikap-sikap teologis-filosofis dan fiqhiyah yang dianut para 
pengikutnya. Semua hasil pemikiran, atau katakan kerja ijtihad, adalah 
time-bound (terikat oleh waktu). Dalam perspektif ini, tidak satu pun 
hasil pemikiran manusia yang bersifat final, termasuk pemikiran 
keagamaannya.

Bagi seorang beriman, yang final adalah kebenaran wahyu, tetapi tafsiran 
terhadap wahyu itu selamanya nisbi. Di sinilah berlakunya ketegangan 
antara unsur kemutlakan dan unsur kenisbian yang memaksa kita untuk 
senantiasa membuka ruang untuk berdialog dalam upaya mencari ajaran yang 
paling mendekati kebenaran.

Muhammadiyah dan NU harus bersikap rendah hati untuk tidak memutlakkan 
paham keagamaan yang telah mereka pegang selama ini. Perkara khilafiyah 
yang kadang-kadang masih marak di akar rumput, perlu disikapi dengan 
kearifan tingkat tinggi. Energi umat jangan sampai terkuras oleh 
masalah-masalah kecil itu, sehingga mata kita buta untuk melihat 
persoalan-persoalan besar yang menjadi misi utama Islam: Rahmat bagi 
alam semesta.

Jika saya membaca peta Muhammadiyah dan NU, semata-mata karena itu yang 
terdekat dengan kita, dan keduanya dikenal sebagai dua sayap yang 
menampilkan ummatan wasathan (komunitas tengah) yang tidak mau terjebak 
oleh segala bentuk ekstremitas. Bila dikaitkan dengan wajah dunia Islam 
secara keseluruhan yang masih kusut-masai, kepeloporan Muhammadiyah-NU 
sebagai kekuatan yang antiekstremitas, maka tidak tertutup kemungkinan 
bahwa umat Islam di bagian-bagian lain dunia akan mendapat ilham dari 
apa yang telah dan akan ditunjukkan oleh keduanya.

Saya berharap tenaga-tenaga pemikir yang serius dari kedua sayap ini 
agar membaca sebanyak-banyaknya dengan daya kritikal yang prima 
karya-karya pemikiran Islam kontemporer untuk dijadikan bahan 
pertimbangan untuk kepentingan kita di Indonesia. Tanpa kesediaan untuk 
berubah ke arah sikap yang lebih cerdas dan terbuka, saya khawatir Islam 
di Indonesia hanyalah sebuah gumpalan asap (ungkapan Iqbal) yang gampang 
terseret oleh berbagai kepentingan duniawi yang bermutu rendah.



--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email, DITOLAK atau DIMODERASI oleh system, jika:
1. Email ukuran besar dari >100KB.
2. Email dengan attachment.
3. Email dikirim untuk banyak penerima.
================================================

Reply via email to