Tolong dibaca aturan di footer dibawah
--------------------------------------

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Republika, Selasa, 28 Nopember 2006

http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=273426&kat_id=19

Jika dibandingkan dengan metode Fazlur Rahman dalam kajian keislaman 
yang cenderung melebar, tetapi tidak kurang tajam dan mendalamnya, 
pendekatan Khaled Abou El Fadl lebih menukik dan berani, khususnya dalam 
masalah syariah yang memang merupakan disiplin utamanya. El Fadl 
kelahiran Kuwait, lama belajar di Mesir, kemudian di Amerika Serikat.

Sekarang adalah guru besar hukum Islam di UCLA School of Law. Mata 
kuliah yang diasuhnya adalah hukum Islam, hukum imigrasi, hukum hak-hak 
asasi manusia, dan hukum internasional dan keamanan nasional. Semuanya 
berkaitan dengan masalah hukum. Saya pernah memapah Abou El Fadl di 
Kantor PP Muhammadiyah Jakarta pada saat memberi ceramah di sana sekitar 
satu setengah tahun yang lalu, yang dipandu oleh Sukidi, sekarang 
belajar di Harvard.

Dalam kondisi fisik yang tidak lagi prima, El Fadl adalah salah seorang 
juru bicara Islam kontemporer yang cerah di muka bumi. Ia telah menulis 
beberapa karya penting tentang Islam yang diramunya dari sumber-sumber 
klasik dan modern. Di atas ramuan itulah ia memetakan tafsirannya 
tentang Islam dengan cara yang sangat kritikal, mendalam, dan komprehensif.

Pedang kritiknya dibidikkan kepada dua sasaran: Puritanisme Islam dan 
modernitas sekuler. Solusi yang ditawarkannya adalah sebuah Islam 
moderat yang cerdas, kreatif, dan penuh semangat juang, sebagai cerminan 
dari rahmat bagi seluruh alam. Resonansi ini sebagian didasarkan pada 
kesimpulan salah satu karya terbarunya, The Great Theft / Kemalingan 
Besar. ( New York: HarperSanFrancisco, 2005, 290 hlm. plus catatan 
akhir). Karya lain yang tidak kurang menantangnya, di antaranya And God 
Knows the Soldiers dan Speaking in God's Name. Kedua buku ini banyak 
berbicara tentang gelombang puritanisme kontemporer. Menurut El Fadl, 
aliran puritan dapat dilacak akarnya pada golongan Khawarij, bekas 
pengikut 'Ali bin Abi Thalib, yang pada abad pertama Islam telah banyak 
membunuh orang Islam dan non-Muslim, dan bertanggung jawab dalam 
menghabisi nyawa 'Ali bin Abi Thalib sendiri. Setelah terlibat dalam 
pertumpahan darah yang panjang dan sia-sia, sisa-sisa kaum Khawarij 
masih dijumpai sedikit di Oman dan Ajazair, tetapi mereka sudah berubah 
menjadi moderat, bahkan pasifis (suka damai).

Dalam penglihatan El Fadl, mengapa arus ekstremisme marak di dunia 
Muslim sekarang? Salah satu sebabnya adalah karena “lembaga-lembaga 
tradisional Islam yang secara historis bertindak untuk meminggirkan 
aliran ekstremis tidak ada lagi. Inilah yang membuat periode sejarah 
Islam sekarang jauh lebih sulit dibandingkan periode yang lain, dan 
inilah sebabnya mengapa orientasi puritanisme modern lebih mengancam 
integritas moralitas dan nilai-nilai Islam melebihi gerakan-gerakan 
ekstremis sebelumnya.

Barangkali inilah pertama kali dalam sejarah bahwa pusat dunia Islam, 
Makkah dan Madinah, telah berada di bawah kontrol negara puritan selama 
periode yang demikian lama.” (Ibid., hlm. 102). Dengan uang yang 
melimpah, Wahabisme telah diekspor ke berbagai pojok bumi yang mematikan 
kebebasan berpikir dan intelektualisme Islam. Ironisnya adalah bahwa 
Kerajaan Saudi dalam politik global banyak bergantung pada Amerika Serikat.

Inilah sebuah kongsi yang aneh antara dua sistem politik yang sebenarnya 
sangat rapuh, tetapi direkat oleh kepentingan-kepentingan pragmatis 
jangka pendek. Puritanisme kontemporer memang umumnya muncul dari rahim 
Wahabisme, dan Taliban adalah salah satu bentuknya. Jadi, tidak 
mengherankan jika seorang Usamah bin Ladin diterima baik dalam kultur 
Taliban, karena persamaan doktrin yang dianut, dengan catatan jasa 
Amerika cukup besar dalam mendukung puritanisme ini sewaktu menghadapi 
pasukan Uni Soviet di Afghanistan.

Sejak tragedi 11 September 2001, kemudian aliansi mereka pecah. Dan 
Amerika sekarang kewalahan menghadapi “anak didiknya” ini yang sebagian 
terlibat dalam kegiatan teror global, sebagaimana juga Gedung Putih di 
bawah Bush telah pula menjadi pusat teror negara bersama Israel. Invasi 
terhadap Afghanistan dan Irak dengan helah yang dibuat-buat adalah 
bentuk terorisme negara untuk menghancurkan dua bangsa dan negara lemah, 
yang sekarang kondisinya malah semakin memburuk dan rusak.

Menurut keterangan yang diberikan Pak Taufiq Kiemas kepada saya di 
pesawat Garuda dalam penerbangan ke Yogyakarta pada 23 November, 
sebenarnya Presiden Megawati telah mengingatkan Bush agar tidak 
menyerang Irak, sebab akan sulit keluar dari sana, tetapi Bush tetap 
nekat. Sebuah kenekatan yang harus dibayar dengan ongkos yang sangat 
mahal, termasuk kekalahan Partai Republik baru-baru ini dalam pemilihan 
senat dan kongres Amerika.



--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email, DITOLAK atau DIMODERASI oleh system, jika:
1. Email ukuran besar dari >100KB.
2. Email dengan attachment.
3. Email dikirim untuk banyak penerima.
================================================

Kirim email ke