Tolong dibaca aturan di footer dibawah
--------------------------------------

MEMBANGUN KOTA HEMAT ENERGI - Bagian ketiga

oleh Bambang Setia Budi


Ini adalah langkah lanjutan dari perencanaan sistem
transportasi dan manajemen lalu lintas (transport
planning and traffic management) untuk upaya membangun
kota hemat energi. Langkah berikut ini sangat perlu
dan penting dilakukan sebagai pendukung dan pelengkap
kebijakan dua hal sebelumnya yakni pembangunan sarana
transportasi masal yang efisien dan representatif
serta penyediaan sarana/jalur sepeda dan pejalan kaki
yang aman dan nyaman.

3. Pengendalian Transportasi

Kalau kedua hal sebelum ini (pembangunan sarana
transportasi masal dan jalur sepeda/pejalan kaki)
menyangkut pembangunan sarana dan prasarana fisik,
maka pengendalian transportasi adalah lebih kepada
kebijakan perangkat lunaknya yang dapat berupa
peraturan-peraturan daerah/kota. Sebagian peraturan
juga telah disinggung pada bagian kedua sebelumnya
khususnya pada pemberlakuan privilege untuk pengguna
sepeda/pejalan kaki. Berikut ini lebih diperluas untuk
mendukung semuanya.

Muaranya adalah untuk mengurangi kepadatan lalu lintas
khususnya kendaraan bermotor dan mobil pribadi di
jalan-jalan di kota, dan mengalihkannya ke penggunaan
transportasi masal (mass/public transport) serta moda
non motorized transportation. Tentu dengan
catatan/asumsi kedua hal tersebut infrastrukturnya
telah dibenahi dan digarap serius lebih dulu. Karena
tanpa didahului keduanya, kebijakan manajemen
pengendalian transportasi ini akan mudah gagal atau
tidak terlalu berguna atau hanya akan menghambat
mobilitas penduduk kota, padahal mobilitas adalah
sebuah kemestian di kota. Sebagaimana pemberlakuan
kebijakan Kawasan Pembatasan Penumpang (KPP) atau
three in one (satu mobil berisi minimal tiga
penumpang) pada jalan-jalan tertentu di Jakarta saat
ini, sebenarnya tidak banyak memberi pengaruh/dampak
yang berarti bagi terbenahinya sistem transportasi di
Ibukota.

Upaya pengendalian transportasi atau yang disebut
transportation control measures (TCM) telah banyak
dilakukan di berbagai negara lain dan ini sangat
banyak alternatifnya. Di antaranya dapat dilakukan
upaya berikut: Pertama, pembatasan jumlah kendaraan
(traffic restraints) di kota melalui jumlah parkir
resmi (terdaftar), pelarangan parkir di kota dan
menaikkan harga parkir pada kawasan tertentu. Menengok
kota-kota di Jepang, setiap mobil bermesin di atas
500cc diwajibkan memiliki tempat parkir resmi yang
terdaftar. Setelah memiliki tempat parkir resmi (yang
dicek secara khusus dari pihak kepolisian), kemudian
dipakai sebagai persyaratan mendapatkan shaken atau
izin jalan mobil selama dua tahun. Tanpa ini, mobil
tidak akan pernah bisa mendapatkan shaken tersebut,
artinya mobil juga tidak boleh berjalan di kota atau
kemana pun. Dengan demikian, jumlah mobil berukuran
tertentu di kota itu dapat terkontrol jumlahnya
mendekati atau sesuai dengan jumlah parkir resmi yang
tersedia di kota itu.

Terkait parkir juga, di banyak lokasi dan juga di
sepanjang jalan utama kota-kota di Jepang, mobil tidak
diperbolehkan parkir sembarangan. Setiap mobil harus
diparkirkan pada tempat yang tersedia dan harganya
tidak murah karena dihitung setiap 15-30 menit atau
satu jamnya. Artinya semakin banyak waktu yang
digunakan untuk parkir maka harganya dipastikan
semakin mahal. Kalau terjadi pelanggaran atau
kesalahan parkir, bisa kena denda yang sangat mahal,
bahkan untuk tempat tertentu seperti di sekitar/depan
eki (stasiun kereta) dendanya lebih mahal lagi (sekali
denda bisa mencapai 15 man, atau sekitar 13-14 juta
rupiah). Dengan aturan parkir di kota semacam itu,
dengan sendirinya mendorong warga untuk mengambil
pilihan yang lebih praktis, beresiko kecil, lebih
murah, dan yang sesuai untuk diri dan keperluannya,
misalnya memilih menggunakan moda transportasi masal
atau bersepeda untuk jarak tertentu.

Kedua, pemberlakuan sistem daerah lisensi (area
licensing system), atau sistem insentif ekonomi dengan
pemberlakuan tarif pada jalan dan waktu tertentu (road
pricing). Untuk di Jepang, sepanjang pengalaman
penulis menggunakan kendaraan mobil di Jepang belum
pernah menemukan area atau jalan yang memberlakukan
sistem ini. Hanya jalan tol saja yang diwajibkan
membayar. Namun di beberapa negara maju yang lain, hal
ini diberlakukan, misalnya seperti di Orchad Road di
Singapura. Di pagi hari setiap kendaraan yang akan
lewat diharuskan membayar sejumlah uang tertentu
terlebih dahulu.

Sebagai catatan, penulis menyarankan pilihan road
pricing ini sebaiknya adalah alternatif terakhir dan
diberlakukan hanya pada jalan atau jalur yang sangat
khusus, lagi pula waktu tertentu saja misalnya jam
sibuk, mengingat fungsi jalan itu sendiri adalah untuk
melayani publik. Dengan demikian masyarakat tidak
dirugikan. Penulis menekankan hal ini karena agar
jangan sampai pemerintah kita langsung mengambil
pilihan ini karena dianggap paling mudah, tanpa
berfikir lebih jauh dan menyeluruh untuk menyelesaikan
berbagai masalah transportasi kota, serta ingin
memperoleh dana dari masyarakat dengan dalih ingin
mengurangi kemacetan.

Ketiga, sistem genap-ganjil dari nomor akhir plat
kendaraan. Artinya, mobil-mobil pribadi diatur hak
jalannya di dalam kota berdasar pada nomor akhir plat
kendaraannya. Mengambil pengalaman di banyak kota di
Italia seperti Roma, Napoli, Milano, Turino, dan
lain-lain, pada akhir tahun 1991 telah memberlakukan
larangan mengendarai mobil kecuali pada hari yang
ditentukan. Peraturan itu menyebutkan nomor ganjil
berjalan di satu hari dan nomor genap di hari
berikutnya, dan seterusnya.

Awalnya banyak pengemudi yang sangat jengkel karena
dianggap membatasi dan mengekang mobilitas mereka.
Konon dalam suatu hari, polisi mencatat tak kurang
dari 12.983 pelanggaran karena mengabaikan atau
mengubah-ubah plat nomor mereka sesuai hari boleh
jalan. Namun dengan aturan ini, selain berhasil
membatasi jumlah kendaraan di jalan-jalan, menghemat
energi, adalah terutama dapat mengurangi polusi udara
di kota. Konon Kementrian Lingkungan Hidup Italia
melaporkan adanya pengurangan polusi sebesar 20%
hingga 30% dari sebelumnya pada kota-kota yang
memberlakukannya.

Di Bogota, ibukota Columbia, pada hari-hari tertentu
juga digunakan kebijakan pemakaian mobil yang
diizinkan masuk dan berlalu lalang di jalanan kota
berdasarkan nomor plat ini. Selama dua hari dalam
sepekan kendaraan pribadi dilarang beroperasi. Mereka
mengaturnya dengan cara kendaraan berplat nomor
berakhiran 1 hingga 4 dilarang untuk digunakan pada
hari Senin; 5 hingga 8 pada hari Selasa; 9, 0, 1 dan 2
pada hari Rabu; 3, 4, 5 dan 6 pada hari Kamis; serta
7, 8, 9 dan 0 pada hari Jumat; dan seterusnya. Dampak
yang terjadi kemacetan bisa terhindari, mengurangi
polusi, dan energi bisa lebih dihemat. Ini semua dapat
berjalan, tentu karena adanya alternatif moda
mobilitas yang lain seperti transportasi masal yang
baik dan representatif.

Keempat, pemberlakuan pajak mobil secara progresif
yakni makin punya banyak mobil makin mahal pajaknya.
Misalnya dalam satu keluarga, kepemilikan mobil kedua,
ketiga, keempat dan seterusnya pajaknya harus dibuat
semakin mahal. Selain itu juga umur mobil, makin tua
makin mahal. Ini untuk menebus polusi yang diakibatkan
karena bertambah banyak jumlah dan usia dari
mobil-mobil yang dimilikinya itu.

Kelima, pemberlakuan zona bebas mobil/kendaraan (car
free zone). Kalau yang pertama hingga keempat hanya
"mengurangi" volume lalu lintas, yang kelima ini
secara total memberlakukan pelarangan mobil masuk ke
area tertentu yang ditentukan sebagai zona bebas
mobil/kendaraan. Mengambil contoh di Buenos Aires
ibukota Argentina, pada tahun 1977 melarang kendaraan
pribadi memasuki jalan-jalan pusat keramaian kota saat
hari kerja dari pukul 10 pagi hingga 7 malam.
Sementara bus dan taksi diperbolehkan hanya pada
beberapa jalan tertentu. Meskipun pada awalnya
barikade polisi digunakan untuk menegakkan larangan
ini, namun kebijakan itu ternyata cukup berhasil
mengatasi kepadatan lalu lintas dan pencemaran udara
yang disebabkan oleh satu juta orang yang memadati
pusat kota tersebut. Saat ini pelarangan cukup dengan
rambu-rambu kecil yang menjelaskan kebijakan tersebut.

Larangan masuk bagi mobil pribadi secara sebagian atau
total juga diberlakukan di sebagian besar kota besar
Italia seperti di Roma, Florensia, Napoli, Bologna,
dan Genoa hingga di kota-kota kecil. Dari pukul 7.30
pagi sampai 7.30 malam, hanya bus, taksi, kendaraan
pengirim barang, dan mobil-mobil pribadi pemilik rumah
di daerah itu yang boleh memasuki daerah pusat Roma
dan Florensia. Larangan serupa juga diberlakukan di
kota Amsterdam di Belanda, Athena ibu kota Yunani,
Barcelona di Spanyol, Budapest di Hungaria, Munich di
Jerman, dan di banyak kota di negara-negara Eropa
lainnya. Intinya, selain menghemat, pemberlakuan
aturan zona bebas kendaraan ini sebagai suatu cara
untuk mengurangi pencemaran udara, menggalakkan
pariwisata, dan meningkatkan kualitas kehidupan.

Keenam, pemberlakuan hari tanpa berkendaraan (car free
day). Ada hari-hari tertentu yang ditetapkan di mana
kendaraan bermotor dan mobil tidak dikendarai di kota.
Di Bogota, gerakan car free day langsung dipelopori
oleh pemerintah kota dan semula hanya beberapa hari
dalam satu tahun. Pada awalnya memang terjadi
penentangan, namun dengan ketegasan penegakkan aturan,
lama kemudian masyarakat pun menjadi biasa. Bahkan
dalam sebuah voting yang diselenggarakan pemerintah
kota, warga kota menginginkan acara tersebut
dilaksanakan setiap tahun, dan saat ini dijalankan
setiap hari minggu. Sebagai gantinya pemerintah kota
menggalakkan hari bersepeda dan penggunaan
transportasi umum masal BRT (Bus Rapid Transit)
TransMilenio. Tak heran pelaksanaan program car free
day ini disebut-sebut sebagai yang terbesar di dunia.

Ketujuh, uji coba berbagi/bermobil patungan (car
sharing). Ini sebuah kebijakan untuk mengurangi
ketergantungan mobil namun dengan tetap memberi
kebebasan bermobil di kota. Pengguna cukup membayar
berapa kilometer yang dipakainya. Konon disebutkan
jika kita mengendarai tidak lebih dari 12.000 km/tahun
(7500 miles), maka akan menghemat ribuan dolar
pertahun dibanding dengan memakai mobil pribadi, tanpa
mengurangi mobilitas dan dapat mengurangi polusi udara
kota. Karena dalam sistem ini, pengguna mobil tidak
perlu memikirkan biaya perbaikan, asuransi, parkir dan
lain-lain.

Car sharing ini sejarahnya bermula pada tahun 1987 di
Swiss, kemudian di tahun 1988 di Jerman, dan sejak
1993 berkembang pesat di Amerika Utara melalui Quebec
City. Menurut Susan Shaheen dari Universitas
Califonia, Berkeley, jaringan car sharing di Amerika
pada tahun 2004 telah memiliki 61.651 anggota dengan
939 mobil, dan di Kanada sebanyak 10.759 anggota
dengan 528 mobil. Namun pilihan berbagi mobil ini
sepintas seperti paling jauh dan paling tidak
memungkinkan di negeri kita, mengingat mobil di negeri
kita masih tergolong sebagai barang mewah, juga adanya
perbedaan "budaya" bermobil, dan berbagai faktor
lainnya.

Berbagai pilihan kebijakan pengendalian transportasi
yang diterapkan pada banyak kota di berbagai negara di
atas hanyalah contoh-contoh yang telah dilakukan oleh
pemerintah kota bersangkutan. Pemerintah kota
khususnya kota-kota besar di Indonesia sudah
semestinya terus memikirkan berbagai alternatif
kebijakan pengendalian transportasi yang paling tepat
untuk diterapkan pada kotanya. Boleh jadi,
terobosan-terobosan baru yang berupa gagasan dan
keputusan radikal bisa saja dilakukan, dengan tetap
menyesuaikan kondisi kota dan masyarakatnya. Untuk
kota Jakarta, sebenarnya sudah memiliki Dewan
Transportasi Kota (DTK) yang dilantik sejak 11 Januari
2004, namun kinerjanya sampai saat ini masih sering
dipertanyakan.

Cara belajar yang paling cepat adalah mempelajari
bagaimana kota-kota lain di dunia menerapkan berbagai
kebijakan pengendalian transportasi tadi, termasuk
kelebihan dan kekurangannya. Seperti di Jepang,
tampaknya pengendalian melalui sistem parkir sangat
efektif dan berperan besar dalam upaya pengendalian
transportasi di negara ini.

Penerapan dari berbagai alternatif tersebut di
Indonesia, mestilah didahului dengan kajian mendalam,
melalui sebuah riset dengan data yang akurat. Selain
itu penting sekali mempersiapkan segala perangkat yang
diperlukan dan mensosialisasikan programnya dengan
baik ke masyarakat luas sehingga memperkecil peluang
kegagalan atau tidak hanya sekadar menjadi coba-coba.
Wallahu alam bishawwab.

***

Bambang Setia Budi, Peneliti pada Institute for
Science and Technology Studies (ISTECS) bidang Kajian
Tata Kota, Staf Departemen Arsitektur ITB dan Kandidat
Doktor di Toyohashi University of Technology, Jepang.
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

published @ beritaiptek.com
Senin, 9 Januari 2006 15:46:34



__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email, DITOLAK atau DIMODERASI oleh system, jika:
1. Email ukuran besar dari >100KB.
2. Email dengan attachment.
3. Email dikirim untuk banyak penerima.
================================================

Kirim email ke