Setuju banget... makasih tulisannya, smoga saya menjadi lebih
sensisitf terhadap waktu. selama ini saya lebih sensitif sama kenaikan
tc n tkt... hehehe... n masih masuk dalam kecepatan  
smoga bisa melakukan percepatan.... thanks...





--- In perbendaharaan-list@yahoogroups.com, "okalaksana"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>  Sensitif terhadap Waktu
> 
> Menunda amal kebaikan karena menantikan kesempatan yang lebih baik
> adalah tanda kebodohan yang memengaruhi jiwa (Ibnu Atha'ilah)
> Sesungguhnya waktu akan menghakimi orang yang menggunakannya. Saat
> kita menyia-nyiakan waktu, maka waktu akan menjadikan kita orang
sia-sia.
> Saat kita menganggap waktu tidak berharga, maka waktu akan menjadikan
> kita manusia tidak berharga. Demikian pula saat kita memuliakan waktu,
> maka waktu akan menjadikan kita orang mulia. Karena itu, kualitas
> seseorang terlihat dari cara ia memperlakukan waktu.
> Allah SWT menegaskan bahwa orang rugi itu bukan orang yang kehilangan
> uang, jabatan atau penghargaan. Orang rugi itu adalah orang yang
> membuang-buang kesempatan untuk beriman, beramal dan saling
> nasihat-menasihati (QS Al Asher <103>: 1-3).
> Menunda amal
> Ciri pertama orang merugi adalah gemar menunda-nunda berbuat kebaikan.
> Ibnu Athailah menyebutnya sebagai tanda kebodohan, "Menunda amal
> kebaikan karena menantikan kesempatan yang lebih baik adalah tanda
> kebodohan yang memengaruhi jiwa.
> Mengapa orang suka menunda-nunda?
> Pertama, ia tertipu oleh dunia. Ia merasa ada hal lain yang jauh
> berharga dari yang semestinya dilakukan. Tetapi kamu (orang-orang
> kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah
> lebih baik dan lebih kekal. Demikian firman Allah dalam QS Al A'laa
> <87> ayat 16-17.
> Kedua, tertipu oleh kemalasan. Malas itu penyakit yang sangat
> berbahaya. Orang malas tidak akan pernah meraih kemuliaan di dunia dan
> akhirat. Tidak ada obat paling manjur mengobati kemalasan, selain
> mendobraknya dengan beramal.
> Ketiga, lemah niat dan tekad, sehingga tidak bersungguh-sungguh dalam
> beramal. Salah satunya dengan terus menunda. Seorang pujangga
> bersyair, Janganlah menunda sampai besok, apa yang dapat engkau
> kerjakan hari ini. Juga, Waktu itu sangat berharga, maka jangan engkau
> habiskan kecuali untuk sesuatu yang tidak berharga.
> Tidak sensitif terhadap waktu
> Ciri kedua, tidak sensitif terhadap waktu. Islam memerintahkan kita
> untuk sensitif terhadap waktu. Dalam sehari semalam tak kurang lima
> kali kita diwajibkan shalat. Sehari semalam, lima kali Allah SWT
> mengingatkan kita akan waktu. Shalat pun akan bertambah keutamaannya
> bila dilakukan di masjid, berjamaah dan tepat waktu. Karena itu,
> orang-orang yang mendirikan shalat, pasti memiliki manajemen waktu
> yang baik.
> Sesungguhnya, kita hanya akan perhatian terhadap sesuatu yang kita
> anggap penting. Demikian pula dengan waktu. Jika kita menganggap waktu
> sebagai modal terpenting, maka kita akan sangat sensitif dan perhatian
> terhadapnya. Kita tidak akan rela sedetik pun waktu berlalu sia-sia.
> Orang yang perhatian terhadap waktu terlihat dari intensitasnya
> melihat jam. Ia sangat sering melihat jam. Ia begitu perhitungan,
> sehingga kerjanya efektif dan cenderung berprestasi. Penelitian
> menunjukkan semakin seseorang perhatian dengan waktu, semakin berarti
> dan efektif hidupnya. Ia pun lebih berpeluang meraih kesuksesan.
> Orang sukses itu tidak sekadar punya kecepatan, namun ia punya
> percepatan. Kecepatan itu bersifat konstan atau tetap, sedangkan
> percepatan itu menunjukkan perubahan persatuan waktu. Artinya, orang
> sukses itu senantiasa melakukan perbaikan. Hari ini harus lebih baik
> dari hari kemarin. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah SAW bahwa
> orang beruntung itu hari ini selalu lebih baik dari kemarin. Lain
> halnya dengan orang konstan; hari ini sama dengan kemarin. Rasul
> menyebutnya orang rugi. Sedangkan orang yang hari ini lebih buruk dari
> kemarin disebut orang celaka.
> Saudaraku, orang yang memiliki percepatan, hubungan antara prestasi
> dengan waktu hidupnya menunjukkan kurva L. Dalam waktu yang minimal,
> ia mendapatkan prestasi maksimal. Itulah Rasulullah SAW. Walau usianya
> hanya 63 tahun, namun beliau memiliki prestasi yang abadi. Demikian
> pula para sahabat dan orang-orang besar lainnya. Semuanya berawal dari
> adanya sensitivitas terhadap waktu.
> 
>


Kirim email ke