Kisah Para Whistleblower yang Tegar Melaporkan Kasus Korupsi
Melawan Dinas Luar, Uang Lembur, dan Seminar Fiktif Tingkat korupsi di tubuh birokrasi sudah sangat parah. Untungnya, masih ada orang-orang yang "melawan arus" seperti yang dilakukan tiga wanita pegawai Pemprov Jatim ini. M. ELMAN, Surabaya STATUS resminya masih pegawai Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Provinsi Jatim. Namun, sudah lebih dari setahun Ir Naniek Yuniati SH tidak mengantor. Ibu dua anak itu dalam posisi sulit. Dia masih menerima gaji. Tapi, mau masuk ke kantornya di kawasan Jalan Injoko, Surabaya, dia tidak tahu job-nya di mana dan mau duduk di mana. "Masak saya harus berdiri di kamar mandi kantor," kata Naniek kepada Jawa Pos yang menemui di rumahnya, kawasan gang sempit di Kalibokor Kencana. Dengan status digantung seperti itu, dia menyatakan punya beban psikologis. Tidak hanya kepada teman-temannya di kantor, tapi juga tidak enak kepada para tetangga di kampung. "Saya ini pegawai kok saban hari di rumah saja," ujarnya. Ketidakjelasan posisi Naniek di kantor tersebut diduga berkaitan dengan sikap kritis dia terhadap praktik korupsi di instansinya. Sarjana perikanan lulusan Universitas Dr Sutomo Surabaya yang diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) sejak 1998 itu getol melaporkan potongan 10-15 persen atas proyek-proyek di DKP Jatim. Sebagai orang dalam, kata Naniek, dirinya melihat praktik korupsi tersebut dengan mata kepala sendiri. Sebab, saat itu, setiap pencairan anggaran proyek yang diajukan selalu dipotong 10-15 persen oleh bendahara. "Alasannya untuk dana koordinasi dengan DPR, Dirjen, gubernur," ungkapnya menirukan alasan bendahara. Tanpa potongan itu, bendahara menyatakan anggaran tersebut tidak bisa cair. Menurut perhitungan Naniek, selama kurun 1999-2004 saja, total anggaran yang menjadi objek potongan ilegal itu mencapai Rp 600 miliar. Berarti, kalau dipungut 10 persen saja, sudah Rp 60 miliar yang menguap. Itu baru korupsi potongan langsung. Belum lagi korupsi saat proyek tersebut dilaksanakan. Praktik-praktik itulah yang dulu dia laporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan presiden. Dia merasa laporan tersebut ternyata berguna. Itu terjadi setelah kasus dana nonbujeter di DKP yang melibatkan terdakwa, antara lain, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri diproses di pengadilan. "Laporan itu sudah saya ungkapkan jauh sebelum kasus Pak Rokhmin mencuat," katanya. Wanita 44 tahun tersebut menyatakan risi atas praktik-praktik korupsi di instansinya. Celah-celah yang juga sering menjadi praktik korupsi di kantor pemerintah, kata dia, adalah pemakaian anggaran dinas luar (DL) fiktif, uang lembur fiktif, kegiatan seminar fiktif, serta pembelian ATK (alat tulis kantor) fiktif. Di kantornya, pemimpin meminjam nama anak buah untuk dinas luar (DL) fiktif adalah biasa. Misalnya, karyawan golongan III seperti dirinya tanda tangan DL (fiktif) Rp 500 ribu, tapi hanya menerima Rp 100 ribu. Sisanya masuk kantong pimpinan. "Misalnya, Kasubdin ke Jakarta butuh Rp 3 juta. Maka, dia butuh tanda tangan (DL fiktif) lima sampai enam staf," katanya. Praktik lain yang juga dia laporkan ke Polda Jatim adalah seminar yang diadakan DKP Jatim di Gresik pada November 2005. Kegiatan itu sebetulnya diadakan di Kantor Pemkab Gresik, tapi di SPJ (surat perintah jalan) dibuat seakan-akan diadakan di hotel. Total untuk kegiatan itu di SPJ tertulis menghabiskan biaya Rp 41 juta. "Padahal, aslinya tak lebih Rp 7 juta," katanya. Membengkaknya biaya fiktif itu karena ada komponen sewa ruang hotel, biaya makan peserta tiga kali (padahal hanya satu kali pakai nasi kotak), serta pembelian ATK fiktif dari CV Ida Makmur (perusahaan yang dimiliki orang dalam DKP). "Praktik-praktik seperti ini ternyata sudah berlangsung puluhan tahun," katanya. Laporan ke polisi seperti itu akhirnya tak berlanjut ke proses hukum, kata Naniek, karena pimpinan menyuruh dia mencabutnya. Yang lebih memprihatinkan, kadang seminar itu tidak diadakan sama sekali. Namun, "kegiatan" itu di-SPJ-kan, seakan-akan benar-benar terjadi dengan laporan pengeluaran berkop hotel, katering, dan lain-lain "asli". "Nanti, orang-orang daerah saat datang untuk mengambil gaji di Surabaya dimintai tanda tangan, seakan-akan datang di seminar itu," katanya. Naniek mengaku sering berbenturan dengan pimpinan soal sikap kritisnya itu. Suatu hari dia sampai dipanggil seorang pejabat di Pemprov Jatim. "Kalau Anda tidak mau jadi maling, ya jangan jadi PNS (pegawai negeri sipil)," katanya. Menurut Naniek, tanpa menjadi "maling" sebetulnya PNS tetap bisa hidup layak karena memang sudah menerima gaji. Dengan bekerja jujur, pegawai bisa mendapat rezeki yang halal untuk menghidupi keluarga, sambil memberi sumbangsih untuk kantor dan negara. Setelah sering melaporkan praktik korupsi di DKP Jatim kepada para aparat penegak hukum, anak Marinir (dulu KKO) yang ikut perjuangan merebut Irian Barat lalu mengubah gaya "berdakwah"-nya melawan korupsi. Pada Mei 2006, dia membuat selebaran (tiga lembar) yang isinya mengajak teman-temannya di kantor menjauhi dan memberantas korupsi. Salah satu lembar yang dilampirkan adalah kliping berita Jawa Pos tentang visi Tony Kwok, tokoh KPK-nya Hongkong yang dianggap sukses membuat bekas koloni Hongkong itu bebas korupsi. "Di kantor, nasihat pimpinan biasanya bukan jangan korupsi. Tapi, (boleh korupsi) yang kompak jangan sampai ketahuan," katanya. Beberapa hari setelah selebaran itu beredar, turun SK dari pimpinan yang memutasi Naniek ke Badan Pengelola Pangkalan Pendaratan Ikan (BPPI) di Lekok, Pasuruan. Naniek merasa pemindahan itu tidak didasari alasan rasional, tapi lebih karena dia dianggap duri dalam daging bagi kantornya. Naniek lalu mem-PTUN-kan keputusan itu. Lagi-lagi kantornya membuat langkah kompromi dengan Naniek. Dia disuruh mencabut gugatan ke PTUN. Sebagai kompensasi, pimpinan mencabut penugasannya ke Lekok. "Saya bahkan disuruh memilih masuk ke mana saja (instansi di bawah Pemprov Jatim)," katanya. Naniek lalu mengajukan permohonan untuk menjadi staf Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim yang sebentar lagi punya hajatan mengadakan pemilihan gubernur. Berkali-kali, pihak Pemprov Jatim -termasuk Sekdaprov Soekarwo- mengatakan permohonan itu bisa dipenuhi. Kenyataannya, nasibnya terus terkatung-katung sehingga dia tetap tidak mendapat job. Belakangan Naniek mengaku sudah mendapat kepastian dari KPU Jatim bahwa lembaga itu tak bisa menerima dia. "Kalau boleh memilih lagi, saya ingin ke Bawasprov (Badan Pengawas Provinsi)," kata wanita yang baru awal September lalu diwisuda menjadi sarjana hukum di Universitas Jenggala Sidoarjo itu. Naniek kini mengisi hari-harinya dengan menggalang pertemanan dengan wanita sesama PNS yang juga punya visi memberantas korupsi di tempat kerja masing-masing. Dua di antara wanita itu adalah Sri Roso, pegawai bagian perpustakaan di Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Jatim, serta Ir Hukmia Arlanggiwati MMA, pegawai di Bappeprov (dulu Bappeda) Pemprov Jatim. Bersama kedua wanita itu, Naniek selama ini terus aktif melakukan kegiatan untuk menggalang kampanye antikorupsi. Seperti Naniek, Sri Roso dan Watik -panggilan akrab Hukmia Arlanggiwati- sudah beberapa tahun tidak mau namanya dipinjam oleh teman atau pimpinan untuk SPJ fiktif. Seperti saat ditemui Jawa Pos di Kantor Bappeprov di Jalan Pahlawan, Watik tampak bangga menggunakan jaket dengan pin "Gue Bukan Koruptor" dari KPK. Pin itu diperoleh saat mereka bertiga mengikuti diskusi yang diadakan KPK di Surabaya beberapa waktu lalu. Watik dengan bangga lalu menunjukkan foto dia bersama Naniek dan Sri Roso berpose dengan mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jatim Marwan Effendi. "Pak Marwan berpesan agar kami terus berjuang melawan korupsi," katanya. Wanita berusia 46 tahun itu mengaku bersyukur kepala Bappeprov Jatim bisa memahami kegiatannya selama ini. Bahkan, dia juga membelanya saat ada pimpinan pemprov menegur terkait kegiatannya ikut seminar di luar kantor. Seperti Watik, Sri Roso pun bangga aktivitas juga didukung wakil kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP). Misalnya, Sri diperbolehkan menempelkan selebaran atau foto "kampanye" melawan korupsi di papan pengumuman kantornya. "Pimpinan tidak keberatan," ujarnya. Naniek, Watik, dan Sri Roso terus menggalang "massa" agar semakin banyak PNS -terutama kaum wanita- yang mempunyai visi melawan korupsi. "Sebetulnya banyak yang mau gabung. Tapi, mereka masih ragu-ragu untuk ikut karena takut diasingkan," ungkapnya. Menurut Naniek, pelan tapi pasti, aksi mereka bertiga terus mendapat dukungan. "Saya baru mendapat satu wanita PNS lagi yang siap ikut berjuang," katanya. Sasaran berikut perjuangan mereka adalah menyadarkan para istri lewat komunitas organisasi wanita. Misalnya, lewat wadah organisasi wanita NU. Para istri diingatkan, jika suami tiba-tiba memberikan uang belanja Rp 3 juta, padahal gajinya cuma Rp 1,5 juta, mereka harus bertanya uang itu dari mana. "Kalau ibu-ibu di rumah bisa mengingatkan bapak-bapak, insya Allah tidak ada korupsi," tuturnya. (*)