Rekan-rekan sekalian:
Setuju dengan Blucer, perlu lomba toleransi antar kelompok.
     Namun, saya ingin tahu apa saja sih kelompok-kelompok (atau
mungkin golongan) dari warga negara Indonesia, apa sih definisinya
kelompok, apakah perlu undang-undang untuk mendirikan kelompok.
      Lalu apakah seluruh umat Islam di Indonesia adalah satu
kelompok. Apakah seluruh umat Islam di seluruh dunia adalah satu
kelompok? Apakah DI/TII dahulu juga termasuk kelompok Islam, bila
demikian, maka pasti bukan yang termasuk dalam kelompok umat Islam
versi Cak Nur.

Wasalam,
Panut Wirata





---Blucer Rajagukguk <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Mengutip ucapan Cak Nur bahwa Islam adalah kelompok yang paling
toleran,
> saya ikut menyambut gembira. Marilah semua kelompok beragama saling
> bersaing dalam menunjukan toleransi tentunya saling bersaing
memberikan
> teladan bagaimana mau menghargai kelompok lain.
> Mudah-mudahan dengan melalui teladan langsung di lapangan, segala
macam
> kerusuhan dapat teratasi.
> peace.
>
> Mohammad Rosadi wrote:
> >
> > Assalamualaikum Wr.Wb
> >
> > Berikut ini saya teruskan email yang saya terima dari seorang
rekan..,
> > tentang wawancara wartawan majalah Ummat dengan Bapak Nurcolish
Majid..,
> > seorang tokoh yang dianggap cukup moderat oleh berbagai kalangan dan
> > tidak disangsikan lagi intelektualitasnya.
> >
> > Selamat Membaca...:-)
> >
> > Wassalam
> > Mohamad Rosadi
> >
> > >Majalah UMMAT: EDISI No.29 Thn. IV/ 1 Feb 99
> > >
> > >Nurcholish Madjid:
> > >DIBANDING KELOMPOK LAIN, UMMAT ISLAM LEBIH SIAP
> > >BERDEMOKRASI
> > >
> > >Prof Dr Nurcholish Madjid memang tak punya partai. Tidak pula
tercatat
> > >sebagai anggota atau simpatisan partai mana pun, termasuk partai
Islam.
> > >Apakah itu ada hubungannya dengan doktrin "Islam yes, Partai
Islam No"
> > >seperti yang dicetuskannya pada 1970-an? Tidak juga. Sebab, ketika
> > banyak
> > >orang mulai risau dengan menjamurnya partai-partai sekarang ini,
Cak
> > >Nur-demikian panggilan akrabnya-justru merasa gembira. "Itu
cermin dari
> > >berkembangnya demokrasi,
> > >apalagi sebagian pengurus partai-partai itu kan alumni HMI,"
katanya.
> > >
> > >Di manakah posisi Nurcholish dalam setting sosial politik dan
"kapal
> > >besar" bernama Indonesia? Mungkin tak berlebihan kalau cendekiawan
> > Muslim
> > >dan Rektor
> > >Universitas Paramadina Mulya ini disebut sebagai "guru bangsa".
> > >Pengetahuannya yang luas, pembawaannya yang santun, dan sikapnya
yang
> > >moderat membuat ia dihormati dan dicintai banyak kalangan.
> > >Meskipun demikian, tak semua pendapatnya diterima. Tak jarang ia
> > menerima
> > >kritik, bahkan pernah juga hujatan, dari orang-orang yang tak
setuju
> > >dengannya. Toh, sebagai cendekiawan bebas, ia tetap bersuara
kritis dan
> > >hampir
> > >tanpa pamrih terhadap persoalan-persoalan besar yang dihadapi
umat dan
> > >bangsanya.
> > >Semangat itu pula yang mendorongnya menjadi mediator rekonsiliasi
> > antara
> > >Ketua Umum PAN Amien Rais dan Ketua PBNU Abdurrahman Wahid belum
lama
> > ini.
> > >"Karena khawatir Mas Amien tidak hadir dalam dialog itu, saya
mengirim
> > >faks dari Surabaya. Sengaja saya tulis dalam bahasa Arab karena
isinya
> > >sangat politis, supaya tidak terlalu menarik perhatian orang.
> > >Alhamdulillah, akhirnya Mas
> > >Amien dan Gus Dur, yang sempat dikabarkan 'retak' itu, akhirnya
> > bertemu,"
> > >tuturnya.
> > >
> > >Kalau kedua tokoh besar ini rukun, Indonesia masa depan akan sangat
> > >promising, sangat menjanjikan bagi perkembangan demokrasi,"
tuturnya
> > >merendah. Kepada M.
> > >Syafi'i Anwar, Asep S. Sambodja, dan fotografer Alfian dari
UMMAT, Cak
> > Nur
> > >bicara panjang tentang persoalan-persoalan besar yang menghadang
bangsa
> > >ini di
> > >kantor Yayasan Wakaf Paramadina, Pondok Indah, Jakarta, dua pekan
lalu.
> > >
> > >T= Tanya, J=Jawab
> > >
> > >(T) Di tengah era reformasi sekarang, Indonesia tampaknya berada di
> > >persimpangan jalan. Sepanjang 1998, reformasi tidak saja melahirkan
> > >masyarakat yang lebih bebas, tapi  juga memunculkan kekerasan
sosial
> > >politik di sana-sini.
> > >Komentar Anda?
> > >(J) Saya kira di masyarakat sudah beredar ide tentang perlunya
dialog
> > >nasional, atau yang lebih positif lagi  rekonsiliasi. Itu kan dalam
> > ukuran
> > >maksimalnya melakukan  kesepakatan atau transaksi baru. Artinya,
kita
> > >harus bisa
> > >melupakan masa lalu, dalam arti sentimen-sentimen dan tuduhan
saling
> > tidak
> > >percaya satu sama lain.
> > >Yang jelas, sejarah sudah berjalan. Artinya, kita tidak boleh
terlalu
> > >banyak menyesali masa lalu. Tapi kita harus mengertinya begitu
rupa,
> > >sehingga kalau sifat kerusakan atau obstruktifnya terhadap
> > proses-proses
> > >demokratisasi,
> > >sebaiknya ditinggalkan.
> > >
> > >(T)Tapi banyak yang memperkirakan, di tahun 1999 ini  kekerasan
sosial
> > >politik semakin meningkat...
> > >(J) Memang agak mudah diramalkan karena taruhannya menjadi sangat
> > >complicated, yakni berkaitan dengan pelaksanaan  pemilu. Sedangkan
> > pemilu
> > >1997, yang hanya diikuti tiga  kontestan saja, sudah seperti itu.
Dua
> > >tahun lalu,  seorang ahli arkeologi mengatakan potensi bangsa
> > Indonesia
> > >untuk bersikap tribalistik besar sekali.
> > >Sebenarnya, yang terjadi sekarang ini masih kelanjutan tribalisme.
> > Jadi,
> > >sebanding dengan sulitnya meyakinkan  orang-orang di tengah
Kalimantan
> > dan
> > >lain-lain supaya  tidak melakukan pertanian berpindah-pindah. Itu
> > >merupakan
> > >kelanjutannya. Kita harus ingat, di atas muka bumi ini  daerah yang
> > paling
> > >banyak kelompok etnis dan suku terasingnya adalah Afrika hitam, dan
> > yang
> > >kedua di  Indonesia.
> > >
> > >(T) Anda dipandang punya kontribusi penting dalam proses
> > "rekonsiliasi"
> > >Amien Rais-Gus Dur. Hikmah apa yang dapat  diambil dari pertemuan
kedua
> > >tokoh itu?
> > >(J) Saya senang sekali, meskipun saya nggak bisa ikut karena  ada
> > kegiatan
> > >lain di luar kota. Bagi saya, pertemuan itu  punya arti penting.
> > Soalnya,
> > >kalau kedua tokoh itu  meninggalkan celah, ini akan dimasuki orang.
> > Lalu,
> > >bisa  menjadi semacam dorongan untuk terjadinya proses-proses  yang
> > >obstruktif terhadap proses pemilu.
> > >
> > >(T) Tapi ada protes dari sejumlah kalangan, dialog antara Gus
> > Dur-Amien
> > >Rais tidak mengikutsertakan Megawati dan Sultan  Hamengkubuwono...
> > >(J) Itu dia. Saya sudah bilang kepada panitianya untuk  memperluas
> > forum
> > >dan pesertanya. Yang jelas, dialog yang  diperluas itu perlu
> > dilaksanakan.
> > >Rencananya, sih, nanti  minggu depan (13 Januari --Red.). Tapi
> > seandainya
> > >tidak
> > >jadi, tak usah dijelaskan, karena persoalannya  semata-mata teknis,
> > >menyangkut persiapan yang matang.
> > >Jadi, ada hikmahnya juga saya tak datang dalam dialog  pertama itu.
> > Sebab,
> > >nanti kesannya yang kumpul cuma Islam  saja. Ini bisa memberikan
> > >sinyal-sinyal yang salah kepada  yang lain, dan bisa memperkeras
> > >perasaan-perasaan  curiga-seperti yang diwakili oleh tulisan Wimar
> > >Witoelar  yang kemudian diberi reaksi oleh Gus Dur itu.
> > >
> > >(T) Jadi, perlu juga menjaga perasaan kelompok minoritas?
> > >(J) Ya. Mereka sendiri sebenarnya nggak mau disebut  minoritas.
Sebab,
> > >katanya di Indonesia nggak ada mayoritas-minoritas. Itu betul kalau
> > >mayoritas-minoritas  itu dalam pengertian politik. Kalau dalam
artian
> > >politik, mayoritas-minoritas itu punya agregat lain. Kalau pemilu
 1955
> > >dijadikan patokan, waktu itu kan PNI, Masyumi, NU,  PKI
mayoritas, dan
> > >yang lain minoritas.
> > > Tapi kalau dalam pengertian kultur, tidak bisa dihindari  bahwa
orang
> > >Indonesia itu kompleks. Oleh karena itu,  mayoritas-minoritas itu
riil,
> > >tak bisa pura-pura tidak  tahu. Jadi, harus dihindarkan munculnya
> > perasaan
> > >terancam  dan sebagainya.
> > >
> > >Kita tidak boleh membiarkan minoritas terus-menerus  merasa
terancam.
> > >Semuanya harus ditangani secara adil.  Dalam arti, kalau perasaan
> > terancam
> > >itu sebagai rentetan  aksi-reaksi yang dimulai dari pihak mereka,
tentu
> > >saja  kita harus mengurusnya. Artinya, tidak lantas dibiarkan
begitu
> > >saja.
> > >
> > >(T) Anda melihat ada kecenderungan ke arah yang lebih destruktif?
> > >(J)  Soalnya, obstruksi terhadap proses-proses demokrasi itu  bisa
> > datang
> > >dari mereka kalau mereka merasa tidak aman.  Seperti artikel
tentang
> > Gus
> > >Dur yang ditulis Wimar  Witoelar, itu kan suatu tuduhan pada Gus
Dur:
> > >bahwa  orang-orang itu yang paling tidak berkepentingan terhadap
> > pemilu.
> > >Karena, kalau pemilu betul-betul fair, jujur dan  adil, kira-kira
Gus
> > Dur
> > >mau mengatakan mereka nggak punya  tempat. Oleh karena itu, mereka
> > tidak
> > >mau pemilu dengan  (mencoba) menggagalkan pemilu.
> > >
> > >Nah, itu jangan sampai terjadi. Tapi Gus Dur kan bereaksi  terhadap
> > >pernyataan Wimar. Ini semuanya adalah akibat  mekanisme-mekanisme
> > hubungan
> > >psikologis politik yang  sangat banyak diwarnai oleh rasa saling
curiga
> > >dan tidak
> > > percaya. Nah, karena itu, ada ide dialog atau  rekonsiliasi
nasional.
> > >
> > >(T) Namun Presiden Habibie juga menolak ide dialog seperti  yang
> > >dilontarkan Gus Dur...
> > >(J) Itulah sayangnya. Habibie menanggapi dialog kepada  persoalan
> > >formalitas sama sekali-konstitusional dan  legalitas. Sayangnya di
> > situ.
> > >Jadi, masalahnya bukan  dialog sebagai suatu kebutuhan
> > sosial-psikologis
> > >masyarakat, tapi dilihatnya sebagai peristiwa yang harus  dikasih
> > bingkai,
> > >apakah konstitusionalitas atau  legalitas, sehingga menjadi
terbatas.
>
=== message truncated ===

_________________________________________________________
DO YOU YAHOO!?
Get your free @yahoo.com address at http://mail.yahoo.com

Reply via email to