Assalamu'alaikum wr. wb.

Ini ada posting dari seorang teman yang ditujukan kepada saya secara
pribadi, tapi saya pikir tidak ada jeleknya saya postingkan disini,
mudah2an Mas Priyo tidak keberatan, kalaupun keberatan saya mohon maaf,
sudah terlanjur saya posting jee :)

Wassalam,
nur

TANGGAPAN KEPADA KWIK KIAN GIE

oleh: S. Widodo

Baru-baru ini dengan cukup panjang dan bersemangat Kwik Kian Gie
membela posisi Megawati dan PDI-Perjuangan -- yang selama beberapa
waktu terakhir ini TIDAK terdengar suaranya. Cukup bagus, tetapi
beberapa hal belum jelas.

1. KKG mencoba menjelaskan kenapa ketika para mahasiswa berkumpul di
halaman DPR/MPR sebelum Soeharto jatuh, Megawati sama sekali tidak
muncul. Menurut KKG, Megawati "menanyakan kembali, apa yang masih
dapat dikatakan
setelah semuanya dikatakan jauh-jauh hari sebelumnya seperti yang
dikemukakan di atas?".  Apakah ada yang waktu itu belum dikatakan?
Ada. Sampai hari itu, yang
BELUM pernah dikatakan oleh Megawati dengan tegas ialah bahwa Soeharto
harus MUNDUR. Mungkin KKG ingat, bahwa di pertengahan Mei 1998 itu
sejumlah tokoh oposisi, (Amien Rais, Albert Hasibuan, Arief Budiman,
Adnan Buyung
Nasution, Daniel Separinga, Emil Salim, Faisal Basri,  Franz Magnis
Suseno, Goenawan Mohamad, Nursyahbani Kacasungkana, Trimoeljo, Toeti
Heraty Rooseno, dan lain-lain), bahkan para bekas menteri Soeharto,
termasuk
Siswono, menyerukan agar Soeharto mundur. Sampai Soeharto mundur pun,
suara Megawati TIDAK terdengar!
Megawati juga mempersoalkan kepada siapa kepemimpinannya waktu itu
dibutuhkan: "Kepemimpinan kepada siapa ? Kepada rakyat Indonesia atau
kepada para mahasiswa yang berkumpul di halaman DPR/MPR ?"  Ini
pertanyaan formalistis dan legalistis, yang membedakan "mahasiswa"
dengan "rakyat".  Tentu saja secara legal-formal para mahasiswa yang
berkumpul di halaman DPR/MPR itu bukan wakil rakyat dan tidak identik
"rakyat Indonesia".  Tetapi apakah Mega tidak melihat, bahwa ketika
perwakilan rakyat yang benar tidak ada, maka perwakilan simbolik
menjadi penting? Mahasiswa di halaman DPR/MPR itu adalah "perwakilan
simbolik" dari rakyat. Jika Megawati tidak mengakui itu, maka ia
sebenarnya sepikiran dengan Soeharto: mahasiswa itu TIDAK SAMA dengan
rakyat. Yang menentang Soeharto mahasiswa, bukan rakyat.  Itu berarti,
Megawati tidak mengakui legitimasi perjuangan mahasiswa sebagai bagian
perjuangan rakyat!


2. Kata KKG, Megawati juga mengetahui apa "yang terjadi di depan
DPR/MPR adalah lebih banyak menghujat pak Harto yang keterlaluan,
ketimbang mengemukakan pikiran-pikiran yang konstruktif untuk keluar
dari kemelut yang melanda bangsa kita."

Ini terang-terangan melecehkan perjuangan mahasiswa di depan DPR/MPR.
Ini juga menunjukkan bagaimana tidak pahamnya Megawati akan suasana
revolusioner dan aksi massa.  Dalam aksi massa, ketika suasana begitu
membutuhkan garis tegas antara lawan dan kawan, yang dibutuhkan
bukanlah "pikiran-pikiran konstruktif untuk keluar dari kemelut.."
Itu mah dalam seminar, Mbak!. Menurut KKG, kenapa Megawati tidak aktif
menyatakan mau menjadi presiden, karena "titik tolak pikir dan
sikapnya memang tidak mau menjadi Presiden, kecuali rakyat
menghendakinya. Maka dia pasif saja melihat apakah
rakyat memang menghendakinya atau tidak."
Tampaknya ini rendah hati dan demokratis, tetapi konsekuensinya sangat
jauh. Coba perhatikan.  Megawati, menurut KKG, "memang tidak mau
menjadi presiden". Tetapi ia baru mau menjadi presiden kalau "rakyat
menghendakinya". Jadi yang butuh agar Megawati jadi presiden adalah
rakyat;
Megawati sendiri tidak butuh itu (Soeharto juga mengatakan begitu,
dengan kata terkenal, "miris"). Maka rakyat yang harus membujuknya,
memintanya,
agar ia mau jadi presiden. "Dia pasif saja melihat apakah rakyat
memang menghendakinya atau tidak".
Nanti, jika Megawati ternyata gagal memimpin, ya yang salah rakyat.
Bukan Megawati...
Jika kita lihat kampanye kepresidenan (atau jabatan tinggi lainnya) di
negara demokratis, misalnya India, Filipina, Amerika Serikat, Swedia,
atau Polandia, kita akan melihat dengan terang benderang: bahwa calon
pemimpin itulah yang meminta-minta kepada rakyat untuk mendukungnya.
Si calon presiden atau calon perdana menteri mendatangi rakyat,
menyalaminya, mendengarkan permintaannya. Tampaknya ini merendahkan
martabat calon
pemimpin, tetapi justru itulah inti soalnya: sang calon pemimpin harus
merasakan bahwa ia membutuhkan rakyat. Bukan rakyat yang membutuhkan
dia.
Juga dengan berkampanye berarti sang calon pemimpin menawarkan agenda
politik dan ekonominya. Atau dengan kata lain "janji-janji"-nya. Maka
prestasinya akan kelak dinilai: ia memenuhi janji-janji itu atau tidak.
Kalau seorang pemimpin seperti Mega tidak mau menawarkan agendanya,
dan hanya pasif menunggu diminta rakyat, bagaimana kelak kita akan
menilai kinerjanya? Atau cukup mengatakan, "salahnya rakyat, kok
memilih saya, wong
saya sudah tidak mau, kok".

4. Meskipun sudah panjang lebar menulis, KKG tidak menjelaskan kenapa
PDI-Perjuangan TIDAK   berusaha menawarkan pikiran konstruktif, atau
gagasan alternatif, terhadap RUU Politik baru-baru ini.  PDI-Perjuangan
diam seribu bahasa.  Soal kursi ABRI di DPR.  Soal sistem proporsional
atau distrik.  Soal KPU. Soal PNS. Yang kelihatan gigih dalam RUU
Politik adalah
PPP,PKB, PAN dan PUDI serta partai-partai lain yang kecil. PDI tidak
menunjukkan kepeloporannya di kalangan oposisi. Padahal yang
dipertaruhkan ialah masa depan rakyat.

5. Juga tidak dijelaskan oleh KKG, sikap PDI-Perjuangan, khususnya
Megawati, dalam soal Timor-Timur.  Terlepas bagaimana soal Timor Timur
ini akan diselesaikan, tetapi pernyataan Megawati menunjukkan
kecenderungan
menilai "Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)" sebagai sesuatu
yang lebih penting ketimbang rakyat.
Megawati mengatakan bahwa "PDI Perjuangan dengan seluruh jajarannya
siap dengan segenap rakyat Indonesia membangun rakyat Timtim".
Tujuannya, "guna
mempertahankan keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 45".  Ini
berarti "membangun rakyat Timtim" bukanlah untuk kesejahteraan rakyat
itu, melainkan untuk "mempertahankan keutuhan NKRI".  Jadi: NKRI adalah
"tujuan", dan rakyat Timtim dan kesejahterannya adalah "alat".

Pikiran "etatis" seperti ini, dengan seorang pemimpin yang dipuja-puja
dan tidak mau meminta dukungan rakyat, harus diperhatikan baik-baik.
Indonesia jangan sampai terjatuh kembali ke dalam kesalahan "Demokrasi
Terpimpin" Soekarno dan "Demokrasi Orde Baru" Soeharto.

Bukan begitu, Bung Kwik?

Kirim email ke