At 7:42 AM 3/8/1999, Indi Soemardjan wrote:

|To all religious persons on the Net:
|It is very sad that these people DO NOT know that this so-called-
|inter religious Feud is an engineered form of chaos.
|I repeat, this is a just an engineered form of Chaos.
|
|They have no idea that a much more evil person has created this
|type of tension.

Dear Indi ... ketika dulu musti membaca-baca karya Karl Marx
(bagian dari literature research), saya tidak habis mengerti kenapa
Karl Marx ini menyamakan agama sebagai "candu" yang memabokkan
masyarakat ...

 "Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a
  heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the
  opium of the people." --Karl Marx (1818-1883)

Menyimak situasi tanah air terutama akhir-akhir ini, kata-kata Karl
Marx diatas menjadi lebih 'make sense'. Tetapi kalau melihat
kenyataan didunia, bahwa pengaruh "opium" ini tidak selalu sama ...
misalnya dinegara yang sudah "lebih maju" [mungkin lebih kena kalau
dibaca "lebih beradab"], kendati perbedaan agama selalu ada (karena
pluralitas), tetapi masalah yang disebabkan oleh perbedaan agama
ini tidak mengalami eskalasi seperti dialami negeri kita.

Jadi, thesis Karl Marx ini tidak 'universally right'. Bukan agama
[atau perbedaan antara agama yang satu dengan lain] lah yang
menimbulkan kegilaan masyarakat ini, tetapi terutama lebih
disebabkan oleh *kebodohan* manusia itu sendiri. *Kebodohan* inilah
yang gampang di rekayasa oleh para provokator --you don't have to
go far to find them ... just look in this mailing list. Tentu saja
dibutuhkan penalaran yang jernih untuk melihat masalahnya, untuk
memisahkan 'wheat from chaff', untuk membedakan kebenaran dan 'true
concern' dengan kebohongan, manipulasi fakta untuk memperbesar
masalah, memperuncing pertentangan yang memang sudah cukup lama
ada.

Saya yakin berpikir dengan nalar yang jernih ini merupakan
kewajiban kita semua, sebagai seorang intelek, sebagai orang
beriman, sebagai manusia yang bijak (homo sapiens sapiens).
Kewajiban kita sebagai manusia bijak untuk "seek the truth" dan
meluruskan mereka yang ignorant, bukannya malah menyebarkan
kebohongan atau 'kebenaran' yang sudah dipelintir habis-habisan
(twisted truth).

Paling tidak ada dua penyebab kebodohan, sikap atau situasi yang
"ignorant", disatu sisi karena keterbatasan informasi. Dilain pihak
*kebodohan* juga bisa terjadi justru karena kebanyakan informasi
(information overload) yang dikombinasikan dengan kemalasan memilah
informasi, keengganan berpikir yang kriris dan reflektip (as
opposed to simple or naive thinking). *Kebodohan* inilah yang
membuat orang jadi gampang diobok-obok oleh provokator, dan
kemudian timbulnya mob- atau herd-mentaliity.

Sebetulnya penggunaan kata *kebodohan* ini kurang 'pas'. Saya
pernah melihat sebuah bumper sticker yang menarik, "ignorance is
bliss, but stupidity kills". Agak susah
menerjemahkan kalimat ini karena keduanya merujuk kata Indonesia
yang sama, yaitu "kebodohan". Dalam bahasa Inggris "ignorance"
mengesankan situasi diluar kemampuan penyandangnya, sedangkan
"stupidity" menyiratkan adanya pilihan .. free choice, to know or
not to know. Jadi orang bisa jadi ignorant karena hidupnya
terpencil sehingga tidak bisa baca buku atau tidak bisa belajar
karena tidak ada akses ke library atau sekolah, tetapi lain halnya
dengan orang yang tinggal di kota (apalagi sekolah di Amerika, jadi
dosen, etc) yang punya akses segalanya. Yang terakhir itu
'bodoh'nya
karena pilihan pribadi -- and that is plain *stupidity*. And it *does* kill!

Kerusuhan di Ambon, dan di kota-kota lain mengingatkan saya pada
problem yang serupa di India sekitar setengah abad yang lalu [if
you don't have time to read the history book, watch the movie
"Gandhi", starring Ben Kingsley]. Beberapa saat setelah mendapatkan
kemerdekaannya dari "tuannya", bangsa Inggris, ketegangan antara
kaum Hindu dan Moslem mengalami eksalasi yang hebat ("aparat
keamanan" Inggris sudah mengundurkan diri). Pertentangan ini
memuncak jadi bunuh-bunuhan, bakar-bakaran, eye for an eye
...sehingga Calcutta sudah diambang 'civil war.' Mahatma Gandhi
yang seruannya tidak digubris oleh mereka yang sedang 'frenzy'
dalam kegilaan berdarah ini, mulai mogok makan. Dia bilang akan
mogok makan [sampai mati sekalipun], sampai kegilaan itu berhenti,
dan itu saja tidak cukup, sampai dia percaya bahwa kegilaan itu
tidak akan terulang lagi. Diambang maut Gandhi menerima kabar bahwa
semua orang sudah meletakkan senjata, dan bersumpah berhenti dari
kegilaan tersebut. Ketika ditanya repoter Amerika kenapa dia se
"stubborn" itu [dibelain sampai hampir mati], jawabnya:

  "I'm simply going to prove to the Hindhus here and the Moslems there,
   that the only devils in the world are those running around in our
   own hearts - and that's where all the battles ought to be fought."

That's right ... setannya itu ada di dalam hati kita masing-masing,
disitulah tempat jihad yang tepat -- kalau memang tujuannya mau
melenyapkan kegilaan dan kesetanan yang berlangsung selama ini.
Unfortunately, most of us are too blind or too stupid to see that
simple fact.


Moko/

    "An eye for eye only ends up making the whole world blind."
                        --Mahatma Gandhi


---- quoted passages from Reuter---

|Thousands of Moslems Protest at Ambon Bloodshed
|
|JAKARTA, March 7 (Reuters) - More than 100,000 Moslems marched ...
|....
|Some Moslem groups are calling for a holy war against Christians,
|who they accuse of running a vendetta against Moslems in the world's
|largest Moslem country.
|
|Hundreds of Moslem youths have signed up for a plan to send Moslems
|to |Ambon to help defend their brethren and mosques....

Reply via email to