Tulisan yang menarik untuk disimak dari Tempo.
Kelihatannya upaya reformasi menyeluruh masih perlu strategi yang jitu dan konsisten untuk bisa menembus kekuatan Soeharto.

Salam,

Budi

#############

Soeharto Tumbang, Lalu Bangkit?

KALAU belum sampai dikubur, tidak perlu mukjizat untuk bisa bangkit
lagi. Sekalipun dia bukan kucing yang konon punya sembilan nyawa.
Soeharto memang sudah lanjut usianya, tetapi tamsil mengenai
tumbangnya kekuasaannya jangan dilihat persis seperti robohnya pohon
tua dan lapuk. Sebagai faktor politik, sebetulnya Soeharto memang belum
pernah mati. Inilah pangkal dari kekeliruan menafsir. Disangka riwayatnya
tamat bersama tumbangnya kepresidenannya, sehingga ketika mantan
presiden ini menggeliat sedikit, ada yang terperanjat dan berseru, dia
bangkit kembali!

Ada baiknya kita membuat kalkulasi kembali dengan tenang. Mula-mula,
hendaknya kita hitung dulu sekali lagi, siapa dan apa sesungguhnya
Presiden Soeharto yang mengundurkan diri bulan Mei lalu. Yang terang,
yang mengambil alih kedudukannya bukanlah seterunya yang
memenangkan perkelahian melawannya. Singkatnya, Soeharto tidak
dalam posisi dikalahkan penggantinya, sedangkan yang mengganti tidak
merebut kekuasaan dari tangannya. Habibie adalah wakil presiden yang
ditunjuknya, dibesarkan, dan dipeliharanya. Begitu juga Jenderal Wiranto
yang memegang kedudukan Panglima Angkatan Bersenjata. Tentu saja
keduanya tidak berkemungkinan untuk jadi algojo yang akan menghabisi
bekas pembinanya.

Modal Soeharto amat besar. Tatkala ia masih berkuasa penuh, pernah
ada yang memperkirakan bahwa kemampuan keuangan dan ekonomi
yang dikumpulkannya dan keluarganya cukup untuk membuat
perekonomian Indonesia tergantung padanya. Kemampuan itu relatif tidak
berkurang ketika Soeharto turun karena garis perbekalannya tidak
langsung dipotong. Tak ada tindakan segera untuk membekukan atau
menyita kekayaannya. Dan sesudah mengundurkan diri, cukup banyak
waktu baginya untuk mengonsolidasi dana tunainya.

Bukan cuma kekuatan basis keuangan saja modalnya. Para pejabat, sipil
dan militer, hampir semua adalah binaannya atau berutang budi
kepadanya. Banyak rahasia keterlibatan mereka di tangan Soeharto.
Meskipun banyak yang menjauhi, tetapi secara mental hampir tak ada
yang berani melabrak Soeharto kalau berhadap-hadapan langsung. Jadi,
walau sudah berkurang, pengaruh Soeharto masih dominan terhadap
mereka yang menjalankan kekuasaan sekarang. Demikian juga terhadap
banyak tokoh masyarakat lainnya, yang menjadi tokoh karena dikarbit di
zaman Soeharto. Tanpa harus disuruh, mereka sudah merasa sungkan
lebih dulu pada orang yang dituakan ini. Jadi, tidak berani menilai, apalagi
menghakimi.

Lagi pula, sebenarnya Soeharto bukan tidak merencanakan jatuh dengan
empuk sewaktu mengumumkan pengunduran dirinya. Ketika tekanan
gerakan mahasiswa hampir memuncak, Soeharto mencoba menjinakkan
dengan kabinet reformasi dan dewan reformasi. Setelah ternyata gagal,
dia mencabut sumbu peledak sebelum meletus: ia mundur, Habibie
meneruskan. Dengan itu dia mencegah kerusakan yang lebih parah yang
harus dipikulnya. Resminya dia jatuh, tetapi tidak tergilas. Karena,
penerima wewenang dan penentu nasibnya selanjutnya adalah Habibie,
bukan reformis mahasiswa dan kaum oposan lainnya. Dengan mundur,
Soeharto bukan tidak kehilangan banyak, dan masih harus menyerahkan
beberapa lagi. Tetapi dia tidak dihancurkan sehabis-habisnya. Itulah
minimal yang ingin dicapainya sementara ini.

Tidak Menyerang, Tidak Menyerah

Kalau modalnya masih kuat, dan belum pernah tumbang benar, apa yang
akan diperbuatnya? Memang, dari pandangan yang konfrontatif,
kemungkinannya cuma kalah atau menang. Yang paling mungkin bagi
Soeharto ialah mencoba mencari modus vivendi saja, cara hidup bersama
yang tidak saling mengganggu. Barangkali sementara ini dia tidak akan
merasa perlu menyerang balik dan berkuasa lagi. Ibarat bermain catur,
tujuannya adalah mencari posisi dengan kesudahan remis. Tetapi,
sekalipun tidak mengarah pada kemenangan, dan bersedia
mengorbankan banyak buah caturnya, sama sekali itu tidak berarti dia
rela menyerah. Dalam bahasa konkret, Soeharto tidak rela diadili dan
dijatuhi hukuman.

Jadi bagaimana? Semua tergantung pada imbangan kekuasaan. Tidak
perlu dibuktikan lagi, pemegang kekuasaan yang sekarang tidak mungkin
diharapkan memusuhi, apalagi memusnahkan Soeharto. Harus menunggu
penguasa baru kalau begitu. Itu sebabnya banyak yang menanti pemilihan
umum dengan harapan besar. Sesudah ada pemerintah baru yang
bersemangat baru, saat itulah persoalan-persoalan reformasi bisa
diselesaikan dengan tuntas.

Tapi ini justru soal yang harus dipecahkan. Bagaimana memastikan
bahwa pemenang pemilihan umum adalah golongan yang akan
menempatkan Soeharto dan rezimnya di pihak yang bersalah dan harus
dihukum? Sebab kesempatan pendukung Soeharto menang juga selalu
ada. Melarang pendukung Soeharto untuk ikut pemilihan umum? Bukan
saja itu tidak ada dasar legalnya, tetapi penguasa sekarang juga tidak
tegas sikap politiknya ke arah itu. Kita akan berputar-putar dalam
lingkaran setan karena akhirnya yang diharapkan ialah ketegasan
langsung terhadap Soeharto. Bukankah justru itu yang tidak kita peroleh
dengan Habibie di tampuk kekuasaan ?

Akhirnya, memang harus diakui, cara praktis yang masih tersedia untuk
menumbangkan rezim Soeharto hanyalah membawanya ke pengadilan,
sebelum pemilihan umum. Kalau ada perlawanan dari yang bersangkutan,
pemerintah harus bersikap tegas. Apabila pemerintah sendiri yang
ragu-ragu, atau mencoba mengulur waktu, maka masyarakat harus
mendesak dengan sungguh-sungguh. Kalau itu gagal, maka benarlah,
bangkitnya Soeharto tidak perlu dirisaukan karena dia memang belum
pernah tumbang.




Copyright @ PDAT 1 9 9 8


Kirim email ke