~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
------------KABAR-IRIAN!-------------
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Admin < [EMAIL PROTECTED] >
Analisis : Evolusi Nasionalisme Papua Barat

Nasionalisme bukanlah sesuatu yang begitu saja jatuh dari langit. Ada
akar historisnya. Ironisnya,
akar historisnya tidak jarang bermula dari
sejarah kolonial, walaupun nasionalisme pada hakekatnya bersifat
anti-kolonial. Begitu pula nasionalisme Indonesia.

Ketika para pendiri Republik ini bersepakat menganggap negara-bangsa
yang akan didirikannya
merupakan pewaris koloni Hindia Belanda, dan
dengan demikian akan mematuhi batas-batas wilayahnya, sesungguhnya
mereka memaksa bangsa ini mewarisi kerakusan Belanda.

Tentu saja, bukan itu maksud mereka. Kesepakatan itu merupakan kompromi
para pendiri
Republik ini menghadapi pragmatisme Hatta, yang mengusulkan
supaya Papua Barat tidak dimasukkan, serta ekspansionisme Yamin, yang
ingin memasukkan seluruh wilayah yang dihuni bangsa-bangsa rumpun
Melayu.

Kesepakatan pada 1945 itu kini kita anggap sebagai sesuatu yang niscaya.
Sampai-sampai banyak
aktivis pro-demokrasi yang membela hak menentukan
nasib sendiri bangsa Maubere (Timor Lorosae), merasa hak yang sama tidak
berlaku bagi orang Papua, Aceh, dan bangsa-bangsa lain penghuni kepulauan
Nusantara.

Padahal, pernahkah mereka bertanya, apakah semua bangsa penghuni
kepulauan ini sudah
sama-sama mengaku tunduk pada Belanda, sehingga
mereka berhak diserahkan bulat-bulat oleh si bekas penjajah kepada
negara-bangsa (nation-state) pewaris wilayah jajahan itu?

Mitos itu kini ditantang di kedua penjuru timur dan barat Nusantara.
Para aktivis Aceh Merdeka
yang saya wawancarai di Sydney menegaskan,
sampai dengan 1942, Kesultanan Aceh belum pernah tunduk kepada Belanda,
yang angkat kaki dari Aceh setelah terpaksa kalah perang melawan Jepang.

Dengan demikian, penyerahan kedaulatan atas seluruh bekas wilayah Hindia
Belanda kepada
pemerintahan Sukarno-Hatta lewat Konferensi Meja Bundar
di Den Haag, 27 Desember 1949, oleh para nasionalis Aceh, dianggap
sebagai suatu tindakan yang tidak bertanggungjawab dan tidak sah. Sebab
keinginan rakyat Aceh tidak pernah ditanyakan baik oleh Belanda maupun
Indonesia.

KMB juga merupakan awal sejarah lahirnya nasionalisme Papua. Tapi
sebelumnya, kita perlu
fahami lebih dahulu dasar historis nasionalisme
itu. Menurut para nasionalis Papua, kampung halaman mereka begitu saja
diklaim sebagai wilayah Hindia Belanda hanya karena sebelumnya diklaim
sebagai wilayah jajahan Sultan Tidore. Jadinya, ketika Sultan Tidore
menyatakan tunduk pada kekuasaan Belanda, otomatis seluruh daerah yang
diklaim sebagai wilayah
jajahan Sultan Tidore, dinyatakan sebagai daerah
Hindia Belanda. Tentu saja itu terjadi, tanpa meminta persetujuan rakyat
Papua Barat itu sendiri.

Selanjutnya, karena para pendiri Republik Indonesia menganggap bahwa
mereka merupakan
pewaris yang sah dari wilayah Hindia Belanda, otomatis
rakyat Papua Barat dialihkan status hukumnya dari onderdaan (bawahan)
Kerajaan Belanda menjadi warganegara Indonesia.

Begitulah klaim pemerintah RI di Jakarta, yang didukung mayoritas rakyat
Indonesia. Belanda
sendiri baru mau melepaskan kontrolnya atas wilayah
Papua Barat akibat intervensi Presiden AS JF Kennedy lewat diplomatnya,
Ellsworth Bunker, dalam perjanjian segitiga antara Belanda, Indonesia,
dan AS di New York, pada
15 Agustus 1962.

Setelah masa transisi kurang dari setahun, di bawah pemerintahan
transisi PBB, daerah ini, yang
oleh Indonesia diberi nama "Irian Barat",
pada 1 Mei 1963 dinyatakan "kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi". Retorika
yang sengaja dikembangkan untuk membuat sesuatu yang tidak alamiah,
terasa alamiah.

Yang kurang disadari oleh penguasa baru, yang serta merta mengganti nama
ibukota "Irian Barat"
dari Hollandia menjadi Sukarnapura, kemudian
Jayapura, dalam kurun waktu 12 tahun, suatu faham kebangsaan yang lain
telah dipupuk Belanda di sana. Suatu nasionalisme, yang tidak berkiblat
ke Jakarta maupun ke Den Haag, melainkan ke dalam. Bukan ke Asia atau
ke Eropa, melainkan ke Pasifik Selatan, mengingat Papua Barat di bawah
penjajahan Belanda
menjadi anggota Forum Pasifik Selatan bersama
Australia, Aotearoa (Selandia Baru), Papua New Guinea, dan semua negara
dan koloni di kawasan Pasifik Selatan.

Itulah nasionalisme Papua Barat, yang dideklarasikan dengan pengibaran
bendera Sang Bintang
Kejora sejajar dengan bendera Merah-Putih-Biru di
seluruh negeri itu, pada 1 November 1961. Selain bendera itu,
simbol-simbol kebangsaan lainnya adalah lagu nasional, Hai Tanahku,
Papua, dan penggantian nama Nederlands Nieuw Guinea (Nieuw Guinea
Belanda) menjadi Papua Barat. Bahkan untuk melicinkan proses
dekolonisasi itu, Belanda telah
membentuk semacam parlemen yang
mayoritas beranggotakan orang-orang Papua, serta embrio tentara nasional
yang disebut Korps Sukarelawan Papua alias Batalyon Papua.

Harapan untuk menjadi negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh
dibuyarkan oleh
Perjanjian New York serta masuknya pemerintah Indonesia
-- lengkap dengan tentara, guru, dan pedagangnya -- di bumi
cenderawasih, bahkan ketika daerah itu masih berada di bawah
pemerintahan transisi PBB, UNTEA.

Inkorporasi ke dalam wilayah RI menjadi semakin traumatis, ketika semua
simbol kebangsaan
Papua Barat -- lagu, bendera, bahkan nama Papua Barat
-- dinyatakan terlarang. Satu-satunya institusi nasionalis yang tersisa,
yakni Batalyon Papua, dipaksa meletakkan senjata atau melebur ke TNI di
bawah komando almarhum Sarwo Edhie. Maka meledaklah pemberontakan
bersenjata pertama di Manokwari, 26 Juli 1965, oleh para serdadu
Batalyon Papua yang didukung oleh politikus senior asal Manokwari, Johan
Ariks. Penyerangan yang gagal terhadap tangsi TNI di Manokwari, namun
merembet ke seluruh wilayah Kepala Burung itulah yang lazim dianggap
sebagai hari lahirnya "Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Papua
Barat".  Nama panjang itu kemudian disingkat pihak aparat keamanan
dan kejaksaan Indonesia menjadi "Organisasi Papua Merdeka", disingkat
OPM, singkatan yang
kemudian populer di seluruh kalangan nasionalis
Papua.

Terlepas dari konflik-konflik bersenjata kecil-kecilan di sana-sini,
tahun-tahun berikutnya para
nasionalis Papua berusaha mengkonsolidasi
diri menghadapi Penentuan Pendapat Rakyat yang menurut Perjanjian New
York harus diselenggarakan Indonesia di bawah pengawasan PBB, tahun
1969. Ironisnya, benih-benih nasionalisme Papua Barat sementara itu
merembet dari para serdadu didikan Belanda ke para mahasiswa Universitas
Cenderawasih didikan Indonesia.  Sejumlah mahasiswa Uncen, di bawah
pimpinan almarhum Arnold Ap, mulai sering berdemonstrasi menuntut
kemerdekaan Papua Barat.  Demonstrasi-demonstrasi yang sering dipicu
oleh ulah para tentara dan birokrat Indonesia, yang tanpa malu-malu
mengangkut barang-barang mewah peninggalan Belanda seperti kulkas dan
mesin cuci listrik -- ke tempat asal mereka.

Makin dekat Hari-H penyelenggaraan Pepera 1969, Jenderal Ali Murtopo,
melalui Operasi
Khususnya semakin aktif membujuk dan menakut-nakuti
rakyat Papua, untuk memilih berintegrasi dengan Indonesia. Macam-macam
taktik dihalalkan, mulai dari intimidasi militer, kunjungan wisata
sejumlah kepala suku ke tempat pelacuran di Jawa, sampai dengan operasi
pembagian beras secara cuma-cuma oleh PT Irian Bhakti yang merupakan
front bagi Opsusnya Ali
Murtopo.

Pada 12 Februari 1969 satu demonstrasi besar masyarakat Papua di depan
rumah wakil PBB,
diplomat Bolivia DrFernando Ortiz-Sanz,  menuntut agar
Pepera itu tidak diselenggarakan dengan sistem musyawarah, sebagaimana
yang dimaui Ali Murtopo, melainkan dengan sistem satu-orang-satu-suara.
Para demonstran berpendapat itulah cara yang semestinya menurut praktek
internasional, seperti digariskan dalam Pasal 28 ayat (d) Perjanjian New
York 1962. Demonstrasi massa yang semula tertib dengan menyanyikan
lagu-lagu rohani kemudian bubar mendengar tembakan panser kavaleri TNI,
yang konon tidak
disengaja.

Walhasil, Pepera itu yang tetap diselenggarakan dengan sistem musyawarah,
di mana 1025 orang
anggota Dewan Musyawarah Pepera berkumpul  secara estafet di 8 kota,
mulai dari Merauke pada
14 Juli dan berakhir
di Jayapura 2 Agustus 1969, dengan suara bulat menyatakan "kembali ke
pangkuan Ibu Pertiwi".

Hasil Pepera itulah, dengan lampiran catatan Dr Ortiz-Sanz, disampaikan
ke SU PBB untuk
disahkan. Dalam acara pemungutan suara, para anggota PBB
terpecah jadi empat kelompok: negara-negara Barat, di bawah komando AS,
menyatakan menerima hasil Pepera itu, karena ingin segera mulai  mengolah
sumberdaya alam di
Papua Barat. Negara-negara sosialis, yang
tidak ingin dialianasi lebih jauh oleh Indonesia yang sudah jatuh ke
pangkuan AS, tidak ingin menyinggung perasaan Indonesia sehingga tanpa
banyak cingcong, menerima hasil Pepera. Negara-negara Islam, juga
menerima hasil Pepera, karena menginginkan dukungan Indonesia dalam
perjuangan bangsa Palestina menghadapi kolonialisme Israel yang didukung
oleh AS.

Hanya 15 negara Afrika dan Karibia, didorong oleh solidaritas kulit
hitam, menolak hasil Pepera,
tapi kalah suara menghadapi tiga blok di
atas. Sebagai kompensasi, Senegal di bawah presiden Leopold Sedar
Senghor menyediakan fasilitas diplomatik bagi OPM di Dakar, dari mana
hubungan dengan 15 negara pendukung OPM dilanjutkan.

Sebagai reaksi atas pelanggaran-pelanggaran HAM di seputar Pepera 1969,
"Republik Papua
Barat" diproklamasikan seorang bekas anggota TNI/AD,
Seth Jafeth Rumkorem, di kota kecamatan Waris, pada 1 Juli 1971.
Proklamasi itu mengabadikan bendera Sang Bintang Kejora dan lagu
kebangsaan Hai Tanahku, Papua, ciptaan orang-orang Belanda sepuluh tahun
sebelumnya, menjadi simbol-simbol nasionalisme mereka.

Sejak saat itulah, berbagai kelompok masyarakat Papua silih berganti
terlibat dalam pengibaran
bendera Papua serta ekspresi nasionalisme
Papua lainnya. Dari kalangan pegawai negeri, ibu-ibu di Kampung Ormu,
Jayapura, mahasiswa Uncen asal Fakfak, tentara, dosen Uncen, sampai
dengan Doktor Ilmu Pemerintahan pertama asal Papua Barat, Thomas
Wanggai, di stadion Mandala, Jayapura, pada 14 Desember 1988. Ekspresi
nasionalisme Papua itu membuahkan hukuman penjara 20 tahun bagi Tom
Wanggai, yang tidak
sempat diselesaikannya lantaran meninggal secara
misterius di RS Polri Jakarta, tiga tahun lalu.

Berbagai pelanggaran HAM serta rasa ketidakadilan melihat sumberdaya
alam mereka dijarah oleh
orang luar, ikut melecut nasionalisme Papua.
Yang sangat menonjol adalah pemboman kampung-kampung Suku Amungme
sekitar Tembagapura serta kampung-kampung Suku Lani di timur Lembah
Balim oleh Skuadron "Kuda Sembrani" TNI/AU di pertengahan 1977.

Operasi pemboman pesawat-pesawat OV-10F Bronco dari pangkalan mereka di
Baucau, Timor Timur, mengakibatkan ribuan korban jiwa yang tidak banyak
mendapat sorotan di Indonesia.

Namun peristiwa berdarah yang paling kuat melecut nasionalisme Papua,
yang mengakibatkan
hijrahnya sepuluh ribu pengungsi ke PNG, adalah
pembunuhan seniman Papua, Arnold Ap, oleh satu regu Kopassus, pada 26
April 1984.

Sampai detik ini, Pangdam Cenderawasih waktu itu, Mayjen R.K. Sembiring
Meliala, Pangab
Jenderal Benny Murdani, serta Komandan Kopassus belum
pernah mempertanggungjawabkan pembunuhan di luar jalur peradilan
(extra-judicial killing ) itu yang menggunakan senapan mesin Uzi buatan
Israel.

Peristiwa itu sangat traumatis bagi orang Papua, sebab pembunuhan
seniman, aktivis lingkungan,
serta Kurator Museum Antropologi Uncen,
yang berjasa menghidupkan kembali berbagai cabang kesenian orang Papua,
praktis memupuskan harapan orang Papua, bahwa identitas mereka masih
dapat dipertahankan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejak saat itulah, nasionalisme Papua semakin merasuk di kalangan
masyarakat, bukan hanya di
antara suku-suku pegunungan sekitar
Tembagapura, melainkan juga di kalangan mahasiswa, pegawai negeri,
rohaniwan Kristen maupun masyarakat Islam di daerah Fakfak, yang dulu
sudah juga terwakili dalam Dewan Papua maupun dalam barisan panjang
pengibar bendera Sang Bintang Kejora yang pernah dipenjarakan.
Pelanggaran demi pelanggaran HAM, pembantaian demi pembantaian,
gelombang-gelombang transmigran dan migran spontan, serta pengurasan
sumberdaya alam tanpa mengindahkan pranata adat dan lingkungan orang
Papua, justru semakin memupuk nasionalisme Papua.

Walhasil, 1 Juli lalu, 27 tahun setelah proklamasi Republik Papua Barat
di Markas Victoria, Sang
Bintang Kejora berkibar kembali di mana-mana,
memanfaatkan celah reformasi di Indonesia sendiri. Nasionalisme Papua
yang awalnya ciptaan Belanda, telah terinternalisir oleh rakyat di pulau
kasuari, sebagaimana banyak pranata dan benda budaya asing lain
--seperti teknik menempa parang dari Sulawesi, teknik mencetak kue sagu
bakar dari Maluku,
piring Cina dan kain Timor sebagai mas kawin, gitar
dan ukulele sebagai alat musik paling populer, serta agama Islam dari
Maluku Utara dan agama Kristen dari para misionaris asing dan Indonesia
-- sudah diserap menjadi bagian tak terpisahkan dari lingkaran
kebudayaan Papua. Tentu saja kita tidak boleh lupa bahwa nasionalisme
Papua ikut disuburkan
oleh gerakan-gerakan Ratu Adil di berbagai
sukubangsa, dari orang Biak di Samudera Pasifik, orang Amungme di kaki
Pegunungan Jayawijaya, sampai dengan orang Muyu dan Mandobo di
perbatasan Merauke -PNG.

Lantas, bagaimana jalan keluarnya? Kalau tidak mau mengambil risiko
perang terbuka menghadapi
sebagian besar rakyat Papua Barat, tak ada
jalan lain kecuali menarik seluruh tentara Indonesia dari bumi
cenderawasih, membebaskan semua tapol dan napol Papua, serta mengulangi
referendum yang diperkosa Ali Murtopo dengan Opsusnya, 29 tahun silam.
Hanya dengan cara itulah, saya yakin orang Indonesia dan orang Papua
dapat tetap hidup berdampingan sebagai sahabat dan partner dagang,
walaupun lain bangsa.

*)GEORGE JUNUS ADITJONDRO, mendalami soal-soal
  Irian sejak menjadi wartawan Tempo (1971-1979). Ia pernah
  mempelajari pertumbuhan nasionalisme Papua Barat dari dekat
  selama bermukim di sana (1982-1987), dan kini mengajar
  matakuliah Sosiologi Gerakan-Gerakan Kemerdekaan
  Pasca-Kolonial di Universitas Newcastle, Australia.

KABAR IRIAN ("Irian News")

NOTE: "IRJA.ORG, the moderator/s and all subscribers do not neccessarily
hold to or support the
opinions and views expressed in these postings. They
are posted for their news/interest content. "

For help please email  [EMAIL PROTECTED]  (auto-responder) or
  [EMAIL PROTECTED]
  http://www.irja.org
(Conference page)  http://www.irja.org/conf.htm

______________________________________________________________________
Subscribe, unsubscribe, opt for a daily digest, or start a new e-group
at  http://www.eGroups.com  -- Free Web-based e-mail groups.


Create an e-mail group for everyone born on the
same day as you.
                                                                     Help
& Info



 Search



 Explore

Kirim email ke