Mengikuti obrolan tentang fenomena Mega ini, saya jadi ingat sebuah
buku tentang leadership yang berjudul "Hope is not a method" yang
ditulis oleh mantan Chief of Staff of the US Army, Gordon Sullivan.
Buku ini sangat menarik karena merupakan aplikasi military leadership
(khususnya US Army) ke dalam bisnis dan organisasi secara umum.

Dalam bahasan khususnya tentang pemimpin, Sullivan mengatakan bahwa hal
yang paling penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah
'shared vision.' Pemimpin menggunakan vision and values untuk
memobilisasi orang lain (yang dipimpin), memfasilitasi perubahan dan
pertumbuhan, serta menciptakan masa depan suatu organisasi. Visi adalah
langkah pertama dalam mentransform organisasi.

Contoh yang di kemukakan mas Eep tentang masyarakat Finlandia sangat
relevan dengan argumenya Sullivan diatas. Masyarakat Finlandia tidak
mau dipimpin oleh orang yang tidak punya visi karena memang tidak
menjanjikan sesuatu buat masa depan mereka. Seorang pemimpin harus
punya visi yang jelas, karena visi yang jelas dan di jelaskan kepada
masyarakat akan 'provides a sense of enduring purpose, and incorporates
a measure of success.'

Jadi menurut saya, sangat wajar apabila kita masyarakat Indonesia yang
semakin maju dan kritis ini meragukan kemampuan Megawati untuk
memimpin, karena selama ini dia tidak pernah menyatakan visinya dan
menjelaskannya kepada masyarakat luas. Apalagi sewaktu di undang untuk
acara debat, yang pada intinya agar masyarakat mengetahui visi calon
presidennya, juga menolak dengan alasan yang 'konyol' yaitu tidak
sesuai dengan budaya timur.

Kalaupun masyarakat kita nanti terlena (atau memang masih tidur) dan
memilih pemimpin semacam ini, semuanya akan rugi. Apabila suatu saat
ternyata pemimpin ini tidak bisa memenuhi tuntutan masyarakat,
masyarakatpun tidak akan bisa terlalu menggugat, karena mereka telah
memilihnya walaupun tanpa visi. Kalaupun masyarakat akhirnya menggugat,
sang pemimpin akan dengan mudah pula mengelak dengan mengatakan bahwa
dia dulu dipilih bukan untuk membawa misi seperti yang di harapkan oleh
masyarakat, karena memang dari awal tidak pernah mengeluarkan visinya
kedepan.

Saya setuju kalau dikatakan bahwa dengan memilih pemimpin yang nggak
punya visi yang jelas, sama dengan memilih kucing dalam karung. Judul
bukunya Sullivan mengimplikasikan bahwa 'Hope' bukanlah metoda yang
tepat untuk memilih pemimpin, sama artinya dengan 'memilih kucing dalam
karung.'


--- Endra Susila <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Beberapa hari yll., di kampus ITB telah diadakan hearing dari para
> Calon Presiden RI. Tercatat, wakil dari PAN, PBB, PK, PRD, serta PUDI
> (+......) telah mengungkapkan gagasan-gagasan mereka. Tercatat pula
> wakil
> dari PDI-P serta PKB menolak hadir pada acara tsb dengan alasan
> "bukan
> budaya Indonesia serta tidak diatur dalam RUU (mohon dikoreksi kalau
> salah)". UI Salemba, tidak kalah pula, akan mengadakan acara sejenis
> beberapa saat mendatang. Rupanya PDI-P dan PKB juga telah menolak
> untuk
> menghadiri acara tsb.
>
> Sehubungan dengan kegiatan-kegiatan di atas, ini tadi saya barusan
> mendapatkan tulisan Eep Saefulloh pada Refleksi Republika yang
> menyentil
> Mbak Mega karena keengganan-keengganannya untuk diajak berdiskusi
> terbuka.
>
> Cukup menarik untuk dibaca. Walaupun, bisa jadi menurut para
> pendukung Mbak Mega, tulisannya agak subjektif.
>
> Endra
>
> ---------------------------------------------------------------------
> http://www.republika.co.id/9904/25/12738.htm
>
> Pemimpin Berbudaya Timur
>
> Oleh Eep Saefulloh Fatah
>
> "Kertas yang kosong untuk kepala yang kosong dan janji yang kosong."
>
> Kata-kata itu tertera di sebuah kertas suara di Uusima, satu dari 15
> wilayah pemilihan dalam Pemilu Parlemen Finlandia, 21 Maret 1999
> lalu. Ia
> tertera di salah satu kertas suara yang bertumpuk bersama dengan
> kartu
> suara lain yang tidak sah karena pemilih tidak menulis nomor kandidat
> anggota parlemen di kertas itu. Pemilih justru melaku?n protes dengan
> menuliskan kata-kata di atas, boleh jadi lantaran ia tak tahu isi
> kepala
> dan tak percaya janji kosong para kandidat.
>
> Apa yang bisa kita pelajari dari soal yang kelihatan remeh temeh itu?
> Jawabnya: Setiap orang bebas memilih wakil mereka di parlemen dengan
> rasional. Ketika yang didapati sang pemilih adalah ''kepala yang
> kosong
> dan janji yang kosong'', ia leluasa untuk tak menentukan pilihannya.
>
> Soal remeh temeh itu pun memberi pelajaran lanjutan lain: Rakyat
> berhak
> tahu du? isi kepala dan dan menakar dulu janji seorang calon pemimpin
> sebelum memutuskan pilihannya. Rakyat tak boleh dipaksa membeli
> kucing
> dalam karung. Pemimpin tak berhak meminta cek kosong dari rakyat.
>
> Itulah pelajaran Finlandia, sebuah negara Skandinavia yang makmur
> dengan
> kualitas demokrasi yang teruji, nun di utara Eropa sana. Apakah itu
> pelajaran tentang budaya utara atau budaya barat, dan bukan timur?
> Menurut
> saya, bukan.
>
> Pelajaran Finlandia yang saya temukan ketika ikut meninjau pemilu di
> sana
> itu adalah pelajaran universal tentang kaidah elementer demokrasi.
> Bahwa
> pemilihan pemimpin mestinya dilakukan melalui mekanisme rasional.
> Para
> calon pemimpin harus memiliki kesediaan mengungkapkan
> gagasan-gagasannya
> -- tentu jika ia punya -- di depan publik. Publik berhak menilai
> kelayakan
> gagasan-gagasan itu sekaligus menakar seberapa layak pula sang calon
> pemimpin diberi kepercayaan menahkodai bangsanya. Dan ini bukan soal
> budaya timur, barat, utara, selatan, barat daya, tenggara atau buda?
> dari
> arah angin manapun.
>
> Tak relevan mempersoalkan arah angin di situ. Persoalannya, kita
> harus
> mengakhiri periode kepemimpinan sopir bajaj ketika pemimpin sangat
> sok
> tahu dan tidak merasa punya tanggung jawab untuk bercerita kepada
> rakyat
> apa yang hendak ia perbuat. Pemimpin hanya duduk manis tak bergeming
> di
> atas singasananya dan sangat hemat-pelit menyampaikan isi pikirannya.
> Pemimpin seperti itu tak ubahnya sopir bajaj yang seenaknya membawa
> penumpang -- naik ke trotoar, berbelok mendadak, ?rbalik arah melawan
> arus
> jalan, melabrak lampu merah, menyerempet orang di pasar -- tanpa
> memberi
> sinyal dan sedikit pun rasa tanggung jawab.
>
> Sudahlah. Kita akhiri model kepemimpinan seperti itu. Benar --
> seperti
> cerita Clifford Geertz ketika menjelaskan konsep Theatre State --
> pemimpin
> semacam itu bisa kelihatan sakral, kharismatik, dan membuat bulu
> kuduk
> orang berdiri. Namun celakanya, seperti telah dibuktikan Orde Baru,
> justru
> pemimpin seperti itulah yang efektif untuk proyek pembodoh? rakyat
> dan
> penguatan otoritarianisme.
>
> Jadi -- jika Anda belum puas juga -- apakah perdebatan publik di
> antara
> calon pemimpin merupakan pelanggaran atas budaya ketimuran? Jika
> Megawati
> Soekarno Putri yang diminta menjawab pertanyaan ini, jawabannya
> jelas: Ya,
> merupakan pelanggaran.
>
> Jawaban itu saya tahu sebab ketika diundang ikut serta debat
> antarcalon
> presiden oleh Forum Salemba di Universtas Indonesia, Megawati menolak
> hadir. Berdebat di muka umum, menurut Megawati -- dan tentu saja PDI
> Perjuangan -- tak sesuai dengan budaya timur. Selain itu, berdebat di
> muka
> umum, menurut mereka tak diatur oleh satupun aturan
> perundang-undangan.
>
> Sebagai warga negara terus terang saja saya sangat sedih mendengar
> dua
> alasan itu. Saya tak habis mengerti bagaimana mungkin ''budaya
> timur'' dan
> ''aturan perundangan'' bisa ditafsirkan semena-mena seperti itu. Yang
> saya
> tahu, ketika sejumlah perempuan dipaksa membuka kaosnya -- apapun
> warna
> dan gambar di kaos itu -- menjadi setengah telanjang, itulah
> pelanggaran
> budaya timur dan aturan perundangan yang sangat serius.
>
> Saya sedih, bagaimana mungkin seorang tokoh publik -- yang konon
> memiliki
> kans besar untuk menjadi presiden -- justru sangat hemat
> mengungkapkan
> gagasan-gagasannya di depan publik dan menolak mendiskusikan
> gagasan-gagasan itu secara rendah hati. Bagaimana mungkin rakyat akan
> bisa
> membuat pilihan rasional atas para calon pemimpin mereka.
>
> Saya juga sedih bahwa tokoh-tokoh publik semacam itu dimanjakan oleh
> publik sendiri, termasuk oleh media massa. Saya sedih bahwa diam-diam
> masih banyak orang yang bersedia m?beli kucing dalam karung bahkan
> dalam
> kotak kayu tebal yang terkunci. Saya sedih diam-diam masih banyak
> orang
> yang bersedia memberi cek kosong pada calon-calon pemimpin padahal
> rekening mereka sudah semakin tipis termakan krisis politik dan
> ekonomi.
>
> Dan juga saya sedih mengingat sebuah pepatah Inggris: "People will
> get the
> government they deserve." Rakyat akan memiliki pemimpin yang memang
> layak
> untuk mereka. Dengan rakyat yang mau membeli kucing dalam karung,
> maka
> yang akan terbeli memang kucing yang hanya bisa berteriak merdeka;
> bukan
> meneladani dan memimpin reformasi.
>
> Di tengah kesedihan itulah ''datang'' Benhard Dahm kepada saya
> membawa
> hasil penelitiannya di Jawa, Myanmar, dan Vietnam. Otoritarianisme,
> kata
> Dahm, memang bisa terus berlanjut di satu tempat manakala rakyat dan
> pemimpin kompak membangun model daulat raja bukan daulat rakyat.
>
> Mudah-mudahan cerita sedih Dahm tidak benar-benar terjadi di
> Indonesia
> hari-hari ini dan esok. Dan untuk itu, kita butuh pemimpin yang penuh
> budaya ketimuran: rendah hati berhadapan dengan rakyat; mau menyapa
> rakyat
> dengan rencana masa depan yang masuk akal dan boleh diperdebatkan.
>
> Taman Mini, 24 April 1999
>
-----------------------------------------------------------------------------
>

_________________________________________________________
Do You Yahoo!?
Get your free @yahoo.com address at http://mail.yahoo.com

Kirim email ke