Salam,
Saya melihat tidak banyak partai yang memiliki konsep ekonomi untuk
membangun Indonesia kalau nanti mereka berkuasa. Tulisan saya ini pernah
dikirim ke milis lain. Saya pikir mungkin juga bermanfaat untuk milis
Permias ini. Berikut tulisannya di bawah ini.
Wassalam,
Harry Azhar Azis
----------------------

Tidak banyak partai yang membahas soal kapitalisme dan liberalisme.
Umumnya bahasa mereka adalah klise yang telah kita ketahui. Walau keduanya
dapat saling berhubungan, tidak selamanya kapital bersifat bebas berputar
di semua pelaku ekonomi. Konsep liberalisasi  kapital, pada dasarnya,
merefleksi situasi keterpusatan penguasaan kapital di kalangan tertentu
(baik swasta maupun -atas nama- pemerintah). Di dalam "kalangan tertentu"
itu, kapital memang bergerak bebas tetapi tidak di luarnya (Perhatikan
Yoshihara Kunio, yang masih dilarang masuk Indonesia itu, dengan "Ersatz
Capitalism"-nya). Inilah salah satu kritik terpenting atas konsep ekonomi
klasik dan juga atas varian "Austrian economics."  Teori klasik memang
berasumsi "kapital", seperti juga "wage(upah)", selalu bergerak bebas.
Neoklasik berpendapat ternyata dalam kenyataan tidak benar. Mengapa?
Pengeritik melihat kapitalisme ternyata  lebih berorientasi ke prinsip
"alokasi produksi", bukan "income distribution". John Stuart Mill,
misalnya, membedakan dengan tegas aspek "produksi" dan "distribusi"
kapital. Jika produksi banyak ditentukan oleh hukum2 alam atau teknik,
maka distribusi banyak ditentukan oleh "human will" (Perhatikan buku
terkenalnya yang ditulis 1848 "Principles of Political Economy, With Some
of Their Applications to Social Philosophy").  Disamping itu makin
akumulatif suatu kapital, makin produktiflah ia (baca: makin menjamin
prinsip "economics of scale" atau "higher rate of return", konsep2 ini
bisa masuk kategori riba (konsep Islam), kalau ia bersifat tidak adil,
atau monopoli (juga diharamkan oleh "antitrust law" USA. Di Indonesia,
sampai saat ini, hampir semua bentuk monopoli "halal" sifatnya). Kritik
ini menunjuk bahwa prinsip "akumulasi", bukan "liberalisasi", yang menjadi
tempat berpijak kapitalisme (Jangan salah baca, karena ada pula teori
liberalisme kapital. Teori inipun mendukung aspek "akumulasi" kapital,
distribusinya sekedar "by products" seperti terlihat dalam konsep "trickle
down effects" yang juga dikritik itu).  Teori terbaru dalam konteks ini
banyak ditemui dalam teori ekonomi moneter, misalnya, yang membedakan
antara "capital/financial deepening" dan "capital/financial repression."
Konsep pertama (deepening) banyak dibela oleh penganut teori ekonomi pasar
(artinya kapital akan lebih berkembang berdasarkan "competitive financial
system" atau pasar bebas), sedangkan yang kedua (repression) umumnya
dibela penganut teori campur tangan pemerintah (artinya kapital harus
ter/dibentuk oleh kriteria2 yang disusun oleh pemerintah dan atau wakil
rakyat). Umumnya teori "repression" membuat "harga kapital" menjadi lebih
murah (karena subsidi atau proteksi) untuk suatu kelompok masyarakat
tertentu (tetapi produktivitas kapital juga lebih rendah) dibanding konsep
yang pertama. Indonesia menganut pola "kredit murah" ini, yang didukung
BI, khusus diberikan untuk kalangan pengusaha tertentu, dengan alasan
tertentu pula. Di luar kategori "kelompok tertentu" itu, "harga kapital"
kembali disesuaikan dengan harga pasar (lebih mahal dan tanpa subsidi).
Kata2 "deepening" dan "repession" sama sekali tidak ada hubungan dengan
pengertian "jahat" atau "baik"(semacam "emotional sentiment" atau "value
judgement" dalam ekonomi normatif), tetapi lebih kepada pengertian
efisiensi.

Konsep alokasi produktif kapital inilah yang sering mendorong pemilik
kapital menjadi "eksploitatif." Sejarah kapitalisme di Barat sering
dikritik karena eksploitasi ekonominya yang banyak melanggar prinsip2
moral atau humanisme labor (Harap juga dibaca berimbang bahwa pujian
kepada kapitalisme yang mendorong "growth" dan "development" juga tidak
sedikit). Karl Marx, yang kini mulai diakui di Barat sebagai suatu varian
pemikir ekonomi klasik, menerobos soal aspek eksploitasi kapitalisme.
Lucunya, humanisme kapital yang ditawarkan Marx, justru berubah menjadi
"diktatorial" di bidang politik (seperti diterjemahkan Lenin). Konsep
Lenin, agak jauh berbeda dengan konsep Proudhon (atau juga Engels), yang
masih menekankan humanisme, yang banyak diminati pengagum sosialisme (di
bidang politik maupun ekonomi). Konsep beraspek humanisme ini dapat juga
dilihat dalam aliran "Trosky" atau "Gorbachev" (dua2nya gagal di karir
politik pribadi), yang di Indonesia -dulu- menjadi Murba (saya kurang tahu
yang sekarang) atau pandangan nasionalisme yang bervarian
"Marhaenisme"(saya kira sebagian pemikiran ekonomi PDI-P bersumber ke
pandangan ini). PDR dengan "people's economy", yang cenderung merujuk ke
pemikiran Sritua Arief dan Adi Sasono di akhir tahun 1970an, menurut saya,
tidak jauh beda dengan semangat humanisme kapital di tahun 1960an yang
menjadi enerji "revolusi pemikiran ekonomi" di beberapa negara Amerika
Latin. Di Malaysia, yang dilaksanakan Mahathir, konsep ini menjadi
"ekonomi bumiputera" yang juga pada awalnya didukung Anwar Ibrahim (kesan
saya, Anwar kemudian berubah dan cenderung mendukung pola "capital
deepening" yang membuatnya berkonflik dengan Mahathir). Konsep Malaysia
ini (katanya diiikuti  PDR) sebenarnya pernah diterapkan di Indonesia
tahun 1950an, yang terkenal dengan nama "Program Benteng" yang didukung
Masyumi dan PSI (juga kaum nasionalis) tetapi ditentang oleh PKI dan
kelompok pedagang Cina karena dianggap diskriminatif. Konsep ini ternyata
gagal (sebagian orang menyebut konsep inilah yang berhasil dan mampu
meredakan ketegangan rasial di Malaysia). Konsep yang diikuti Arief dan
Adi ini  memang tidak percaya kepada kemurahan hati (benevolent) para
pemilik kapital, karena itu struktur yang banyak dikuasai oleh kaum
kaya haruslah di"rampas." Karena pendekatan struktur seperti itu
kaum yang mendukung teori ini disebut kaum "strukturalis." Karena
menganut konsep ini pula, tampaknya Adi Sasono dicap sebagai "the
most dangerous man in Indonesia," seperti diktulis majalah FEER beberapa
waktu lalu. Teori strukturalis ini bersumber dari pemikiran2 ttg
ekonomi seperti dikenal dengan nama teori depedencia, yang berasal
dari pemikiran
ahli2 ekonomi strukturalis-humanism seperti Paul Sweezy, Maurice Dobb,
Paul Baran dan Ernest Mendel. Sayang konsep inipun cenderung menjadi
diktatorial di bidang politik dan monopolistik di bidang ekonomi,
khususnya ketika berkoalisi dengan kaum militer atau kelompok2 sipil
tertentu (seperti birokrat, profesional dan entrepreneur).

Konsep kapitalisme, ditunjang konsep masyarakat yang liberal, ternyata
juga berkembang ke arah varian humanisme. Coba bandingkan, kaum buruh di
awal2 masa Revolusi Industri harus bekerja sampai 14 jam per hari, dan di
beberapa pabrik bisa 7 hari seminggu. Hampir tidak ada kontrak kerja yang
memberikan jaminan2 sosial yang cukup baik (apalagi dibanding standar
sekarang). Sekarang, buruh di Barat, relatif bekerja 8 jam per hari dan 5
hari perminggu. Perlindungan kepada buruh di bawah umur dan wanita,
sekarang jauh lebih baik. Ini jelas perbaikan humanis sbg reaksi atas
eksploitasi kapitalisme dulu. Di Indonesia atau di banyak berkembang,
perlindungan yang dinikmati kaum buruh di Barat ini, hampir tidak ada
(kalau mau tidak dikatakan tidak ada sama sekali). Jadi kesan "jahat"nya
kapitalisme memang tidak mudah hilang (Jawabannya, kemudian tidak otomatis
sosialisme itu "lebih baik"). Liberalisme ide di Barat mampu membuka
eksploitasi kapital. Partai2 mereka mampu mengadopsi suara konstituennya
dengan mengeliminisai praktek2 eksploitasi itu, ketika mereka berkuasa.
Pemerintah2  (apalagi partai2nya) di negara berkembang harus berproses
lebih lama (dan tidak jarang melalui proses kekerasan "riots") untuk
mengadopsi pikiran dan menyantuni penderitaan rakyatnya (Beruntunglah
rakyat, kalau mereka yang memiliki "benevolent government" dalam "real
term", bukan "symbolic meaning"). Di Indonesia, yang  mengambil "jalan
tengah" ekonomi justru dua kali berujung kepada "economic downturn."
Kenapa jalan "terbaik" itu, justru berujung kehancuran?

Akumulasi kapital akhirnya memang membentuk sekelompok kecil elit orang
kaya (dilihat dari "the top quintile performance in GNP"). Struktur yang
terbentuk karena proses akumulasi itu makin lama ternyata makin kuat dan
mapan sehingga terjadilah apa yang disebut "yang kaya makin kaya, yang
miskin makin lapar dan bodoh" (perhatikan teori "vicious circle of
poverty"). Pendapat ini, walau suatu penelitian menyatakan tidak selamanya
benar (perhatikan, misalnya, Ahluwalia dan Chenery dalam "Redistribution
with growth", 1974), teryata telah menjadi keyakinan sebagian orang bahwa
aspek struktural (ekonomi, politik dan sosial) adalah penyebab utama
situasi yang  selalu menguntungkan kaum kaya. Menurut pendapat ini, nasib
si miskin tidak akan berubah, kalau struktur yang dikuasai golongan kaya
itu tidak "dirampas," tidak "didaulat oleh dan untuk rakyat." Saya tidak
heran kalau kelompok ini kemudian membentuk "Partai Daulat Rakyat." Daulat
rakyat bisa menjadi simbol yang menarik sebagai alternatif atas Daulat
Raja - atau "Rangkayo"- yang mendominasi kekuasaan (dan assets) negara
selama ini (Bandingkan dengan makna kata2 "Rakyat demokratik" di PRD,
"Perjuangan" di PDI-P atau juga "keadilan" di PK dan PKP, yang mengesankan
perlawanan kepada sesuatu). Slogan perlawanan seperti ini mirip dengan
slogan "wong Cilik" yang pernah dipopulerkan Suryadi (PDI). Uniknya,
kelompok pendukung Megawati melanjutkannya pendekatan Suryadi itu dengan
beberapa improvisasi, sehingga malah makin menarik (juga didukung situasi
"ketertindasan politik" Megawati di masa Soeharto). Dengan semangat yang
relatif sama, khususnya di bidang politik, pendekatan struktural ini juga
diikuti partai2 lain yang mengklaim dirinya reformis. "Golkar lama" ketika
pemikiran ekonominya dikendalikan kelompok "Wijoyonomics" (secara bergurau
disebut "Mafia Berkeley." Nanti kalau Amin Rais atau Nurcholish Madjid
berkuasa akan muncul pula "Mafia Chicago" bisa lebih serem karena Chicago
adalah pusat kota Mafia di AS...:)) memang menekankan prinsip akumulasi
kapital seperti terlihat dalam logi "growth" trilogi pembangunannya.
Konsep ini berhasil kalau memakai ukuran2 IMF dan World Bank atau beberapa
ekonom neo-klasik seperti Paul Krugman (Perhatikan Krugman, "Of the Asian
Tigers", 1994). Krugman bahkan menyatakan bahwa keberhasilan ini di banyak
negara Asia Timur/Tenggara tidak lebih karena "rapid capital
accumulation", yang sumber utamanya adalah "foreign capital." Nah, ketika
capital itu kabur karena "domestic uncertainty", ambruklah ekonomi negara2
itu seperti terlihat di Korea Selatan, Thailand dan yang paling parah di
Indonesia. Kelompok Wijoyo yang dibantu kelompok militer berhasil dalam
dua dari trilogi pembangunannya, yaitu stabilitas dan pertumbuhan tapi
tidak di konsep pemerataan (logi terakhir ini ingin direbut  PDR, PDI-P,
PRD  menjadi "milik mereka" dan di beberapa potongan pikiran terlihat di
PAN, Golkar Baru, PPP, PKB atau PBB). Sebenarnya, ketika Ginanjar (Golkar
lama dan baru?) masih di Bappenas, konsep pemerataan ini dipertegas
melalui konsep pengentasan kemiskinannya Prof. Mubyarto. "Habibienomics"
(Golkar lama dan baru atau PDR?) yang terkenal dengan konsep "hi-tech" dan
"inexpensive capital" (baca: "low interest rate" yang ditertawai beberapa
ekonom karena komentar "zigzag ekonomics"nya ttg "policy intervention" di
bidang moneter, yang kedengarannya lucu). Konsep Habibie ini, menurut
saya, menarik kalau kita memakai kacamata Micheal Porter dengan "The
Competitive Advantage of Nations" (1990). Konsep Habibie ini masih
berorientasi kepada pertumbuhan kapital (khususnya di bidang "hi-tech").
Sementara konsep "inexpensive capital" nya bisa lebih distributif, kalau
dibantu oleh financial network yang efisien dan tidak korup. Kalau konsep
ini bisa dipertegas, bukan mustahil cukup menjanjikan.  Terus terang, saya
sebenarnya ingin melihat konsep ekonomi PAN yang lebih jelas, karena
partai ini relatif banyak para ekonomnya baik dari UI maupun UGM. Kalau
partai
ini bisa menggabungkan konsep "growth" (pola UI) dan "income distribution"
(pola UGM) dengan baik, partai ini jelas akan mendapat banyak simpati
konglomerat dan rakyar kecil. Konsep ini menjanjikan pertumbuhan ekonomi
dan sekaligus memperbaiki pola "income distribution" (dalam penelitian
Ahluwalia dan Chenery yang saya sebut diatas, konsep ini pernah berhasil
diterapkan di Colombia, El Savador, Sri Lanka dan Taiwan di tahun 1960an
dan 1970an). Di lapangan pemikiran sintesis ini, PAN tampaknya akan
bersaing dengan Golkar baru (saya kira konsep Golkar sekarang masih
berorientasi pada pertumbuhan tetapi mulai dimodifikasi konsep pemerataan
melalui pengentasan kemiskinan). Sebaliknya, di konsep "income
distribution policy", PDR dan PDI-P akan bersaing ketat pula.  Kalau
sistensis "growth" dan "redistribution" masih dipakai Golkar (baru) dan
kini juga tampaknya dipakai oleh PAN, sedangkan "redistribution approach
tampaknya dominan di PDI-P
dan PDR, tentu akan menjadi menarik kalau terjadi terjadi koalisi antara
PAN dan PDI-P melawan koalisi Golkar dan PDR. Partai2 lain yang tidak
begitu jelas konsep ekonominya, saya kira akan menjadi "satelit" dari
masing2 koalisi itu. Kalau ini yang terjadi dalam Pemilu nanti tentu kita
bisa menduga2 hasilnya.

Menariknya, saya tidak melihat satupun partai yang berorientasi ke
"pro-growth policy" semata. Mereka tampaknya sadar bahwa kampanye dengan
tema sekedar "growth orientation" sekarang ini tampaknya tidak terlalu
populer, apalagi setelah para konglomerat yang diuntungkan oleh konsep ini
ternyata hanya merupakan "economic bubble" (hanya bertengger di atas
pemegang kekuasaan negara, ketika kekuasaan itu runtuh iapun ikut
tenggelam). Inilah yang disebut "crony capitalism" atau "ersatz
capitalism." Dalam kapitalisme model ini, tidak ada kesukarelaan. Kapital
bergerak hanya berdasarkan "favoritisme" (you knew it already, itulah
KKN!). Inilah yang diserang oleh semua kaum reformis, termasuk mereka yang
perlu menyatakan dirinya reformis.

Wassalam,
Harry Azhar Azis
Oklahoma State University
Stillwater, OK

Kirim email ke