Ada satu yg menarik dari berita ini yg membuat saya terseyum kecut, 
pendemo yg menamakan diri Aliansi Perempuan Anti Bantuan Asing, 
mengajukan tuntutan agar dana JPS segera dikucurkan.
Rupanya mereka ngga sadar kalau dana JPS itu asalnya juga dari
bantuan asing.

Tampaknya hal ini semakin menguatkan bahwa mereka tahunya
bantuan itu dari pemerintah dalam hal ini Golkar.
Jadi kalau mau bantuan ini tetap jalan, pemilu nanti harus
pilih Golkar. Gitu kali ya bunyi pesan2nya setiap memberi bantuan?

Mungkin pendemo ini perlu juga diwawancarai wartawan detikcom
untuk mencari tahu apa saja yg telah diminta dan diinformasikan
kepada mereka yg berkaitan dengan bantuan ini.

Selamat membaca.

catatan:
Bung Yusuf, gimana nih kira2 kondisi lapangan? Khan anda
bilang tempo hari anda begitu yakin rakyat ngga mampu dibeli
suaranya dengan uang atau sejenis. Koq saya melihat gejala2
terbelinya suara itu pada dua forwardan berita terakhir ini ya?
[satu lagi yg berasal dari harian waspada].


jabat erat,
Irwan Ariston Napitupulu

-------------------------------------
http://detik.com/berita/199905/19990526-1427.html

Ungkap Kecurangan Golkar, Wardah  Didemo
Reporter Hestiana Darmastuti

detikcom, Jakarta. Tokoh Masyarakat Miskin Kota (UPC)
mengungkapkan beberapa bukti pelanggaran yang dilakukan
Partai Golkar dan Partai Daulat Rakyat selama kampanye.
Namun, tak lama setelah dia mengungkap itu, sekitar seratus
orang - diantaranya ibu-ibu - mendemo kantor UPC yang
mewah di kawasan Billy Moon, Jakarta Timur. 

Para pendemo itu datang dengan mengendarai sebuah bus.
Mereka mengaku dari Jakarta Pusat. Dalam tuntutannya, minta
agar segera dibagikan dana JPS padanya. "Kami butuh makan,
Kami makan sehari tiga kali, bukan sekali," kata pendemo. 

Selain itu, demonstran juga membawa spanduk yang berisi
tuduhan bahwa Wardah (UPC) sebagai kontemporer, menjual
akidah, dan lain-lain. Para pendemo itu mengatasnamakan diri
dari Aliansi Perempuan Anti Bantuan Asing. Mereka minta dana
JPS dikucurkan. 

Ketika didemo, Wardah tak gentar dan menemuinya. "Lho
Ibu-ibu salah datang, kalau tanya dana JPS ke Bappenas, bukan
ke sini. Saya juga sudah tekan agar Bappenas merelisasikan
dana," kata Wardah. Tak lama setelah itu demonstran pun pergi.

Sementara itu, dalam jumpa persnya Wardah mengatakan
bahwa UPC sudah mendapatkan bukti-bukti pelanggaran
berupa money politics yang dilakukan oleh Golkar dan PDR.
Pola money politic itu, menurut Wardah, umumnya dengan
mengklaim program pemerintah sebagai program Golkar dan
bantuan dari Golkar. Sedangkan PDR, berdasarkan data yang
dimiliki Wardah, telah menyalahgunakan dana program KUT
(koperasi usaha tani) dan PER (Pemberdayaan ekonomi rakyat)
untuk merekrut kader partainya. 

"UPC sendiri menuntut Panwaslu untuk melakukan tindakan atas
pelanggaran Golkar dan PDR ini. Kami tidak percaya dengan
kejaksaan. Harus segera dilakukan langkah, dan saya minta
Golkar dan PDR didiskualifikasi sebagai peserta Pemilu,"
katanya. 

Ia mengatakan yang diungkap itu bukan ada kaitannya dengan
BJ Habibie, di mana kedua partai itu sudah mencalonkan
Habibie sebagai capres mendatang. "Tapi ini untuk pendidikan
politik rakyat," jelasnya. 

Menurut Wardah, ia mendapatkan laporan pelanggaran itu dari
berbagai daerah seperti Surabaya, Ponorogo, Yogya, Sulsel,
Goa, dan lain-lain. Modusnya macam-macam. Golkar misalnya,
menyebar lewat LKMD dan membagi duit ke petani. "Di
Kebandungan Sukabumi, KUT dibagi ke petani jahe dengan
janji, kalau Golkar menang tak usah dikembalikan, kalau Golkar
kalah harus dikembalikan," katanya.

Wardah tak khawatir dan takut bila dituntut. "Karena saya
punya bukti. Data ini valid, tak mengada-ada, dan ada saksi
tertulis. Kami mengumpulkan data sebulan, tak ada hubungannya
dua partai itu dengan pencalonan Habibie," katanya. 

Apakah pernah bertemu dengan pengacara PDR. Wardah
mengakui, bahwa dalam gugatan perdata pernah dapat tawaran
dari pengacara PDR. Dan itu juga dibenarkan oleh pengacara
Wardah dari PBHI, Hendardi. Dalam pertemuan itu PDR
tawarkan damai. "Kami tolak," katanya. "Soal ini bukan
permasalahan pribadi, tapi tangung jawab publik. Yang
melakukan bukan oknum tapi partai. Jadi saya tolak."

Meski menurut Hendardi tawaran damai itu wajar dalam
perkara perdata. Namun, bukti yang dimiliki Wardah itu, kata
Hendardi tak ada kewajiban diserahkan ke kejaksaan. Soalnya,
seperti halnya Time tak perlu menyerahkan ke kejaksaan. Justru
kejaksaan harus proaktif mencari bukti. 

Hak Cipta © detikcom Digital Life 1999

Kirim email ke