From: idris syafiee <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Friday, June 11, 1999 6:52 PM
Subject: INTERVENSI AMERIKA ATAS NAMA DEMOKRATISASI


INTERVENSI AMERIKA ATAS NAMA DEMOKRATISASI

Pemilu yang "jurdil" usai sudah. Perhitungan sementara suara pemilih banyak
diraih oleh PDI-P.
Berbagai media massa simpatisan partai itu secara atraktif menonjolkan
kemenangan itu,
sekalipun hasilnya masih satu persen.

Oleh karena itu, ulah KPU ini menimbulkan protes berbagai pihak yang merasa
dirugikan. Golkar
misalnya, melihat pengumuman KPU dan hasil laporan yang diperolehnya sangat
berbeda.
Menurut pengakuan Ketua Golkar Akbar Tanjung, dari berbagai daerah hingga
Selasa 8 Juni 1999
pukul 19.23 WIB, Golkar mendapatkan suara 2,08 juta sementara PDI-P 2,7
juta. Suara yang
berimbang. Namun, pada saat yang hampir bersamaan KPU mengumumkan Golkar
tertinggal dari
PDI-P, yakni PDI-P 437.596 suara sedangkan Golkar 145.893. Cara pemberitaan
KPU seperti itu
menurut Sekjen PPP Ali Marwan Hanan adalah shock therapy terhadap partai
lain yang biasa
dilakukan rezim orde baru. Menurut Presiden PK Nur Mahmudi, apa yang
diumumkan KPU itu tidak
fair, yakni belum diumumkannya hasil di Jakarta sementara daerah lain yang
jauh sudah.
Keanehan ini juga disorot Ketua PBB Fadli Zon yang merasa aneh bahwa suara
dari TPS di Bali
dan di Lampung bisa masuk datanya lebih awal dari TPS di Menteng, Jakarta.
Oleh karena itu,
perlu dilacak kenapa KPU mengeluarkan data demikian (Republika, 9/6/1999).

Namun ketua KPU Rudini mengatakan, hambatan di KPU semata-mata faktor teknis
dan tak ada
motif politis (Republika, idem).

Bagaimana pun juga itu menunjukkan pemilu ini memiliki kekurangan dan
kelemahan prosedur
yang justru bisa menyulut persengketaan baru lantaran ada yang merasa
dicurangi. Padahal
pemilu di luar negeri lebih sederhana dan hasilnya cepat diperoleh.

Yang merasa puas kelihatannya adalah para pemantau dari luar negeri,
khususnya mantan
Presiden AS Jimmy Carter yang sudah sejak lama ingin mengikuti dari dekat
pemilu yang
membatasi kekuasaan Habibie cuma sekitar setahun ini. Carter mengatakan, ia
dan beberapa
anggota dari Carter Center telah meninjau 15 hingga 20 lokasi tempat
pemungutan suara di
Jakarta.

Pertanyaan kita, kenapa pemilu ini harus diurusi begitu rupa oleh pihak
asing yang jumlahnya
sampai 300 ribu orang? Ada apa sebenarnya? Sejauh mana keterlibatan asing
dalam hal ini AS?
Apa tujuan mereka melakukan intervensi sebegitu jauh? Tulisan ini mencoba
mengurainya agar
diketahui dan disadari oleh kaum muslimin.

Amanat Demokratisasi Kongres AS

Adalah Jeffrey Winters, tokoh yang beberapa waktu lalu mengguncang
pemerintah Indonesia
dengan mengungkap keterlibatan Menteri Ginanjar dalam KKN di PT Freeport,
dalam pemilu kini
pun ikut hadir sebagai pengamat asing dari AS di Joint Operation Media
Center (JOMC) Hotel
Aryaduta, Jakarta dan meninjau langsung perolehan suara demi suara. Menurut
Winters, baru
dalam pemilu 1999 ini Indonesia berpeluang menciptakan demokratisasi setelah
selama lebih
dari 40 tahun dibungkam, khususnya tidak diberi kesempatannya rakyat
Indonesia memilih
pemimpinnya. (Kompas, 8/6/1999).

"Demokratisasi", itulah kata kunci dari seluruh hiruk-pikuk kejadian politik
yang menimpa negeri ini
sejak menjelang lengsernya Soeharto. Kata itulah yang ingin diwujudkan oleh
para pengamat
asing seperti Winters, Carter, dan ratusan ribu lainnya. Bahkan untuk itu
sebelumnya Winters hadir
dalam sebuah kampanye partai. Padahal kehadiran pengamat politik asing dalam
kampenya
sebuah partai, dalam peraturan dilarang. Inilah yang menurut Faisal Basyir
dari PPP adalah bagian
intervensi AS yang nampak sekali. Bahkan, mereka melakukan pendekatan
terhadap
kelompok-kelompok tertentu dan cara tertutup. Misalnya, sekitar 12 jam
menjelang pelaksanaan
Pemilu, bekas presiden AS, Jimmy Carter, memberi pesan khusus kepada dua
capres RI,
Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDI Perjuangan), dan Amien Rais (Ketua
Umum Partai
Amanat Nasional) di sebuah hotel berbintang di Jakarta.

Dan kata "demokratisasi" itulah yang dulu diungkap oleh para pemimpin AS
dalam rangka
melengserkan Soeharto. Dalam pernyataan di CNN dalam breaking news 10 jam
sebelum
Soeharto mundur, Albright mengatakan langkah itu (mundurnya Soeharto)
semestinya diambil
untuk memberi jalan bagi transisi demokratis negerinya. Dan pemilu yang
demokratis adalah
amanat kongres AS sejak runtuhnya rezim Soeharto yang dulunya adalah "kawan
dekat" AS juga.
Dalam kunjungan di Indonesia setelah jatuhnya Presiden Soeharto, Christopher
H. Smith
bersama 14 anggota kongres AS lainnya menandatangani nota tertulis yang
berisi 8 himbauan
(tekanan) kepada Presiden Habibie, agar Habibie :

     1. Membebaskan tanpa syarat tahanan politik, seperti Mochtar Pakpahan,
Sri-Bintang
     Pamungkas, Xanana Gusmao, Andi Arief, Garda Sembiring, Budiman
Sudjatmiko, dan
     lain-lain.

     2. Memantapkan prosedur dengan jadwal yang jelas tentang pelaksanaan
pemilu yang
     luber dan jurdil.

     3. Mewujudkan reformasi hukum seperti yang dijanjikan Presiden Habibie,
antara lain UU
     yang mendukung budaya oposisi dan pencabutan UU subversi.

     4. Mengawali dialog terbuka dan dengan itikad baik dengan rakyat Timor
Timur.

     5. Memperluas partisipasi politik WNI khususnya yang berada di luar
Jawa.

     6. Pemerintah Indonesia diharapkan segera meratifikasi konvensi tentang
HAM.

     7. Menghentikan penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan ekstrajudisial
terhadap aktivis
     politik.

     8. Meminta Habibie mengkaji ulang dwi fungsi ABRI. (Kompas, 26/5/1999)

Oleh karena itu, wajarlah ungkapan Faisal Basyir bahwa intervensi AS sudah
direncanakan.
Statemen yang diungkapkan Carter bahwa kegiatannya bukanlah sebuah
intervensi, sebenarnya
bertujuan untuk menutupi sesuatu. Semua merasakan adanya intervensi
terselubung itu, namun
sayangnya kita tidak dapat membuktikan hal itu. Katanya, masak para pemimpin
dan tokoh-tokoh
bangsa selalu harus minta restu atau mengontak AS (Harian Rakyat Merdeka,
Selasa, 8 Juni
1999).

. Kini jelaslah bagi kita bahwa pemilu "jurdil" dan "demokratis" yang
baru-baru ini terjadi jelas
merupakan amanat Kongres AS sebagaimana masalah Timor Timur yang telah
diobok-obok
Pasukan AS atas nama PBB. Bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini secara
histeria
menuntut demokratisasi, tanpa mereka sadari wilayah mereka di Timor Timur
sedang digarap
secara sistematis oleh lembaga kepanjangan tangan AS di PBB, UNAMET.

Tidak hanya itu, di satu sisi mereka antusias seolah Pemilu akan mengatasi
masalah, di sisi lain
mereka tidak sadar bahwa masalah-masalah baru siap menghadang. Salah
satunya, rencana
dibukanya hubungan dengan negara Zionis Israel yang telah lama dan hingga
kini membantai
kaum muslimin dan merampas harta mereka di Palestina serta Masjidil Aqsha.
Perihal akan
dibukanya hubungan dengan Israel ini diungkapkan seorang pengurus senior
PDI-P, Subagio,
yang tampaknya yakin akan memegang pemerintahan di sini. Dalam wawancara
dengan harian
Israel, Ha'aretz, edisi 8/6/1999, Subagio menyebut bahwa partainya tidak
tertutup kemungkinan
akan menjalin hubungan dengan Israel; dan hubungan diplomatik dengan negara
Zionis itu tinggal
masalah waktu. (Radar Bogor, 9/6/1999).

Strategi AS di Indonesia

Apa sesungguhnya yang dimaui AS di negeri yang Islam terbesar di dunia ini?
Untuk mengetahui
hal itu, terlebih dahulu kita perlu memahami asas strategi politik AS di
dunia. Ada dua prinsip
utama. Pertama, menjaga dan mempertahankan AS dari setiap ancaman yang dapat
menghilangkan pengaruhnya. Kedua, mengeksploitir berbagai bangsa dan umat
lain demi
kepentingan AS.

Dan keterlibatan AS di Indonesia tentu tidak boleh hanya kita lihat dari
keadaan hari ini, tapi sejak
Indonesia merdeka dari Belanda. Dan persepsi AS terhadap Indonesia sebagai
negara dengan
penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia tentunya dipengaruhi oleh tesis
Huntington bahwa
pasca runtuhnya Komunis, ancaman AS adalah Islam dan Cina.

Berdasarkan hal-hal di atas AS telah menyusun strategi imperialismenya
terhadap Asia
—khususnya Indonesia— sebagai berikut :

Satu, Politik Pembebasan dari Penjajah Lain. AS berhasil mendorong rakyat
Indonesia mengusir
Belanda. Lalu, mencengkeram Indonesia melalui Soekarno dan Soeharto.

Dua, Bantuan Ekonomi. Tujuannya menjadikan Indonesia sebagai negara miskin.
Juga alat untuk
menguasai ekonomi dan politik Indonesia, baik pinjaman melalui Bank Dunia
maupun IMF.
Instrumen-instrumen inilah yang digunakan AS untuk menjatuhkan Soeharto dan
merekayasa
krisis-krisis yang tak kunjung reda hingga sekarang.

Tiga, Bantuan Militer. Maksudnya, Pertama, menciptakan pasar bagi produk
industri senjata AS,
seperti yang dilakukannya terhadap Arab Saudi dan Kuwait dalam Perang Teluk
II. Kedua,
menghamburkan uang negara konsumen untuk membeli senjata. Bahaya terbesar
dari adanya
strategi ini, adalah terperosoknya Indonesia ke jurang kekacauan
terus-menerus, dengan
direkayasanya perang buatan, pemberontakan, ataupun gerakan pengacau
keamanan, sehingga
negeri ini tak henti-hentinya terus berada dalam kekacauan dan kekisruhan.
Kondisi ini pernah
terjadi tahun 1951 sampai 1965 dan setelah jatuhnya Soeharto hingga
sekarang, mulai dari
kerusuhan Mei 1998, pemberontakan separatis Irian Jaya, Aceh, dan Timor
Timur, kerusuhan
Ambon, hingga kasus pembunuhan para kiai di Banyuwangi, Tragedi Semanggi,
dan sebagainya.
Tujuan AS adalah agar Indonesia meminta bantuan militer kepada AS, seperti
yang dikemukakan
oleh salah seorang agennya kepada Madeleine Albright. Setelah itu, AS akan
dapat menentukan
siapa yang akan menjadi presiden Indonesia.

Empat, Proyek-proyek Produktif. Misalnya proyek minyak, emas, fosfat, dan
lain-lain, baik yang
dimiliki AS maupun yang dikuasainya bersama negara lain, seperti PT. Caltex
di Pekanbaru, Riau.
Tujuannya agar AS mempunyai kekuatan ekonomi dan politik di Indonesia. Juga,
sebagai sarana
untuk menguras kekayaan negeri ini.

Lima, Manipulasi Politik. Terwujud dalam dua perkara: Pertama,
merealisasikan keinginan AS
melalui para agennya, baik dengan slogan nasionalisme, menentang dominasi
penjajah, maupun
slogan palsu lainnya. Contohnya, pada tahun 1965 hingga 1990-an ketika
Soeharto masih kuat,
slogan yang dihembuskan adalah "mewaspadai bahaya laten Komunisme." Tetapi
setelah
Soeharto jatuh, para tahanan politik PKI, seperti Soebandrio dan yang
lainnya, malah dilepaskan
atas perintah dan tekanan AS. Tujuannya untuk membangkitkan pengaruh
Komunisme dan
menciptakan kekacauan dan kerusuhan sehingga Indonesia memerlukan bantuan
militer AS.
Slogan lainnya, seperti "Indonesia bukan negara agama dan bukan negara
sekuler" yang
digembar-gemborkan tahun 1970-an hingga 1990-an, dengan tujuan menciptakan
Islam Phobi
(rasa takut yang menggila terhadap Islam). Atau slogan "Pemerintahan Habibie
adalah
pemerintahan transisional," untuk menjatuhkan Habibie dan menggantinya
dengan orang lain.
Habibie dan rakyat pun terpengaruh dan mereka dipaksa oleh AS untuk
mengadakan Pemilu pada
tanggal 7 Juni 1999. Kedua, AS melakukan aksi yang secara lahir sepertinya
untuk kepentingan
rakyat, padahal hakikatnya adalah untuk kepentingan AS sendiri, seperti
rencana membangun
Universitas Amerika di Indonesia seperti telah dilakukan di Beirut, Ankara,
dan Kairo, dan
sebagainya.

Enam, Manipulasi Pemikiran. AS telah menggunakan pemikiran Kebebasan
(Freedom), yaitu Hak
Asasi Manusia (HAM), kebebasan berpendapat (demokratisasi), kebebasan
berusaha
(Liberalisasi Ekonomi), dan kebebasan beragama (Pluralisme), juga pemikiran
Sosialisme agar
masyarakat Indonesia ramai-ramai sibuk menuntut HAM, demokratisasi, dan
sebagainya. Sedang
Sosialisme, untuk menciptakan kontradiksi yang terus-menerus di antara
komponen masyarakat,
sebagaimana tercermin dalam tuntutan-tuntutan PRD di Indonesia.

Tujuh, Pemerintahan Militer. Untuk mengekalkan hegemoninya terhadap
Indonesia dengan
memperalat para jenderal oportunis. Mulai dari presiden, gubernur, bupati,
sampai camat
semuanya adalah militer. Agar mereka dapat memerintah rakyat dengan tangan
besi dan agar
rezim yang loyal kepada AS tetap dapat dipertahankan. Strategi ini
dijalankan selama 32 tahun di
masa Soeharto.

Delapan, Pembangunan Pangkalan Militer. Tujuannya untuk mengencangkan
dominasinya atas
Indonesia, atau untuk menundukkan negara-negara kuat yang lain. Ini rencana
terbaru. AS akan
membangun pangkalan militernya di Timor Timur (Selain Biak dan Natuna) untuk
menguasai
secara total kawasan Asia, khususnya Cina, Korea Utara, dan Malaysia.
Malaysia akan diambil dari
tangan Inggris, sedangkan Cina serta Korea Utara sebagai negara sosialis
terakhir di wilayah
Asia, akan dikuasai secara total, setelah Uni Soviet dihancurkan.

Sembilan, Pembentukan Negara Federal. Tujuannya adalah melemahkan Indonesia
sebagai
negara belasan ribu pulau dan suku bangsa yang sangat banyak.
Mentimurtengahkan Indonesia,
meminjam istilah Bilveer Singh dari National University, Singapura.
Pengalaman di Amerika Latin,
ketika Mexico dipisahkan agar tidak bersatu dengan Brazilia dan
terus-menerus diadudomba oleh
AS, kedua negara itu menjadi lemah dan mudah dijajah. Inilah strategi
imperialisme AS di
Indonesia. Strategi tersebut memustahilkan reformasi yang digulirkan akan
mencapai tujuannya,
yaitu kesejahteraan, ketenteraman, dan kemakmuran rakyat. Malah sebaliknya,
itu akan
mengantarkan AS untuk tetap mendominasi Indonesia, hingga suatu saat dimana
rakyat Indonesia
sadar akan tipu muslihat dan strategi imperialisme AS yang sangat keji itu.

Khatimah

Kini jelaslah bahwa pemilu dengan berbagai problematika yang masih meliputi
rakyat Indonesia
adalah hasil intervensi AS atas nama "demokratisasi" guna mempertahankan
kepentingannya di
negeri ini.

Jika tidak memahami strategi AS itu, kaum muslimin yang menjadi mayoritas
penduduk negeri ini
bakal jadi bulan-bulanan. Juga, jika kaum muslimin tak mengambil langkah
strategis untuk
menghadapinya, kaum muslimin hanya akan menjadi makanan empuk para
imperialis
internasional itu.

Oleh karena itu, sudah saatnya kaum muslimin menyadari hal ini dan berjuang
keras untuk
membebaskan diri dari segala pengaruh dan jeratan strategi AS maupun
negara-negara
imperialis Barat lainnya, serta bersatu padu dalam satu institusi
internasional, yakni Khilafah
Islamiyyah, yang mampu menghadapi hegemoni AS dan Barat.

Kirim email ke