Selamat pagi. Saya mengucapkan selamat pagi karena tak peduli apakah sekarang malam di Jakarta atau di Berlin atau di Tokyo atau di Timbuktu; tapi ucapan selamat pagi itu adalah untuk menyongsong merekahnya fajar baru di bumi Indonesia yang harusnya dipenuhi aroma reformasi. Sampai sekarang kita selalu mendengar tentang keributan antar partai dan sayangnya juga antar ras, agama, golongan, dan suku. Walau suasana SARA ini terus terasa (akibat hangover dari malam), tapi setidaknya kita merasa bahwa angin reformasi memang bertiup. DI masa awal reformasi ini, orang-orang bisa mengeluarkan ide dan kritik kepada pemerintah melalui internet dan media massa. Kapan sebelum kejatuhan ex-prez Suharto seseorang bisa mengeritik dengan santai pejabat tinggi pemerintah seperti Ghalib tanpa ancaman bui? Kalau sekarang saya membaca surat kabar, terus terang yang saya lihat adalah justru presiden kita sendiri yang merupakan pendukung reformasi terbesar. Kapan presiden kita sebelum yang sekarang berkata di muka umum bahwa 'orang-orang bilang muka (Prez. Habibie) seperti monyet?' Tapi yang sangat disayangkan dari alam baru ini adalah kebebasan berbicara yang tidak terarah. Sampai sekarang yang selalu kita dengar dari surat kabar, milis, etc adalah tentang keributan antar partai, satu partai menjelek-jelekkan partai lain, atau orang lain. Yang terburuk adalah perdebatan yang didasarkan suku, ras dan golongan. Sama sekali tidak terdengar suara 'apa yang akan kita lakukan BERSAMA setelah pemilu?' Jika para partai mencoba melihat kesamping dari arah gumpalan debu percekcokan antar partai, kita melihat bahwa keadaan Indonesia sungguh menyedihkan. Kelaparan dan pengangguran di banyak tempat dan angin separatisme berhembus di 4 propinsi atau mungkin bisa lebih. Apakah semua partai mau melakukan hal yang sama, yakni 'fiddle' selagi seluruh negara terbakar? Sampai sekarang semua partai yang saya lihat lebih memfokuskan untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dengan cara menjelek-jelekkan partai lain atau menggunakan kartu SARA. Jarang sekali terdengar suara yang menginginkan terbentuk pemerintahan koalisi atau tunggal yang bertanggung jawab. Tak terdengar usaha untuk mengembalikan Indonesia ke posisi 'Asian Miracle.' Tak terdengar suara untuk rekonsiliasi antar SARA. Atau apakah usaha ini dibatalkan karena pembangunan dan SARA dianggap produk orde baru? Era reformasi memang baru merekah, tapi apakah kita sudah mau mengotorkan fajar dengan polusi keributan SARA dan partai? Lebih banyak pertanyaan penting yang perlu dijawab. Misalnya hasil study di 'BusinessWeek' menunjukkan bahwa Indonesia di posisi nomor 2 dalam hal negara terkorup di dunia. So what? Data menunjukkan bahwa Thailand dan Korea sudah hampir kembali ke posisi sebelum Asian Crisis. So what? Data menunjukkan bahwa China daratan mencoba mereformasi diri dan meninggikan economic growth rate-nya untuk menghindari krisis politik. Dari sedikit contoh yang saya berikan, terlihat bahwa negara-negara lain lebih memfokuskan ke stabilitas politik untuk memajukan kesejahteraan masyarakat. Karena itu kita lebih perlu memfokuskan diri untuk memikirkan apa yang perlu dilakukan dalam era baru ini. Ini tantangan yang jauh lebih besar bagi para partai daripada menghitung suara hasil pemilu: yakni apakah yang perlu dilakukan nanti? Bagaimana menyusun pemerintahan yang bersih dan berwibawa? Bagaimana menjadi oposisi yang baik dan bertanggung jawab? Bagaimana preserve reformasi ini dan usaha apa yang perlu dilakukan untuk mengembalikan Indonesia ke kedudukan yang seharusnya di dunia. Yohanes Sulaiman We alone with no excuses. That is the idea... that man is condemned to be free. Condemned, because he did not create himself yet in other respects is free ... because he is responsible for everythng he does. The existentialist does not believe in the power of passion. He will never agree that a sweeping passion is a ravaging torrent which fatally leads a man to certain acts and is therefore an excuse. He thinks that man is responsible for his passion. "Existentialism" by Jean Paul Sarte