Ini ada tulisan bagus dari Pak Christianto Wibisono, termasuk kritik membangun buat PAN. Silakan simak.... E ------- SUARA PEMBARUAN DAILY 15/06/99 Analisis Christianto Wibisono dari AS PAN Dan Pemilihan Presiden 1999 WASHINGTON DC - Saya sudah menulis surat ucapan selamat kepada Megawati dan Kwik Kian Gie atas kemenangan PDI Perjuangan meraih suara terbanyak. Namun saya mengingatkan bahwa akibat sistem pengangkatan presiden yang masih belum 100 persen jurdil, maka belum tentu Megawati bisa jadi presiden. Saya menanyakan ke mana Megawati dan Gus Dur ketika Amien Rais memprotes UU Susunan MPR yang masih memberi porsi untuk pengangkatan. Anggota MPR yang diangkat oleh the incumbent president, pasti akan bisa menetralisasi bahkan menghalangi kehendak rakyat untuk memilih presidennya. Saya juga sudah menulis surat kepada Amien Rais, menghibur dan memperkuat batinnya serta mendorongnya untuk tegar menjadi ketua oposisi ketimbang berkolusi dengan kekuatan status quo. Saya tulis bahwa saya kecewa dengan pernyataan Amien yang diungkap di Republika tentang caleg non-Muslim, karena itu justru membahayakan eksistensi dan survivalnya PAN. Terbukti bahwa suara PAN malah kalah dari PPP. Saya rasa bukan soal figur ketua umumnya, tapi karena logo yang dipakai oleh PPP-lah yang mengalahkan figur Amien Rais. Jadi, dengan tendangan bola salju Islam dan non-Muslim oleh Hamzah Haz, negara didorong kembali ke perdebatan Konstituante. Saya ingin menegaskan di sini bahwa ketika saya masuk PAN, saya berharap bahwa masalah agama tidak dijadikan kriteria untuk memecah-belah dan menghantam lawan politik secara tidak etis. Jadi, kalau telah terjadi suatu gelombang emosi yang memaksa kita semua masuk perangkap, kita harus segera memberi alert dan menyatakan stop pada permainan isu agama. Saya ingin terjadi koalisi dan aliansi antara orang-orang yang berbeda suku, agama, ras, dan etnis, serta golongan yang bersaing dalam program dan kinerja. Bukan dalam sengketa primordial dan dangkal yang selama ini dijadikan dalih dan tumpuan untuk meledakkan insiden SARA secara tidak bertanggung jawab. Karena itu sejak awal ketika menerima ajakan untuk masuk dalam jajaran PAN, saya sudah berprinsip bahwa politik Indonesia di masa depan harus dibebaskan dari trauma konflik masa lalu yang primordial dan keliru. Kita harus menuju Indonesia baru yang tidak mempersoalkan asal- usul suku, agama, golongan, ras, dan etnis dalam memperhitungkan dan mengelola negara, menuju kepada kinerja optimal secara nasional. Kalau kalkulasi dan matematika politik masih mengandalkan ukuran SARA, maka kita tidak akan menuju ke mana-mana kecuali merobek, merogoh dan membuang jantung kita sendiri. Republik Indonesia didirikan dalam semangat nation state, bukan suatu tribal state atau religious state. Indonesia Timur tidak akan mau ikut suatu RI yang tidak menghormati agama mayoritas, demikian pula kantong-kantong minoritas di wilayah mayoritas. Demokrasi memang memberi hak mayoritas untuk berkuasa, tapi kekuasaan itu tidak boleh menjadikan minoritas kehilangan hak yang paling asasi dan harus dijamin secara mutlak dari risiko ditindas secara fasis oleh rezim otoriter. Saya kecewa berat dengan masih munculnya isu Islam vs non-Islam yang digulirkan menjelang pemilu. Tapi justru rakyat menjawab dengan telak bahwa mereka tetap menginginkan Megawati menang walaupun dicoba untuk disetop dengan isu agama. Saya menyayangkan dan saya turut merasa bersalah karena tidak mampu mencegah Amien Rais terjebak dalam isu agama tersebut. Tapi saya telah menulis surat kepada Amien untuk merelakan jabatan eksekutif dan memilih menjadi tokoh oposisi. Saya ingatkan bahwa Kim Dae Jung rela menunggu 14 tahun sebelum Roh Tae Woo dan Kim Young Sam menyerobot kursi kepresidenan. Pada waktu Chun Doo Hwan turun, karena kelompok reformis dua Kim berhantam, maka yang menang adalah Roh Tae Woo sedang dua Kim gigit jari. Setelah Roh Tae Woo turun, giliran Kim Young Sam, melakukan lompatan Machiavelis dengan menyeberang kepada the ruling party (mirip Golkar-nya Korea), sehingga Kim Dae Jung ketinggalan lagi. Baru pada 1997, Kim Dae Yung pada usia 70 tahun bisa meraih kursi presiden Korea, padahal dia sudah berjuang sejak Park Chung Hee berkuasa. Seandainya sekarang ini terjadi kolusi antara PAN dan Golkar untuk menyetop Megawati dan duetnya adalah Habibie-Amien, maka dalam Pemilu 2004 pasti Megawati akan muncul jika massa PDI-P, seperti kata Kwik Kian Gie, rela menunggu dan mematuhi hasil MPR yang tidak jurdil, karena masih dicemari pengangkatan. Pemilu 2004 menurut saya sudah harus dibebaskan dari sistem pengangkatan anggota MPR. Malah pemilihan presiden sudah harus dilakukan secara langsung tanpa melalui MPR lagi. Kita sudah ketinggalan dari Nigeria dan Aljazair yang merdeka 20 tahun setelah RI, tapi justru lebih dewasa dari RI dalam memilih presiden secara langsung. Jika Amien Rais bisa bersabar dan menjadi ketua oposisi, maka PAN akan menjadi watchdog dari suatu pemerintahan transisi yang harus diwaspadai untuk tidak menjadi rezim otoriter baru. Situasi dan kondisi ekonomi akan memerlukan reformasi total untuk bisa memperoleh kinerja yang optimal. Jika kabinet presiden baru Megawati, misalnya, tidak mampu melepaskan diri dari praktik Soehartoisme, maka dalam tempo 5 tahun, PAN akan berpeluang untuk menjadi pengimbang dan memperoleh mandat dari rakyat untuk mengambil alih manajemen negara ini. Sebaliknya, jika Kabinet Megawati dengan Kwik Kian Gie mampu memperbaiki negara ini, dan rakyat memberi peluang untuk terpilih lagi, maka itu pun hanya akan dibatasi dua termin sampai 2009. Yang menjadi persoalan pokok bagi elite politik kita adalah budaya untuk menerima dan mengakui kekalahan, tapi dengan catatan yang menang tidak boleh mem-bui-kan dan mencekal lawan politik seperti praktik rezim Soeharto 32 tahun dan juga rezim Bung Karno di akhir pemerintahan sejak 1960. Jadi, berdasarkan kalkulasi di atas, saya ingin menyampaikan pendapat final saya sebagai berikut: 1. Seandainya bisa tercapai koalisi PDI-P, PKB, PAN, maka komposisi pucuk pimpinan supaya fair ialah Megawati karena suara terbanyak sebagai presiden, Gus Dur sebagai Ketua MPR dan Amien Rais bisa sebagai Ketua DPR atau Ketua BPK. 2. Seandainya Megawati menolak koalisi, maka PAN tidak perlu berkoalisi dengan Golkar dan menerima suatu tawaran duet Habibie-Amien. Jika Amien Rais hanya rela jadi Wapres, maka ini akan menghancurkan citra PAN di masa depan dan akan lebih mempersulit posisi PAN pada tahun 2004. Sebab pemilih PAN akan merasa dikhianati dan ditipu oleh Ketua Umum PAN. 3. Tapi tentu terjadi deadlock, apalagi bila PKB nanti malah berkoalisi dengan Golkar misalnya, karena Gus Dur juga sempat menyatakan hanya mau berkoalisi bila dia yang jadi Presiden dan Megawati Wakil Presiden atau Ketua MPR. Saya terus terang saja sulit "memberi judgement" kepada tiga pendekar Mega, Gus Dur, Amien karena pelbagai faktor kompleksitas personal mereka yang bersifat kompetisi pribadi. Namun kalau mau fair kepada rakyat, karena mereka sudah memberi suara terbanyak kepada Mega, ya secara sportif kedua pendekar harus merelakan Mega menjadi Presiden. Ini cara berpikir lugu, sportif dan gentleman. Tapi kalau tetap ingin Machiavelis dengan alasan "agama", gender dan lain-lain yang serba cengeng, maka saya sebetulnya menjadi tidak punya harapan lagi kepada elite politik Indonesia. Saya juga tetap menyesalkan kenapa Megawati dulu tidak ikut protes cara pemilihan presiden dan membiarkan Amien Rais bertarung sendirian. Kalau sekarang Megawati menang pemilu, tapi dikalahkan dalam pemilihan presiden, maka itu berarti elite kita akan mengalami "hukum karma" atas ulah yang diperbuat mereka sendiri. Semua tokoh yang mengaku reformis ternyata punya motivasi egois, selfish dan tidak mengacu kepada sistem, tapi mengandalkan karisma dan egoisme pribadi, manuver politik yang tidak transparan dan kongkalikong di belakang layar. Selaku anggota MPP PAN, saya telah menyuarakan pandangan saya secara terbuka, termasuk kritik internal. Jika karena analisis ada yang merasa tidak sreg, maka saya siap untuk menjadi anggota biasa, bahkan lengser dari partai dan menjadi pakar biasa kembali. Saya sudah capek berjuang untuk menegakkan budaya politik yang bermoral dan beretika. Kalau terus saja cara dan praktek Machiavelis dilestarikan, bahkan oleh mereka yang selama ini didewakan sebagai reformis, maka saya siap menyatakan "selamat tinggal partai politik". Saya akan menjadi pengamat independen yang tidak perlu terikat dengan "solidaritas partai" jika itu "mengkhianati hati nurani dan akal sehat". Saya mohon maaf bila ada hal hal yang tidak berkenan terungkap dalam tulisan ini. Saya terpanggil menyatakan ini untuk memulai budaya politik yang bermoral dan beretika, yang membedakan kita dari politisi rezim dan era Soehartois yang Machiavelistis dan berpola Ken Arok. *** _______________________________________________________________ Get Free Email and Do More On The Web. Visit http://www.msn.com ----------------------------------------------------------------------------- Kongres dan Seminar Nasional PERMIAS 1999 3-5 September 1999 Host candidate: PERMIAS Washington, DC -----------------------------------------------------------------------------