...

Yw: Soal kepongahan, kayaknya udah well said, jadi saya
    nggak mengomentari lagi.

>(4) Perlunya penambahan pasukan TNI untuk menghadapi bahaya Selatan.
>
>Setelah pasukan 'super putih' Australia mencoba meng-intrusi kedaulatan
>negara-negara berkulit coklat, sudah seharusnya RI merespon dengan dengan
>baik. Jumlah 250,000 pasukan di negara yg punya cakupan seluas AS ini jelas
>tidak cukup (luas daratan cuma 1.9 juta km2 dibanding 9.5 juta km2 di AS).
>Kemalangan RI yg berpulau-pulau tidak didukung oleh AL dan AU yg tangguh
>untuk meng-kover semua wilayah.

Yw: Kalo dibilang demikian, sih, tentara Asutrali, New Zilen, Inggris,
    dan seluruh negara kamenwelt yg pro mereka, digabung seluruhnya,
    juga nggak bisa mengkover wilayah seluas itu (silakan dijumlahkan
    seluruhnya). Duitnya juga tidak bisa mengkover operasi seluas itu
    (kalopun duitnya ada, rakyatnya nggak akan rela duitnya dipake
    buat operasi gituan). Kalo membinasakan mungkin bisa,... itu pun
    juga mirip bunuh diri (bagi para decision makers yg terlibat).

    Tantangan geografi Indonesia itu kan kita tahu bikin pusing tujuh
    keliling (dan bener-bener haus logistik)... Jadi ya, ini blessing in
    disguise juga in some sense. Boleh coba tinggal di NTT barang
    dua-tiga bulan kalo nggak percaya (atau Timika, wherever).

>Australia (baca SMH hari kemarin, hari ini masih bisa dibaca) merencanakan
>untuk menambah anggaran AB dari 1.8% GNP menjadi 2.8% GNP. Padahal GNP
>mereka mencapai $18,500. Coba dibandingkan dengan RI yg punya spending 1.2%
>GNP dengan GNP hanya $550. Dengan fakta ini, jelas kecanggihan teknologi
>harus ditutup oleh jumlah!

Yw: Biaya operasi mereka jauh lebih tinggi dari TNI. Biaya maintenance
    peralatan, juga jauh lebih tinggi. Sementara, kemampuan tempur
    teritorial, kalah jauh. Dan keberanimatiannya juga kalah jauh.

    Ini sudah menjadi rahasia umum. Contoh kecil saja: setelah ngirim
    4500 orang ke Timtim, HQ mereka kelimpungan mengkonsolidasi sisa
    pasukan. TNI menempatkan 26 ribu lebih di Timtim, kemaren itu,
    tapi mereka tenang-tenang aja. Padahal, TNI punya hot spots yg
bener-bener
    hot di banyak tempat (contohnya: Aceh, kurang hot apa; terus Jakarta,
    terus Ambon/Maluku, terus Irian,... dan secara nasional juga dimana-mana
    lebih memerlukan kesiagaan). Coba bayangin kalo Asutrali itu harus
    mengirim 26 ribu tentara ke Indonesia,... negaranya apa nggak
    kalang kabut... ;-) Dan kalo mereka nggak sanggup ngirim 26 ribu,
    terus mikir-mikir utk bisa mengkover Asia Tenggara... apa itu nggak
    jadi situasi blekok merindukan bul-bul? Padahal 26 ribu itu, jangankan
    dipake mengkover Asia Tenggara, mengkover Jabotabek saja di saat geger,
    kurang. Kan kita sama-sama tahu, buat mengamankan SU MPR sekarang ini
    yg dikerahkan jumlahnya 65 ribu lebih; dan itu pas-pasan saja.

>Persenjataan seperti assault riffle milik Indonesia terlalu tergantung
>kepada AS (yaitu M16).

Yw: Wah, jangan gitu, ah. Ini akurasinya diragukan. Senjata ringan
    itu di Indonesia bisa dibikin sendiri (lisensinya memang dari M16
    antara lain). Amunisinya, juga dibikin sendiri. Not the best in the
    world, lah kualitasnya, tapi cukupanlah. Memang bikinnya dikit-dikit
    (nggak punya duit kali, ya), tapi ya itu malah blessing in disguise
    lagi, lah. Lha wong bikinnya relatif dikit aja, rakyat sipil bisa
    (sering) ditembakin begitu... kalo bikin banyak, makin gawat dong.

>Tadi malam saya membuka homepage Kalashnikov,
>ternyata senapan AK sebagian besar komponen tidak dipatentkan sampai hari
>ini. Tak kurang dari 15 negara telah mencontek dan memodifikasi senapan AK
>dari berbagai seri. Seperti India mencontek habis seri AKM. AS memproduksi
>dua seri AK di Tucson untuk tujuan ekspor. China membuat 4 seri dengan
>tujuan ekspor. Demikian juga dengan Yugo, Italia, Netherland, Bulgaria, dll.
>Mengapa Indonesia tidak mampu memodifikasi dan membuat sendiri senapan tipe
>AK ini dalam jumlah besar? Mengapa pula mesti tergantung kepada AS dengan
>membeli senapan M16. Mana senapannya 'kualitas ekspor' lagi. Yang kualitas
>untuk pasukan mereka sendiri kelasnya masih di bawah AK-47 atau AK-74,
>AK-105, dlsb? Bahkan AS-pun mengakui keunggulan senapan AK ini.

Yw: Wah unggul itu situasional, Mas. Emang sih, AK itu lebih dahsyat...
    Tapi kalo anda infanteryman, tiap bulan long march jalan 40-50 km
    naik turun gunung (entah itu latihan atau operasi), anda akan lebih
    mengharapkan memanggul sehelai bulu dari pada AK47 di pundak anda.
    Kalo anda sedang terbirit-birit diuber orang, anda akan jauh
    lebih cepat ngos-ngosan kalo sambil nenteng AK.

    Kalo lagi duel, nah ini lain lagi... Tapi situasi duel itu lebih
    jarang drpd yg hilir mudik ke sana kemari itu. Anda kan tahu
    sendiri, pada dasarnya 90% waktu TNI itu dipake utk hilir mudik.

    Lagi pula, fatalitas AK (yg kalibernya lebih gede) lebih tinggi
    dari SS (senapan serbu, M16 versi Pindad) standarnya TNI. Lha, kalo
    dipake utk nembakin rakyat (seringnya kan buat itu, iya nggak),
    menurut saya udah bener dipilih yg potensi fatalitasnya lebih kecil.

>Saat ini senapan M16 hanya menjadi perlengkapan beberapa pasukan. Mestinya
>RI membuat senapan yg tangguh sebagai standar. Bukan senapan koclok
>peninggapan PD-II.

Yw: Ha, ha,... senapan koclok itu justru favoritnya para sersan
    pelatih (di pusdik-pusdik TNI). Coba deh, lari-lari 10 keliling
    track manggul gituan... seger banget. Fungsi utamanya memang utk
    latihan beban (atau gaya-gayaan), nggak lebih dari itu (kayaknya).

>Sebagai info, Turki mempunyai senapan standar G3
>berjangkauan 2000m! (senapan AK bervariasi antara 500m sampai 1500m,
>tergantung dari seri/kegunaannya). Senapan ini buatan mereka sendiri.....;)

Yw: Kalo pake itu, bisa-bisa korban semanggi makin banyak
    (dan ditembak dari kejauhan pula, makin susah diusutnya).
    Repot lagi...

>Salam,
>Jeffrey Anjasmara.

Kirim email ke