Republika Online edisi:
29 Oct 1999

JAKARTA -- Pembubaran Deppen dan Depsos berbuntut panjang. Kemarin ribuan
karyawan dua departemen itu datang mendemo Istana Negara menuntut
pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) atas keputusannya
membubarkan kedua departemen tersebut.

Gus Dur kemudian bersedia menemui 10 orang yang mewakili pendemo dari
Deppen. Dalam rombongan itu terdapat (mantan) Dirjen Penerangan Umum (Penum)
Soedaryanto dan (mantan) Sekjen Deppen IGK Manila yang sekaligus memimpin
delegasi itu. Beberapa saat kemudian muncullah mantan Menpen Yunus Yosfiah.

Pembicaraan berjalan lancar pada awalnya. Kemudian perbincangan Presiden
dengan mantan tokoh Deppen memanas saat Yunus menyatakan bahwa dia tidak
mengerti bagaimana sampai Gus Dur mengambil keputusan pembubaran itu. Ia
bahkan menilai Gus Dur kurang arif karena di saat krisis justru menghapus
departemen yang karyawannya berjumlah 50.875. ''BP7 yang dibubarkan beberapa
waktu lalu sampai kini masalah karyawannya belum terselesaikan,'' katanya.

''Kami khawatir staf Bapak yang mengelola ini --mungkin di atas-- tetapi
tidak langsung turun ke bawah mengecek seperti apa sebenarnya kondisinya,
Pak. Maaf ini ...'' kata Yunus dengan intonasi suara yang sedikit keras.

Yunus yang pernah melontarkan gagasan pembubaran Deppen itu mengaku datang
ke Wisma Negara --tempat pertemuan itu-- atas inisiatif sendiri tanpa ada
yang mengundangnya. Apalagi keluarganya berkali-kali mendapat telepon gelap
karena penghapusan Deppen dikira gara-gara kebijakannya sewaktu menjadi
Menpen. Padahal, menurut dia, sampai saat ini tidak pernah ada konsep,
program, atau rencana untuk membubarkan Deppen secara bertahap, seperti
terjadi di Depsos.

Gus Dur kemudian menyatakan simpatinya atas nasib Yunus. Tapi entah kenapa
Gus Dur sempat menyebut Yunus sebagai Menpen. Saat itu pula Yunus memotong
pembicaraan Presiden dengan mengatakan sejak Presiden dilantik dia tak
pernah lagi datang ke Deppen untuk menjaga jangan sampai ada orang lain
mengutak-atik departemen itu. ''Jangan sampai kedatangan kami juga dianggap
menuntut-nuntut jabatan. Maaf, tidak, Pak.''

Jawaban itu agaknya membuat Gus Dur terpancing emosinya. Keputusan itu,
katanya, sesuai prinsipnya sejak dulu yakni pemerintah sebaiknya tidak
terlalu banyak campur tangan urusan masyarakat. Rakyat, menurutnya, sudah
terlalu lama menderita di tangan pemerintah, sehingga ia mencoba
memperbaikinya dari sedikit termasuk penataan, efisiensi, dan penghapusan
Deppen.

''Tidak ada urusannya dengan penasihat. Memangnya saya orang bodo. Saya
bikin kabinet sendiri kok, berlima Bu Mega, Pak Amien, Pak Akbar Tanjung,
dan Pak Wiranto,'' ujar Gus Dur. Ia membantah bahwa penghapusan Deppen itu
merupakan usulan dari penesihat-penasihatnya. ''Penghapusan Deppen pada
prinsipnya agar pemerintah tak terlalu banyak turut campur urusan
masyarakat,'' katanya.

Pekerjaan penerangan, tambahnya, dapat dilakukan masyarakat sendiri. Kendati
pemerintah ikut membantu, tapi bantuan itu tidak harus dalam bentuk
departemen. Karena, departemen terlalu besar hanya untuk urusan demikian.
''Masa urusan menerangkan kepada masyarakat saja harus ada departemen. Kalau
begitu nanti ada departemen macam-macam dong,'' ujar Kepala Negara.

Gus Dur juga mengungkapkan kekecewaannya, karena selama ini Deppen lebih
mirip pasar, tempat dilakukan tawar-menawar. Karena, ada departemen di mana
ada pedagang menunggu di bawah sementara pejabat enak-enakan dengan 'wanita'
yang dibawa sang pedagang. ''Apaan ini, departemen kok begini. Malu saya
sebagai warga negara melihat departemen dijadikan begitu. Negara ini
diinjak-injak orang,'' papar Gus Dur.

Ketika Gus Dur akan menyudahi acara, Yunus justru kembali angkat bicara
dengan menyatakan tindakan Presiden amat mengecewakannya, karena Gus Dur
yang semula dianggap pemimpin umat dan kini pemimpin negara yang diharapkan
dapat membantu kesulitan rakyat justru menimbulkan kesulitan baru dengan
langkah mendadaknya. ''Seyogianya pemerintah memiliki sense of crisis,
seperti Depsos,'' kata Yunus.

Mendapat kecaman pedas itu Gus Dur ganti angkat bicara. ''Satu hal, kalau
Bapak katakan kecewa, yang paling kecewa itu rakyat. Yang tahu rakyat itu
saya, bukan Bapak, karena yang menang [pemilu] saya kok. Masyarakat sudah
lama jengkel dengan pemerintah, tahu? Bapak enak, jadi Letjen, jadi menteri,
tidak merasakan yang di bawah kayak apa,'' kata Gus Dur dengan nada
membentak.

Menurut Gus Dur, sudah waktunya efisiensi dilakukan, kendati diakui memakan
korban. Ia berjanji tidak akan menelantarkan nasib karyawan Deppen. ''Tetapi
untuk menghidupkan kembali Deppen, maaf saya tidak bisa. Ketuk hati,
dibilang arif atau tidak arif, itu urusan Bapak, bukan urusan saya. Urusan
saya adalah keyakinan yang tumbuh perlahan-lahan selama 30 tahun saya
memperhatikan negara ini,'' tegas Gus Dur.

Poster Protes

Aroma demo karyawan Deppen sudah tercium ketika dilakukan upacara Sumpah
Pemuda. Saat itu, para peserta upacara tak begitu konsentrasi. Dan begitu
upacara selesai, aneka poster mulai digelar. Beberapa karyawan tampak
berkaca-kaca, bahkan ada yang menangis.

IGK Manila yang menjadi inspektur upacara langsung menjadi tumpahan
kesedihan pada karyawan. Dengan sabar dia meladeni keluhan dan isakan
karyawan yang merasa tidak tahu harus ke mana setelah departemennya
dibubarkan. Beberapa karyawan lain, ternyata sudah siap dengan poster-poster
dan langsung menggelarnya.

''Gus Dur, keputusanmu brilian tapi memilukan kami,'' bunyi sebuah poster.
''Wah, kami jadi korban rekonsiliasi,'' bunyi poster lain. ''Yunus, mana
tanggung jawabmu?''

''Tidak perlu begitu. Tanpa poster saya tahu apa keinginan kalian. Saya
memimpin kalian karena Menteri Penerangan sudah tidak ada,'' kata Manila
kalem. Ia mencoba menenangkan sekitar tujuh ribuan karyawan berseragam
kelabu itu dengan antara lain menyebut bahwa tidak mungkin ada pemecatan,
bahkan hak gaji sekaligus berbagai tunjangan tetap.

Tapi itu tidak terlalu dihiraukan pendemo. ''Ayo ... ayo ... kita tanya
langsung ke Gus Dur! Jalan, ayo jalan ...'' teriakan lewat pengeras suara.
Dalam sekejap mereka membanjir ke Jalan Merdeka Barat lalu berjalan ke
Istana Negara.

Demonstran pun kemudian mendaulat Manila untuk minta penjelasan Presiden.
Setelah bernegosiasi dengan Paspampres akhirnya Manila didampingi 10 pejabat
eselon I dan II di lingkungan Deppen diizinkan bertemu Presiden di Wisma
Negara.

Kepada mereka, Gus Dur menegaskan tetap pada pendiriannya dengan alasan
efisiensi. ''Supaya pemerintah tidak terlalu banyak campur tangan dalam
urusan masyarakat, maka baik Deppen maupun Depsos tidak akan dihidupkan
lagi,'' katanya.

Namun, kata Gus Dur, dengan tidak dicantumkannya Deppen dalam kabinetnya
bukan berarti kerja penerangan tidak ada lagi. Kerja penerangan akan tetap
ada. Hanya, setelah adanya otonomi daerah (OD) yang memberi kekuasaan lebih
banyak di daerah, merekalah yang akan menyerap tenaga kerja ini. ''Jadi
percayalah, saya tidak akan membiarkan Anda terkatung-katung terlalu lama,''
jelas Presiden.

Ketika menerima perwakilan Depsos siang harinya Presiden mengatakan tidak
tercantumnya Depsos dalam kabinet kali ini dilakukan dengan sengaja. ''Bukan
tak tahu risikonya. Justru karena tahu risikonya maka kita harus memperbaiki
keseimbangan pemerintah, supaya pemerintah bukan yang melakukan tetapi
sebagai fasilitator masyarakat. Kerja sosial harus dilakukan masyarakat,''
katanya.

Karyawan Depsos, kemarin, sekitar pukul 10.30 WIB memang bergabung dengan
karyawan Deppen yang berunjuk rasa di depan Istana Negara. Dengan tetap
mengenakan seragam batik Korpri, mereka datang menggunakan puluhan bus untuk
menuntut penjelasan dan pertanggungjawaban pemerintah sehubungan tidak
adanya Depsos dalam pemerintahan RI 1999-2004.

Sebuah kendaraan Unit Siaran RRI digunakan untuk orasi pengunjuk rasa dengan
pengeras suara di arahkan ke Istana. Dalam orasi tersebut karyawan RRI dan
TVRI mengatakan akan menghentikan siaran mereka jika Deppen tetap
dibubarkan.

Kirim email ke