Rekan-rekan yth, Saya ingin sharing informasi mengenai sesuatu yang riil terjadi ditengah-tengah kita, yang mungkin masih banyak diantara kita akan kesulitan untuk menentukan sikap. Silahkan dicermati. Salam, Budi >Date: Tue, 21 Dec 1999 09:54:19 +0700 >From: ypilmu <[EMAIL PROTECTED]> >Subject: [aids-ina] Kisah Meninggalnya Odha dari Karawang >ARTIKEL DI MAJALAH SUPPORT YPI, DESEMBER 1999 >Antara Dukungan dan Diskriminasi >Seputar Penyelenggaraan Jenazah >Orang dengan HIV/AIDS >Innalillaahi wa Innaa Ilaihi Rooji'uun. Di minggu pertama bulan puasa >ini, Mia (bukan nama sebenarnya) -Odha dari Karawang, Jawa Barat- >meninggal dunia di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Di saat >terakhirnya ia ditemani oleh ibu kandungnya dan dua orang relawan >Yayasan Pelita Ilmu. >Dua minggu sebelumnya, sebuah mobil datang ke Sanggar Kerja YPI dengan >membawa Mia yang sudah dalam kondisi lemah. Begitu dikeluarkan dari >mobil, Mia langsung rebah di lantai, tak sanggup berdiri. Maka, para >relawan langsung membawa Mia ke RS. Ternyata, seluruh tempat tidur di >Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo menurut pihak pengelola sudah >penuh untuk merawat Odha (orang dengan HIV/AIDS) lainnya. Padahal, >kondisi keuangan Mia sebenarnya hanya mampu untuk membayar perawatan di >RSCM. Mia akhirnya dirawat saat itu juga di rumah sakit swasta. Berbagai >uang pinjaman darurat dicarikan para relawan untuk biaya perawatan Mia. >Suami Mia adalah seorang sopir yang pada saat itu sedang bekerja di >negara tetangga dengan penghasilan pas-pasan. Di rumah sakit Mia >ditemani oleh ibu kandungnya. Sesekali, anak perempuan Mia -sebut >namanya Pia- ikut menemani. Gadis cilik berusia 3,5 tahun itu juga >terinfeksi HIV. Para relawan saling bergantian menemani dan membantu >suster dalam merawat Mia. >Mendengar Mia meninggal sekitar pukul enam pagi, tim Sanggar Kerja YPI >segera bekerja. Karena sulit hubungan telepon, seorang relawan berangkat >ke Karawang untuk memberi kabar keluarga Mia. Relawan lainnya memesan >ambulans di RSCM dengan pertimbangan biayanya lebih murah. Ibu Upi >dikontak untuk segera siap memandikan jenazah Mia. Ibu Upi lantas ke >pasar membeli kain kafan, kapas, tikar, sarung tangan, dll. Ia mengajak >dua orang emak-emak tetangganya di daerah Kebon Baru (wilayah sekitar >Sanggar Kerja) untuk berangkat ke rumah sakit. > >MEMANDIKAN JENAZAH >Rumah sakit tersebut memang tidak siap untuk memandikan jenazah Odha. >Selain itu, sebenarnya juga tidak terdapat ruang pemandian jenazah. >Melalui negosiasi yang cukup sengit, pihak rumah sakit memperbolehkan >sebuah ruangan di bagian belakang rumah sakit untuk menjadi tempat >memandikan jenazah secara darurat. Alasan utama pihak rumah sakit >sebelumnya berkeberatan memandikan jenazah Mia adalah karena harus repot >membersihkan bekas-bekas pemandian. "Membersihkannya kan harus dengan >cara-cara sterilisasi khusus yang lumayan mahal," kata seorang pimpinan >perawat. >Pihak rumah sakit tampak sama sekali tak mau terlibat dalam proses >pemandian jenazah ini. Untuk memindahkan jenazah Odha dari kamar pasien >pun tak ada suster yang mau membantu. Bahkan rumah sakit tak mau >meminjamkan alat (tempat tidur tandu) untuk mengangkat jenazah. "Gunakan >saja alat dari ambulans RSCM", ujar para perawat. Tak mau mengulur-ulur >waktu, para relawan mengeluarkan tandu dari ambulans RSCM ke kamar >perawatan Mia di ruang isolasi. Jenazah Mia digotong dari tempat tidur >ke tandu. Lantas, beramai-ramai tandu yang tidak beroda itu digotong >para relawan ke tempat pemandian darurat. Ibunda Mia menangis histeris >melihat pemandangan itu. >Di depan kamar pemandian darurat, Ibu Upi dan dua emak-emak duduk di >atas tikar sambil menjahit kain kafan. Setelah siap, mereka masuk ke >kamar dan segera memandikan jenazah Mia. Sebelum ini, Ibu Upi dan >kawan-kawan pernah satu kali memandikan jenazah Odha lainnya. Meskipun >tugas utamanya sebagai juru masak di Sanggar Kerja, Ibu Upi memang >mempunyai hubungan sosial yang amat akrab dengan banyak Odha di Sanggar >Kerja. Semangat empatinya amat tinggi, bahkan ketika jenazah Mia >sebelumnya dilarang dimandikan di rumah sakit tersebut, Ibu Upi dengan >mantap berkata, "Yah sudah…., kalau tidak boleh disini, mandikan di >rumah saya saja, enggak apa-apa kok…". Para relawan sempat merinding >mendengar penuturan tulus Ibu Upi. > >BERANGKAT KE DESA >Selesai dimandikan, para relawan kembali menggotong jenazah Mia ke atas >lembaran kain kafan di lantai. Anak perempuan Mia, si Pia, diajak >bermain oleh para relawan agar tak melihat pemandangan tersebut. >Setelah dibungkus rapi, jenazah digotong ke dalam ambulans. Ibunda Mia >duduk di depan. Perjalanan ke desa tempat tinggal Mia cukup jauh, perlu >waktu sekitar 2,5 jam. Karena tanpa kurung batang, jenazah Ami beberapa >kali bergeser. "Wah, kami harus terus memeganginya loh," ujar dua orang >relawan yang duduk di belakang menjaga jenazah. Sebuah mobil lain ikut >mengiringi jenazah yang berisi para relawan. Ikut serta si cilik Pia. >Pia yang tak mengerti apa yang sedang terjadi asyik bercanda ria dengan >para relawan di sepanjang perjalanan. >Tiba di desa Mia sekitar pukul 12.00 WIB, para tetangga sudah banyak >yang berkumpul. Namun kebanyakan diantara mereka tidak masuk ke dalam >rumah Mia. Mereka hanya berdiri dan duduk-duduk dari kejauhan. Ketika >jenazah dikeluarkan dari ambulans, ternyata tak ada tetangga yang >membantu menggotong. Jenazah akhirnya digotong oleh para relawan Pos >Desa YPI. Ibunda Mia kembali menangis histeris. >Jenazah Mia dibaringkan di ruang tengah rumah. Dua orang tokoh agama >setempat memimpin shalat zuhur berjamaah dan shalat jenazah. Tak banyak >warga setempat yang ikut shalat. Jenazah kemudian digotong beramai-ramai >-tanpa keranda- menuju pekuburan, sekitar 200 meter jaraknya. Di sekitar >liang kubur, cukup banyak warga yang telah hadir. Kuburan itu merupakan >tempat pemakaman keluarga. Ketika jenazah Mia mulai dikuburkan, beberapa >warga tampak melemparkan gumpalan-gumpalan tanah ke liang kubur. "Untuk >buang sial", ujar seorang diantara mereka. Para tetangga memang >mengetahui Mia telah terinfeksi HIV sejak lima tahun lalu dan mengetahui >pula Mia pernah bekerja di Riau selama dua tahun sebagai pekerja seks. >Sikap mereka pada awalnya sangat negatif terhadap Mia. Mengetahui Mia >tengah mengandung, para tetangga melarang Mia melahirkan bayi di desa >mereka karena dikhawatirkan bayi HIV+ akan membawa aib. Maka, dibantu >para relawan Mia akhirnya melahirkan bayinya di RSCM Jakarta. Para >relawan dari Jakarta turut mengantarkan Mia pulang ke desanya untuk >menunjukkan kepada para tetangga bahwa bayi Mia nampak wajar dan tidak >menularkan virus dengan kontak sosial biasa (menggendong, mencium pipi, >dll). Untuk memperkuat kegiatan penyuluhan HIV/AIDS dan dukungan Odha di >desa tersebut, sejak tahun 1996 difungsikan Pos Desa YPI. Mendengar dan >melihat penyuluhan para relawan Pos Desa, para tetangga perlahan-lahan >mulai bisa menerima kehadiran Mia dan bayinya. Pada setiap ulangtahun si >cilik Pia, para anak tetangga datang ke rumah Mia untuk merayakan pesta >ulangtahun. >Namun ternyata mitos buruk terhadap Odha masih tetap begitu kuat melekat >pada masyarakat. Masih ada saja masyarakat yang bersikap negatif >terhadap Odha. Jangankan di desa, di kota-kota besar sekalipun yang >sarat dengan informasi masih banyak yang bersikap negatif. Bahkan >termasuk para petugas kesehatan. >Bapak tokoh agama membacakan doa jenazah di atas gundukan tanah kuburan >Mia. Yang lainnya mengamini. Digendong para relawan, si cilik Pia >menatap prosesi penguburan dengan pandangan sayu. Ia tak mengerti apa >yang tengah terjadi. Pia lalu asyik bermain-main dengan teman-temannya >di dekat nisan ibunya. Semoga perjalanan hidupnya terus dipenuhi dengan >keceriaan. Dan teman-temannya serta para warga masyarakat tetap setia >mengajaknya bermain-main, walau terdapat HIV di tubuhnya. >Pukul 14.00 WIB, para relawan kembali ke Jakarta dengan dibekali >beberapa buah kelapa muda oleh orang tua Mia. "Untuk berbuka puasa di >rumah," kata bapak dan ibu Mia. Si Pia turut melambaikan tangan >mungilnya. Di dalam mobil para relawan bisa sedikit agak lega. Namun, >urusan seputar Mia belum selesai. Biaya perawatan Mia selama di rumah >sakit masih pinjaman. Keluarga Mia tak mampu melunasinya. Para relawan >kini tengah mencari pelunasan biaya pinjaman tersebut. Termasuk juga >memikirkan biaya hidup si cilik Pia. Adakah diantara pembaca yang ingin >ikut turut meringankan biaya tersebut? Silakan kirimkan bantuan Anda >melalui rekening obat YPI di BBD Cabang Tebet nomor rekening: >118010.11285, atau langsung menghubungi Sanggar Kerja YPI, telepon: >837-95480 (Husein Habsyi)