On 4/10/00, Jeffrey Anjasmara wrote:

| Yang di bawah ini, bagaimana kalau anda sediakan tiketnya?

It would be a waste of $


| Buat yg memandang istilah Mahaguru Gs Durno adalah jorok (terutama
| buat Budi), silakan baca lagi kisah Mahabarata. Tidak ada yg jorok
| karena setiap tokoh mempunyai dua sisi tak terkecuali Mahaguru Durno.
| Untuk saat ini perilaku Gus Dur yg disanjung-sanjung walaupun sering
| terpeleset mirip sanjungan Kurawa dan Pandawa kepada sang mahaguru.
| Kalau anda belum sampai ke pemikiran ini, shut up lalu baca. Saya nggak
| pintar, tetapi tidak perlu kepintaran untuk membaca saja sih....:)
|
| Semua analogi saya dari dulu bukan sekedar serapah. Saya lihat
| Moko rajin mencatat setiap istilah yg saya buat. Tampilkan di
| sini nanti saya sampaikan reasoningnya. Itu kalau anda nggak malu kok
| nggak tahu 'opo wijine'.

Jaya, Jaya, Jaya ... atau Anjasmara ... mau sembunyi kemana lagi? Lha
sekarang kok malah mencoba "berlindung" dibalik cerita wayang. Kalau
mau "insult the intelligence" dari sidang pembaca Permias Net ini
mbok ya kira-kira. Apa dianggap anggota list ini nggak bisa baca
konteksnya, atau seakan semua orang itu "buta wayang" sama sekali (on
the contary, a number of people I know are very articulate in the
subject of wayang and javanese lores). Bisa saja dibuat seribu
"penjelasan" sesudah peristiwa terjadi, untuk mengurangi kadar
joroknya, tetapi konteks dimana kata-kata tersebut dipakai tokh tidak
bisa menipu. Apakah labeling komunis, atheis itu memang rutin dipakai
dalam dunia pewayangan? Demikian juga, apakah ada orang --dengan
intelegensia normal-normal saja-- bisa salah mengerti kalimat dibawah
ini sebagai "sanjungan" kepada Gus Dur

        "Wahai  mahaguru Dur-jana, siapakah engkau? Ulamakah?
         Ataukah seorang komunis tulen berbulu Islam?" (Anjasmara/Jaya)

Dalam paribasan Jawa kuno --yang sudah jarang terdengar dalam
pegelaran wayang jaman sekarang-- pembelaan yang Anda lakukan ini
disebut "ambalithuk kukum" - artinya melanggar hukum/peraturan dengan
belagak pilon, pura-pura bego tidak tahu aturan, atau tidak tahu malu.

Semakin saya renungkan, mungkin ada benarnya juga kalau ada yang
mengusulkan bantuan seorang professional. Bukan tidak mungkin ini
memang problem Multiple Personality Disorder (MPD) --sekarang sudah
diganti nama dengan Dissociative Identity Disorder (DID*)-- dimana
dominant personality yang muncul adalah Anjasmara. So please, Mr.
Anjasmara, would you call out Mr Brawijaya, or tell him this message?
He may be the only hope to get out from this mess.

[* yang tertarik pada masalah DID, Anda bisa mencari informasi yang
lebih komprehensip di Sidran Foundation (www.sidran.org) atau
International Society for the Study of Dissociation: (www.issd.org) ]

Tulisan saya ini merupakan yang terakhir dalam thread ini (I have
much better things to do). Seandainya yang telah saya tulis ada
gunanya, jadi semacam obat [walau kadang terasa pahit] saya akan
sangat senang - send me feedback, japri saja. Kalaupun tidak, well
... some cases are just incurable -- as my doctor always says. Kalau
ada yang merasa tersinggung ... maapin deh, tetapi ini bukan apologi
dalam artian, apa yang saya tulis adalah sesuatu yang sudah saya
pertimbangkan masak-masak. Sesuatu yang perlu --dan akan saya ulangi
lagi dalam situasi yang sama-- untuk diungkapkan; so that we may all,
as a community, learn from it.

Akhirnya saya akan tutup dengan pitutur Jawa kuno, tetapi masih
sangat relevan dengan tatacara ber-mailing-list-ria di jaman
cyberspace ini: "ajining salira saka wicara." Ujar-ujar supaya
manusia itu hati-hati, penuh pertimbangan dalam menggunakan mulut
(kata-kata) nya. Ini begitu penting terutama buat mereka yang sering
omong atau nulis di net, supaya tidak mengalami nasib seperti
"dhalang kambrukan panggung" - yang mengibaratkan orang yang
mengalami kesulitan atau kesengsaraan sebagai akibat dari kata-kata
yang diucapkannya.

'nuf said,
tanceb kayon.

Moko/


    Nawung krida, kang menangi jaman gemblung, iya jaman edan,
    ewuh aya kang pambudi, yen meluwa  edan yekti nora tahan.
    Yen tan melu, anglakoni wus tartamtu, boya keduman,
    melik kaling donya iki, satemahe kaliren wekasane.
                                                                  -- R. Ng. 
Ranggawarsita

  [ Terjemahan bebas (kalau ada yang lebih baik, please...):

    Untuk dibuktikan, yang mengalami jaman gila, jaman edan,
    sulit untuk mengambil sikap, apabila ikut edan tidak tahan.
    Apabila tidak ikut menjalani, sudah pasti tidak kebagian,
    memiliki harta dunia, sehingga pada akhirnya kelaparan. ]

Kirim email ke