Dalam artikel di bawah ini, kontroversi Supersemar coba dikupas Notrida.
Sejarah memang harus dibuka apa adanya, dan bukan dimitoskan.
Ikranagara mungkin punya catatan lain, soalnya sempat jadi aktivis juga dulu
kan. Ada yang bisa dibagi kah di milis ini atau artikel, bung Ikra?

tabik,
rp
##

Jumat, 09/03/2001

http://www.jawapos.co.id/cetak/detail.php?u_cat=6114

Soeharto dan Legenda Supersemar 1966

Oleh Notrida Mandica



Pada 11 Maret ini, Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) berusia 35
tahun. Dan, tahun ini merupakan tahun keempat tanpa peringatan surat sakti
yang tetap misterius keberadaannya itu.
Sampai kini masih menjadi teka-teki besar bagaimana isi sesungguhnya surat
itu. Juga, siapa sesungguhnya pemegangnya selama ini. Bahkan, teka-teki
besar itu juga menyangkut bagaimana proses sesungguhnya lahirnya surat
tersebut.
Beberapa tahun lalu, misalnya, Jenderal (pur) A. Yusuf sampai menitikkan air
mata karena "fitnah" yang ditujukan kepada dirinya yang dianggap sebagai
pemegang surat wasiat itu. Selama 32 tahun, para sejarawan berdebat tentang
surat tak ternilai itu yang menghilang tanpa jejak. Ada keraguan
menggelayut: Apakah surat itu betul-betul pernah hadir di negeri ini?

Meragukan Pemegang Surat Wasiat
Letnan Jenderal Soeharto (waktu itu) mendeklarasikan dirinya sebagai
pemegang surat wasiat dari Presiden Soekarno. Surat yang memberinya titah
untuk menjalankan kekuasaan seluas-luasnya.
Tetapi, jika mencermati perilaku politik mantan Presiden Soekarno yang
nasionalistik dan patriotik, sangat diragukan bahwa beliau mempercayakan
surat kekuasaan menjalankan pemerintahan kepada Soeharto. Alasan-alasannya,
antara lain, pertama, Soeharto adalah prajurit terlatih di bawah komando
pasukan penjajah Belanda KNIL, The Royal Netherlands Indies’ Army (Benedict
Anderson 1982).
Kedua, setelah Belanda meninggalkan Indonesia, Soeharto tercatat sebagai
anggota pasukan militer Jepang. Seandainya Indonesia tidak merdeka pada
1945, Soeharto mungkin akan berpangkat kapten atau lebih rendah di bawah
pemerintahan kolonial Jepang.
Dalam masa karier keprajuritan dan militernya, Soeharto tidak memiliki
record yang menunjukkan bahwa beliau pernah terlibat dalam aksi-aksi
perjuangan kemerdekaan nasional dan pembebasan Indonesia dari cengkeraman
penjajah. Malah sebaliknya, Soeharto bekerja untuk para penjajah dalam
menekan bangsa sendiri.
Menilik latar belakangnya, maka sangat sulit membayangkan bahwa Soekarno
akan mempercayakan pemerintahan Indonesia kepada seorang yang tidak
mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Duplikasi Warisan Penjajah
Sebagai tentara karier pada dua masa penjajahan, Soeharto menerima respek
dari bawahannya. Bagaimanapun, dalam struktur karier seperti militer,
senioritas dan pengalaman menjadi acuan peringkat dan level kehormatan.
Maka, tak ayal lagi, ketika beliau mengambil alih kekuasaan, kebanyakan
anggota militer yang mengetahui sejarah yang sebenarnya memilih bungkam.
Bungkamnya para tentara tidak menolong sejarawan dan para aktivis sipil yang
hendak menggali kebenaran Supersemar 1966. Malahan Supersemar 1966 makin
kuat melegitimasi kekuasaan yang tak terbatas dan melindungi Presiden
Soeharto selama tiga puluh dua tahun masa kekuasaannya.
Sebagai seorang yang mendapatkan keahlian dari penjajah Belanda, dalam 32
tahun masa kepemimpinannya, Presiden Soeharto menerapkan sistem kekuasaan
birokrasi-politik militer model penjajah Belanda. Dalam sistem tersebut,
militer dikukuhkan sebagai institusi yang melindungi kepentingan birokrasi
pemerintah dan negara. Meski demikian, proses pengambilan keputusan tetap
menggunakan sistem konsultasi dan konsensus. (Anderson 1982. Sementara King
1982 menyebutnya Birokratik Autoritarianisme).
Militer akhirnya menjadi partner tepercaya bagi Presiden Soeharto dalam masa
kekuasaannya. Karakteristik partnership ini, antara lain; 1) Sistem militer
diduplikasikan dalam struktur birokrasi sipil. 2) Partai-partai politik
dijadikan simbol dinamika politik, tetapi partai-partai tersebut tidak
memiliki kekuasaan dalam proses pengaturan negara dan sistem birokrasi
pemerintahan. 3) Objektif profesionalisme tentara digantikan dengan
orientasi birokrasi, kekuasaan sipil, dan ekonomi. 4) Seperti KNIL pada masa
Belanda, Tentara Indonesia di bawah Presiden Soeharto kemudian menjadi
sangat korup dan tak memiliki solidaritas nasionalisme kerakyatan.

Supersemar 1966; Fiktif?
Ada keraguan tentang kebenaran Supersemar 1966. Tampak beban psikologis yang
dahsyat jika menyimpulkan bahwa Supersemar sekadar fiktif yang dikreasi oleh
Presiden Soeharto dan para loyalis militer.
Jika tak ada klarifikasi tentang Supersemar 1966, 32 tahun sejarah Indonesia
tak ada bedanya sebagai legenda yang diceritakan berulang-ulang, menarik
untuk didengar, tetapi tak mengandung nilai dan fakta sejarah. Namun,
legenda ini dilembagakan eksistensinya dan dipaksakan kebenarannya.
Jika Supersemar hanyalah dokumen fiktif, Presiden Soeharto layak menerima
gelar sebagai penulis fiksi cerita bersambung terbaik di dunia. Bisa
dibayangkan, lebih dari 200 juta penduduk dibuai dengan sejarah yang
berputar balik. Sementara segelintir orang menikmati kebohongan-kebohongan
tersebut dengan limpahan kekayaan. Ironisnya, orang-orang yang mengetahui
memilih diam karena sang penulis fiksi, Presiden Soeharto dan para
asistennya, dapat dengan mudah menyusun cerita baru yang menempatkan
saksi-saksi sejarah sebagai orang-orang terpidana.
Adalah saatnya kita menjernihkan sejarah bangsa dan negara ini. Generasi
muda Indonesia perlu mengetahui kebenaran tapak-tapak kehadiran Supersemar
1966. Jika Supersemar 1966 hanyalah sebuah fiktif, generasi Indonesia harus
pula mengetahui. Tak ada yang patut disembunyikan. Mengungkapkan kebenaran
adalah satu-satunya jalan untuk yang mengakhiri seri kebohongan dan untaian
dosa.

* Notrida Mandica adalah mahasiswi program doktor ilmu politik di Northern
Illinois University, AS

_________________________________________________________________
Get your FREE download of MSN Explorer at http://explorer.msn.com

Kirim email ke