Ini ada artikel Christianto Wibisono, yang bisa jadi "tandingan" analisis
Kukuh yg saya posting sebelumnya.

salam,
rap
##
http://suarapembaruan.com/News/2001/03/20/Editor/ed03/ed03.html

Indonesia, Mitos, Retorika, dan Eksistensi

Christianto Wibisono

WashingTon DC

alam Seminar USINDO 13 Maret, Prof Donald Emmerson dari Stanford University
menyatakan, Indonesia harus melaksanakan reformasi, bila perlu simultan
dengan pergantian leadership. Tidak bisa diambil pendekatan alternatif,
sebab eksistensi Republik ini dalam ancaman disintegrasi. Prof Dr Sudjati
Djiwandono di depan masyarakat Indonesia di Washington DC, 14 Maret,
menyatakan kita tidak bisa memaksa rakyat bersatu at all cost, kalau memang
rakyat ingin menentukan nasib sendiri.

Bangsa dan negara Indonesia memang sedang menghadapi tantangan untuk
mengatasi penyakit harakiri yang menimpa sebagian elite dan sebagian massa.
Oknum elite rela dan tega memecah-belah bangsa dengan mengadu domba massa.
Sedang oknum massa karena memang menganggur dan tidak punya penghasilan,
rela jadi demonstran bayaran atau bahkan provokator yang sadis membunuhi
sesama rakyat entah dengan bom, teror, dan segala macam tindak kekerasan.

Kita sedang berada di persimpangan jalan untuk mewujudkan mitos Indonesia
sebagai satu nation state yang mampu menampung aspirasi majemuk. Atau, kita
sekadar terjebak dalam retorika pidato persatuan dan kesatuan yang
dijejalkan oleh Soeharto sambil menginjak dan menyiksa rakyat dari Aceh
sampai Irian. Eksistensi Republik ini tidak mungkin dipertahankan hanya
dengan retorika yang berlandaskan ambisi kekuasaan belaka.

Presiden George W Bush telah meminta Condoleeza Rice untuk melaporkan
perkembangan Aceh setiap saat ke Oval Office. Karena ExxonMobil sudah merasa
terancam langsung, AS memberi perhatian serius kepada Aceh. Masalah Aceh
dengan demikian sudah menjadi masalah internasional, karena sejak semula
Henri Dunant juga didorong Clinton untuk menjadi mediator antara GAM dan RI.

Tindak kekerasan antaretnis dan peranan militer yang terlalu besar dalam
melakukan pengamanan teritorial dengan mengorbankan rakyat sekarang ini
sudah menjadi menu dan komoditas internasional. Kecuali dalam hal pengamanan
bisa dipulihkan dalam waktu singkat seperti Cechnya oleh Rusia, opini publik
akan menyorot pemerintah yang melakukan perang terhadap rakyatnya sendiri.

Menurut perhitungan pakar, seandainya TNI terjebak untuk mulai operasi
militer di Aceh dan kemudian Irian untuk melakukan upaya at all cost
mempertahankan kesatuan dan persatuan RI, TNI tidak akan mampu menyelesaikan
dalam waktu singkat. Karena secara profesional dan fungsional, TNI sudah
merosot menjadi laskar sektarian yang dikomandoi oleh oknum-oknum vested
interest tanpa didukung oleh kapabilitas institusional dan instalasi yang
memadai.

Karena itu, jika elite Jakarta menderita megalomania, ingin mengerahkan
militer untuk menundukkan Aceh dan Irian, bila kedua wilayah itu menyatakan
merdeka dapat dipastikan bahwa Indonesia akan terjebak pada perang saudara
dan perang gerilya yang cukup lama dan berat. Harus diingat, perang yang
akan dihadapi bukan hanya perang fisik di medan pertempuran, tetapi perang
opini publik di medan percaturan diplomasi internasional.

Kita tahu, berapa pun batalyon yang diterjunkan di Timor Timur, karena tidak
ada legitimasi politik dan pengakuan internasional, maka kemenangan fisik
ABRI di Timtim bakal dikalahkan oleh diplomasi opini publik. Kita tidak akan
lupa bagaimana Dubes Nugroho Wisnumurti ditelan habis-habisan oleh Ramos
Horta di depan jutaan penonton CNN dalam debat yang memerosotkan citra
Indonesia.

Perang masa kini bukan sekadar dar der dor di hutan dengan batalyon dan
senjata. Perang zaman sekarang ialah kemampuan retorika diplomasi yang
canggih di koridor Capitol Hill, di layar CNN, ABC, CBS, NBC dan di markas
PBB serta markas organisasi internasional.

u


Saya heran bahwa elite Jakarta masih bermimpi tentang cara-cara bagaimana
menaklukkan dan menguasai Aceh dan Irian secara paksa. Padahal, mengurus
diri sendiri di Maluku dan Sampit saja tidak becus. Kalau memang ada oknum
yang memprovokasi kerusuhan, mengadu domba rakyat atas dasar SARA, kenapa
tidak ada yang menangkap oknum itu? Kenapa oknum provokator dibiarkan
membunuhi orang Ambon dan orang Madura atau Dayak? Kenapa seolah provokator
itu menjadi lebih kuasa daripada ABRI, TNI, Polri, dan pemerintah?

Kalau Pemerintah RI sudah kalah wibawa dari provokator, maka pemerintah
seperti itu tidak berhak mengklaim apalagi ingin menegakkan ''kewibawaan
paksa'' dengan kekerasan senjata terhadap rakyat di daerah bergolak. Apalagi
kalau pergolakan Aceh dan Irian disebabkan ketidakadilan, kekejaman, dan
perilaku kolonial yang dilakuka oleh oknum-oknum militer zaman Soeharto yang
bisa lebih kejam dari imperialis Belanda maupun Jepang.

Elite Indonesia sekarang harus mawas diri dan bercermin dari jiwa besar
Nelson Mandela. Pemimpin Afrika yang dipenjara selama 27 tahun itu, rela
mengampuni sipir penjara yang mengencingi dirinya di dalam penjara. Dalam
semangat rekonsiliasi yang didasari kebenaran dan pertobatan, Afrika Selatan
melewati era dendam kesumat membuka lembaran sejarah baru.

Indonesia harus membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dengan tugas
mempertobatkan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dari Aceh sampai Irian.
Para pelaku harus mengaku, bertobat, dan berjanji tidak mengulangi
kejahatan. Pemerintah memberi kompensasi finansial material kepada para
korban, janda dan ahli waris almarhum korban gerakan militer. Juga kepada
wanita korban perkosaan dari Aceh, Irian, sampai Jakarta dalam Peristiwa Mei
1998.

Para pelaku termasuk komandan berpangkat jenderal harus memenuhi persyaratan
pertobatan dan pengakuan legal, baru dipertimbangkan untuk menerima amnesti
dalam paket rekonsiliasi. Saya rasa paket semacam itulah yang akan
memulihkan rasa persaudaraan sesama bangsa, bila yang bersalah mengaku dan
bertobat. Tetapi, jika Jakarta malah tetap mengerahkan mesin perang untuk
menggilas daerah, saya yakin Tuhan tidak akan mengizinkan Indonesia berdiri
di atas banjir darah rakyat Indonesia dari suku Aceh, Dayak. Madura, Ambon,
etnis Tionghoa dan seterusnya. Tuhan akan bilang stop kepada genosida dan
Tuhan akan bilang stop kepada Indonesia yang fasistis.

Tuhan di sini diwakili oleh pendapat umum dunia internasional, seperti dulu
juga Timtim yang sudah diserbu oleh pelbagai batalyon dan resimen, diguyur
anggaran dana yang tidak sepi dari KKN, tetap saja minta merdeka dari RI.
Praktek kekerasan rezim Soeharto tidak bisa diulangi oleh rezim siapa pun.
Jika sampai praktek-praktek seperti itu akan diulangi, maka walaupun AS
mengatakan committed dengan integritas wilayah RI, tetapi lobby HAM dan
demokrasi di AS sudah demikian menyebar dan mengakar sehingga tidak bisa
lagi masalah Aceh dimonopoli oleh ExxonMobil dan Irian oleh Freeport.

u


Saya ingin mengingatkan elite Jakarta yang masih mabok dan nostalgia dengan
cara-cara kuno rezim Soeharto yang basi, bangkrut, pailit dan rongsokan,
bahwa mereka akan gagal bila mengira rakyat bisa dibuldozer dengan
pembunuhan dan penumpasan. Kalau mengurus Maluku dan Sampit saja tidak
becus, bagaimana mau mengurus perlawanan yang bersifat lintas nasional?

Pemecahan intergral masalah bangsa Indonesia adalah sampai seberapa jauh
elite politik mau bertobat, mengaku salah, mengaku dosa dan berjanji tidak
mengulangi pembunuhan terhadap rakyat sendiri dengan dalih kekuasaan dan
kedaulatan negara yang dibajak oleh penguasa diktatur. Jika elite Indonesia
tidak mau bertobat dan tetap melakukan cara-cara rezim Soeharto, saya
khawatir riwayat Timtim akan terulang di Aceh dan Irian. Dan pada waktu itu
sudah terlambat untuk menyesal.

Perang modern adalah perang urat saraf, perang media elektronik, perang
opini publik, perang diplomasi, perang komunikasi HAM dan demokrasi. Kalau
elite Jakarta masih bersifat primitif untuk mengandalkan senjata (yang
notabene toh diembargo oleh AS), jelas cara-cara primitif itu akan gagal
menyelamatkan eksistensi RI. Saya khawatir justru karena sikap achterlijk
elite Jakarta yang kuno, ketinggalan zaman dan primitif itu Indonesia bakal
jadi fosil, karena opini publik dunia akan menghancurkan impian model despot
fasis Soehartois.

Hanya jiwa besar Nelson Mandela bisa menyelamatkan Afrika Selatan dari
perang kulit putih lawan kulit hitam. Hanya Rekonsiliasi Tuntas bisa
menyelamatkan Indonesia yang bertobat dari masa lalu, berjanji tidak
mengulangi penyakit Soeharto dan membuka era baru yang demokratis dan
menghormati HAM secara tuntas.

Hanya dengan demikian kita bisa survive menyelamatkan Republik Indonesia.
Jika tidak, maka kekhawatiran bahwa Indonesia akan mengalami nasib seperti
Uni Soviet dan Yugoslavia akan terjadi, justru karena penyakit elite Jakarta
sendiri. Hal itu tidak bergantung pada George W Bush atau Mary Robinson atau
Kofi Annan, tetapi bergantung pada kenegarawanan dan jiwa besar elite
Indonesia. u



>From: "Ramadhan Pohan" <[EMAIL PROTECTED]>
>Reply-To: [EMAIL PROTECTED]
>To: [EMAIL PROTECTED]
>CC: [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
>Subject: [sip2k] Solusi Aceh: Sebuah Wacana (KBRI/IKI/dll)
>Date: Fri, 23 Mar 2001 05:28:12 -0000
>
>Salam!
>Analisis artikel di bawah ini cukup menarik didiskusikan.
>Dalam discourse, argumentasi memang menjadi panglima. Bukan sekadar soal
>siapa benar dan siapa salah atau saling tuding.
>
>Kapan IKI atau KBRI menggelar diskusi yang pembicaranya kalangan mahasiswa
>atau masyarakatnya sendiri.
>Ayo dong IKI, KBRI..
>
>Habis Permias DC nya masih sibuk dan belum selesai-selesai mencari/memilih
>Ketua nya. Sedangkan IMAAM, apalagi, ya nggak nyambung dong. Atau
>Pengajian-DC saja:-)
>Tetapi jika ada yang mau, boleh juga nih.
>
>Coba Lapau Senggol DC sudah ada, pan enak tuh, tinggal isi wadahnya saja.
>Sekali waktu diskusi, lain waktu lagi baca puisi.
>
>Yo wis, ngono sik.
>
>penyimak pinggiran
>###
>
>
>
>
>
>
>
>http://suarapembaruan.com/News/2001/03/21/Editor/ed02/ed02.html
>
>Operasi Militer sebagai Cara Penyelesaian Krisis Aceh
>Oleh KUKUH SUHARWIYONO
>
>
>Pemberontakan di Aceh telah membawa banyak korban, baik dari warga sipil
>Aceh, anggota GAM maupun personel TNI/Polri. Sebagai pribadi, penulis
>mempunyai prediksi, masalah Aceh akhirnya akan diselesaikan dengan operasi
>militer. Hal itu bukan karena TNI ingin membunuh rakyat sendiri atau takut
>dengan kekuatan militer negara lain, sebaliknya karena pemberontakan GAM
>sudah melampui batas-batas toleransi suatu gerakan penyaluran aspirasi
>rakyat. Bahkan, bantuan militer asing dalam perjuangan GAM di Indonesia
>merupakan pelecehan bangsa dan negara Indonesia sebagai negara yang
>berdaulat.
>
>Pemberontakan GAM di Aceh harus segera dihentikan karena keutuhan NKRI dari
>Sabang sampai Merauke menjadi taruhannya. Satu-satunya cara untuk
>mengakhiri
>suatu pemberontakan militer dan bersenjata adalah melalui perlawanan
>militer
>dan bersenjata juga.
>
>Militer Indonesia memang masih dihantui masalah crimes against humanity
>pada
>saat melakukan operasi militer di Timor Timur beberapa tahun silam. Namun,
>dengan masalah itu bukan berarti kita boleh memberikan kesempatan bagi
>kekuatan militer lain selain TNI sebagai kekuatan inti pertahanan dan
>keamanan negara untuk bermain di wilayah Republik Indonesia.
>
>Rules of Engagement adalah sebuah film yang dibintangi Samuel L Jackson dan
>Tommy Lee Jones. Film itu mengisahkan bagaimana anggota marinir Amerika
>Serikat yang melakukan pembunuhan terhadap massa demonstran akhirnya
>dinyatakan tidak bersalah melalui proses pengadilan yang panjang.
>
>Massa demonstran di depan Kedutaan Besar Amerika di Yaman dalam film itu
>diceritakan disusupi kekuatan bersenjata. Beberapa orang bersenjata api
>membaur bersama ratusan warga sipil yang berdemonstrasi. Kelompok kecil
>bersenjata yang berada di tengah-tengah para demonstran itu menembaki
>pasukan marinir Amerika yang berada di kedutaan besarnya. Akibatnya, tiga
>orang marinir AS tertembak.
>
>Melihat situasi itu, Samuel L Jackson sebagai komandan pasukan, langsung
>memerintahkan untuk menembak ke arah demonstran. Ekses dari keputusan itu,
>selain kelompok bersenjata di antara demonstran berhasil dilumpuhkan,
>banyak
>warga sipil termasuk wanita dan anak-anak tewas. Oleh sebab itulah, Samuel
>L
>Jackson kemudian diajukan ke pengadilan militer AS.
>
>Tommy Lee Jones, sebagai pengacara Samuel L Jackson, berusaha mati-matian
>memenangkan Samuel L Jackson dalam kasus itu. Jones yakin, apa yang
>dilakukan Samuel L Jackson pada demonstran adalah cara terbaik untuk
>mempertahankan kedaulatan negara serta menyelamatkan anak buahnya. Argumen
>kunci Jones dalam memenangkan kasus tersebut adalah kutipan dia mengenai
>Rules of Engagement, ''Civilian pointing a gun is no longer civilian.
>Therefore, deadly force is authorized to be used under rules of
>engagement''.
>
>
>Menghilangkan Ancaman
>
>Film itu adalah miniatur suatu pemberontakan militer di sebuah negara
>berdaulat. Musuh memiliki senjata pembunuh massa yang sangat berbahaya,
>namun mereka berada di tengah-tengah masyarakat sipil. Bila pemberontakan
>dibiarkan, keselamatan jiwa dan negara di ambang pintu kehancuran, namun
>bila ditumpas akan banyak masyarakat sipil yang ikut menjadi korban.
>
>Jenderal Wesley Clark dalam wawancara mengenai serangan AS di Kosovo
>beberapa tahun silam mengatakan, ''there is no exact calculation in the
>situation like this (military operation)''. Apa yang dimaksud oleh Clark
>adalah korban dalam suatu operasi militer tidak dapat diprediksi dengan
>tepat, karena perubahan situasi medan pertempuran yang begitu cepat
>didukung
>dengan peralatan-peralatan pembunuh massal yang digunakan kedua belah pihak
>yang bertikai saat ini, sudah sangat canggih.
>
>Kita semua tidak ingin adanya pertumpahan darah dari saudara-saudara kita
>sebangsa setanah air. Segala permasalahan yang muncul sedapat mungkin
>diselesaikan dengan cara damai, termasuk masalah Gerakan Aceh Merdeka
>(GAM).
>Namun, apabila cara-cara damai tidak dapat lagi digunakan, sedangkan suatu
>permasalahan berubah menjadi ancaman kritis bagi kelangsungan hidup
>Republik
>Indonesia, maka satu-satunya jalan untuk menyelamatkan RI adalah
>menghilangkan ancaman itu secepatnya.
>
>Berdasarkan sejarah yang ada, penggunaan kekuatan militer melalui operasi
>militer adalah cara paling efektif untuk menghilangkan berbagai hal yang
>mengancam kedaulatan suatu negara. Melihat berbagai usaha Jeda Kemanusiaan
>yang sering dilanggar oleh pihak GAM, maka tidak lain dan tidak tertutup
>kemungkinan operasi militer merupakan cara yang akan dilakukan RI dalam
>menghadapi GAM.
>
>u
>
>Penulis adalah kandidat Bachelor of Science di Virginia Military Institute,
>Amerika Serikat
>
>_________________________________________________________________
>Get your FREE download of MSN Explorer at http://explorer.msn.com
>

_________________________________________________________________
Get your FREE download of MSN Explorer at http://explorer.msn.com

Kirim email ke