Tindakan revolusioner di suatu negara (seperti dekrit pembubaran DPR)
bisa dianggap bernilai strategis bila ekses yang ditimbulkannya tidak
signifikan, dalam artian, masih bisa diatasi melalui kekuatan yang ada oleh
si pengambil keputusan. Jadi si pengambil keputusan harus melakukan
kalkulasi politik secara komprehensif. Nah, yang harus direnungkan, apakah
momentum pembubaran DPR sekarang ini demikian juga, khususnya dikaitkan
dengan paradigma era globalisasi sekarang ini?  Soal sesuai tidaknya dengan
konstitusi, itu lain perkara.


Salam,

Nasrullah Idris
----------------------
Bidang Studi : Reformasi Sains Matematika Teknologi
http://bdg.centrin.net.id/~acu


-----Original Message-----
From: Budi Haryanto <[EMAIL PROTECTED]>
To: [EMAIL PROTECTED] <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Saturday, May 26, 2001 05:56
Subject: Re: Sekarat Politik Indonesia


Rekan-rekan yth,

Berangkat dari berpikir positif, saya sendiri melihat bahwa Gus Dur terlihat
panik begitu Memorandum I digulirkan DPR. Berbagai cara dan manuver
dilakukan. Isu, benturan, dan ancamanpun coba dilontarkan, dengan tujuan
terpancingnya emosi dan kemudian tergelincirnya orang-orang yang ditujunya.
Namun mengingat bobotnya yang kurang tajam dan kurang halus, maka segala
upaya manifestasi kepanikan GD tsb kandas, disamping semakin sadarnya banyak
orang terhadap perangai GD itu sendiri. Bahkan dari pentolan-pentolan NU
sendiri kelihatannya juga mulai menahan diri dan tidak ingin ikutan
terjerembab akibat membentengi GD. Walaupun begitu, bukanlah GD namanya
kalau gampang putus asa.

Manuver terkini GD, seperti ditulis Cak Pohan, adalah meminta Mega untuk
memilih tetap sebagai Wapres atau Ketua PDI-P. Lontaran ini mengejutkan.
Banyak orang terpana. Namun, lagi-lagi, kalau kita 'dingin' dan melihat
dengan jeli, lontaran ini sama dengan lontaran-lontaran GD sebelumnya, yaitu
kurang tajam dan kurang berbobot. Lihat saja, yang memilih Wapres adalah MPR
(bukan Presiden), sehingga Presiden tidak bisa memberhentikan Wapres
sendirian. Dia perlu perangkat DPR untuk melakukan itu. Ini adalah 'lemparan
oli ke kaki Mega'. Kalau Mega melangkahkan kaki, tentu ia akan tergelincir
dan jatuh. Artinya, kalau Mega menanggapinya dengan melakukan benturan,
sudah dapat dipastikan ia akan tergelincir. Namun kalau dia diam saja tidak
bergerak atau kembali mengingatkan ke GD tentang konstitusi pemilihan dan
pemberhentian Wapres, tentu ia akan tetap di posisinya sebagai Wapres.
Sedangkan sebagai Ketua partai, itu adalah hak setiap warga negara RI dan
dilindungi oleh undang-undang. Jadi, mau jadi ketua partai kek, atau tidak
kek, itu adalah urusan masing-masing yang bersangkutan. Presidenpun nggak
punya wewenang untuk cawe-cawe. Analoginya, aku manu nungging kek, mau
ndhodhok kek, sak sir-ku (semaukulah...).

Kesimpulan, GD memang jagoan mengacak-acak. Jauh lebih hebat dari medan
magnit. Kalau medan magnit dipakai untuk mengacak-acak lemak-lemak yang
menyumbat pembuluh darah. Kalau GD ibaratnya, bukan lemaknya saja
teracak-acak, pembuluh darah yang nggak berlemakpun ikutan teracak-acak.

GD-ku sayang, GD-ku malang......

Salam,
Budi

-----Original Message-----
From: Indonesian Students in the US [mailto:[EMAIL PROTECTED]]On
Behalf Of Ramadhan Pohan
Sent: Friday, May 25, 2001 8:50 PM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: Sekarat Politik Indonesia


Barusan saya mengikuti perkembangan permenit dan perjam keadaan Jakarta dan
Jatim. Keberadaan detik.com, satunet.com, antara.co.id, kompas online--
disamping saluran telp-- memang cukup membantu.

Wah, perkembangan tanah air makin carut-marut saja. Kita kebanyakan politisi
namun minus negarawan. Kita tak punya orang-orang sekaliber Bung
Karno-Hatta, Sjahrir, dan sejenisnya. Para politisi zaman sekarang terlalu
banyak berbicara namun tidak pernah mendengarkan. Berbicara tidak dengan
hati nurani. Tidak dengan semangan pengabdian pada bangsa. Yang dipikirkan
selalu kekuasaan dan jabatan yang sebenarnya hanya amanah dan titipan
belaka.

Konstitusi kita ada, tapi yang dipercaya malah politik-politikan. Jika kita
sepakat atas hasil pemilu 1999 yang dimanifestasi lewat Parlemen (terlepas
dari kualitasnya yang banyak harus dibenahi), serahkan saja sama Senayan.
DPR/MPR adalah manifestasi tertinggi Konstitusi kita.

Legitimasi kekuasaan Gus Dur di parlemen memang nyaris punah, di
daerah-daerah luar Jatim orang-orang pun gelisah dan memintanya mundur saja.

Saya tidak tahu apa yang diinginkan Gus Dur. Rencana Dekrit, Maklumat atau
apa pun namanya yg ingin diumumkan Gus Dur-- demi kursi Presiden--
jelas-jelas saya menolak. Membubarkan parlemen bukanlah pekerjaan seorang
kampiun demokrasi.

Megawati masih diam, memilih tidak ngobral statement dalam  menggerakkan
sikap politiknya. Dalam kacamata demokrasi, ini sebuah keganjilan. Jika saya
jadi Mega maka saya tidak akan mundur, walau disuruh Gus Dur untuk milih
jabatan Wapres atau Ketua Umum PDI-P.
Tetapi begitu Gus Dur mengeluarkan Maklumat atau Dekrit membubarkan
Parlemen, lebih baik Mega mundur sebagai Wapres. Justru tindakan ini malah
memuluskan jalannya menjadi Presiden, jika alternatifnya hanya Akbar, Amien,
atau Gus Dur sendiri.

Gimana menurut Anda?


salam,
ramadhan p
(penyimak pinggiran)
_________________________________________________________________
Get your FREE download of MSN Explorer at http://explorer.msn.com

Kirim email ke