Alhamdulilah ..... moga-moga kedamaian menjadi jiwa kehidupan di Poso .... dan tempat lain tentunya...... amien ....
 
----- Original Message -----
From: Dony Edwin
Sent: Sunday, December 23, 2001 3:01 PM
Subject: Damai di Poso

KOMPAS>Senin, 24 Desember 2001

Mereka Arsitek Perdamaian Poso

Sidik Pramono Kompas/nasru alam aziz
Habib Muhammad Sholeh bin Abubakar Alaydrus (kiri) dan Saweriganding Pelima
DENGAN bersedia hadirnya 25 perwakilan umat Kristiani dan 23 umat Muslim dalam Pertemuan untuk Poso di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, 19-20 Desember lalu, sudah terlihat itikad baik kedua pihak untuk berdamai. Mereka datang dari Kabu-paten Poso, Sulawesi Tengah, mendarat di Makassar untuk kemudian meneruskan perjalanan ke Malino, kota kecil berhawa sejuk berjarak 77 kilometer dari ibu kota Sulawesi Selatan itu.

Semula banyak orang ragu efektivitas pertemuan ini. Empat pertemuan penyelesaian konflik Poso selalu dirusak pecahnya kembali pertikaian antara kedua pihak. Persoalan yang mencuat selama ini, tokoh yang dipertemukan untuk berdamai hanyalah mereka yang disebut-sebut sebagai pemimpin di atas meja (elite) dan tidak mengakar di hati masyarakat yang bertikai.

Tidak kurang dari Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla, sejumlah mediator, dan peninjau, optimistis pertemuan dua hari yang singkat itu akan membawa hasil. Mengapa demikian, karena orang-orang yang terlibat dalam pertemuan itu merupakan orang-orang "lapangan", dalam arti orang yang terlibat langsung dalam konflik Poso. Harapan tentulah damai yang tidak sekadar di atas kertas berupa penandatanganan bersama 10 butir Deklarasi Malino untuk Poso, namun perdamaian yang nyata di lapangan lewat tangan orang-orang "lapangan" ini.

Terlalu banyak menyebut persona yang dengan ikhlas hadir di Malino untuk suatu perdamaian, namun dua di antaranya adalah yang tertera dalam tulisan ini, yakni Habib Muhammad Sholeh bin Abubakar Alaydrus (33) dari pihak Muslim, dan Saweriganding Pelima (59) dari pihak Kristiani. Habib adalah pimpinan Majelis Dzikir Nurul Khairaat di Palu, sedang Pelima adalah anggota Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang berpusat di Tentena.

Saat Habib muncul pada hari kedua pertemuan, keraguan orang mengenai tokoh-tokoh yang dilibatkan dalam pertemuan ini pupuslah sudah. Pada hari pertama, Habib memang tidak mengikuti pertemuan. Sejak awal, Jusuf Kalla sudah menegaskan bahwa pertemuan ini akan merangkul seluruh tokoh yang terlibat langsung dalam konflik. Dan kedatangan Habib itulah yang menjadi "gong" keabsahan tokoh yang dilibatkan.

Dengan sorot mata yang tajam, kehadiran lelaki kurus dengan jenggot panjang dan cambang yang menghiasi wajah ini langsung menjadi pusat perhatian. Kata-katanya yang santun dan serba terukur terdengar menyejukkan, meski sesekali terdengar keras sesuai dengan prinsip yang diyakininya. Terlihat sebelum pertemuan, beberapa orang mencium tangannya yang selalu menggenggam butiran tasbih dengan takzim.

Pelima mengaku terharu mengikuti dan menyaksikan proses perundingan yang menjadi titik awal menuju Poso yang damai. "Kami datang ke Malino dengan bahasa perdamaian, tanpa syarat. Kami menyampaikan permohonan maaf kepada sudara-saudara kami Muslim, bila pada waktu lalu ada kesalahan yang menimbulkan penderitaan. Saudara kami menyambut baik dengan kebesaran hati. Maka terjadilah saling memaafkan dan berupaya melupakan masa lalu yang pahit, menuju ke masa depan yang indah," kata Pelima yang juga Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Sulawesi Tengah.

Menurut Pelima, sebetulnya keinginan mengakhiri konflik telah lama menjadi kegelisahan umat. Namun baru kali ini ditemukan sebuah forum yang benar-benar dapat menghadirkan representasi dari kedua pihak yang bertikai. Sebuah forum rekonsiliasi yang menampilkan dialog yang berjalan dengan baik, sehingga memudahkan pencapaian kesepakatan untuk mengakhiri konflik.

***

HABIB merupakan salah satu tokoh Muslim yang terus bertahan di wilayah Poso kota selagi kerusuhan terus memuncak pada awal tahun 2000. Dengan tongkat rotan yang selalu menemaninya, Habib bersama sekitar tiga puluh orang memilih bertahan dari serangan. "Kami hanya bersikap defensif saja. Islam tidak pernah menganjurkan kekerasan. Tapi kita wajib mempertahankan keyakinan dan kebenaran, hak-hak yang ada pada diri kita," tegas Habib.

Lahir di Lawang, Malang, Jawa Timur tahun 1968, Habib mengaku tidak pernah menjalani pendidikan formal. Sejak umur tiga tahun, Habib lebih sering menimba ilmu dari aulia, para wali, dari satu tempat ke tempat lain. "Saya selalu mencari pohon yang bisa memberikan keteduhan," begitu kata Habib mengibaratkan.

Sempat bermukim di Palu, "panggilan dari atas" mendorong ayah tiga anak ini untuk masuk ke Poso, membangunkan umat Islam untuk mempertahankan hak-haknya. Salah satu prinsip yang dipegang oleh Habib, pantang dalam suatu konflik jika terjadi pembunuhan atas anak-anak dan perempuan, serta perusakan rumah ibadah. Sebab, ketika semua itu dilakukan, Habib yakin bahwa azab Allah-lah yang akan turun sebagai balasan.

Sebelum Deklarasi Malino dibacakan, Kamis (20/12) siang, Habib secara tegas menyatakan bahwa kebesaran hati untuk saling memaafkan menjadi angin segar bagi perdamaian di Poso. Baginya, perdamaian di Poso adalah starting point untuk mengembalikan wajah indah Poso yang sebelumnya dikenal damai, aman, dan sejahtera.

Kini, Habib pun mengisyaratkan untuk segera kembali ke Poso, bersama-sama membangun wilayah yang selama tiga tahunan diremuk konflik berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Selepas pertemuan yang menyejukkan di Malino, kedua belah pihak memang sudah disatukan di Hotel Sahid Makassar. Namun, tinggal berlama-lama di hotel mewah justru tidak membuat betah. "Rumah saya di tempat orang-orang miskin berada," kata Habib.

Kini, Pertemuan Malino sudah usai. Masih banyak tugas besar yang menunggu kedua belah pihak. Tugas pemuka agamalah untuk menyosialisasikan isi deklarasi, termasuk tanggung jawab jika terjadi pelanggaran. Habib menekankan, realisasi deklarasi masih patut ditunggu. Sebab, seperti dikha-watirkan Habib, "Kalau ini sampai gagal lagi, niscaya kehancuran yang lebih besar akan kita alami bersama."

Pelima dalam lingkungan internal kekerabatannya senantiasa menjaga tali silaturahmi dengan saudara-saudaranya yang beragama Islam. Pelima menepis anggapan bahwa Muslim dan Kristen Poso sama sekali terpisah selama konflik yang berlangsung selama tiga tahun ini. Mereka hanya dipisahkan secara geografis, karena letak permukiman yang berbeda dan tersebar di Poso, Ampana, Pendolo, dan Tentena.

"Saya dari keluarga Kristen dan warga Poso asli punya hubungan kekeluargaan dengan banyak keluarga Muslim warga Poso asli. Kami sering bertemu di Palu, Makassar, atau di Jawa, dan dalam kesempatan pertemuan, kami tidak pernah melupakan pentingnya perdamaian. Setiap kali bertemu, selalu muncul pertanyaan yang sulit dijawab, mengapa semua ini bisa terjadi atau mengapa bisa menjadi begini," tutur Pelima.

Mendengar pertanyaan "Mengapa semua ini bisa menjadi begini?", atau "Mengapa semua ini bisa terjadi?", orang lalu teringat betapa sebelumnya mereka dapat hidup rukun bertetangga antara Muslim dan Kristiani. "Saya tidak dapat membayangkan, kok, tega-teganya seseorang membakar rumah orang lain atau bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Ini kejahatan yang luar biasa. Dulu hal seperti itu tidak pernah terbayangkan."

Pelima menyadari, tindak lanjut pertemuan tersebut membutuhkan waktu dan kerja keras yang melelahkan. "Jangan membayangkan seperti membalik telapak tangan. Perlu waktu dan tenaga, bahkan pengorbanan. Harus banyak orang yang berlelah, baik pihak Muslim maupun Kristiani untuk mengerjakan rekayasa perdamaian. Tidak hanya sekali dilakukan, melainkan harus berkali-kali untuk benar-benar menyadarkan mereka yang bertikai, hingga lapisan terbawah." (Nasru Alam Aziz/p01)

<<2312ha12.jpg>>

Kirim email ke