Pada akhir dekade 80 an banyak alumnus SMA yang mengikuti kursus komputer untuk mempelajari software seperti Wordstar, Lotus, dan dBase. Setelah mencapai kurun waktu tertentu, mereka yang dianggap mampu menguasainya berhak mengantongi semacam ijasah. Okelah, kita sebut saja dengan alumnus D-1. Kemudian sebagian dari mereka memanfaatkan tanda legitimasi tersebut untuk melamar kerja. Terlepas dari faktor usia, apakah peluang mereka memperoleh lowongan kerja masih sama untuk sekarang ini bila hanya mengandalkan kemampuan penguasaan program komputer itu? Jelas tidak. Pasalnya karena tidak mempunyai nilai jual lagi, meskipun ilmunya masih mengental di otaknya masing-masing. Tergeser oleh program yang lebih canggih, seperti Excel, Word, sampai Access, yang aplikasinya bisa menghemat waktu sampai beberapa kali lipat. Sehingga perusahaan mana pun akan berpikir dua kali untuk menerima mereka sebagai karyawan. Kecuali kalau mereka mampu memanfaatkan pengetahuannya dari sudut eksklusif serta bernilai lompatan bisnis secara efektif dan efisien. Tetapi kan langka orang seperti ini. Lagian pula kebanyakan LPK tidak menggiring para terdidiknya berpola pikir demikian. Yang ditekankan hanya mencetak orang menjadi tahu. Akhirnya banyaklah kini pengangguran terdidik D-1. Cerita di atas merupakan gambaran, bagaimana dampak sistem pendidikan tanpa memperhatikan rangsangan kreativitas terhadap nilai jual SDM alumnusnya pada masa depan. Sekarang ini kabarnya telah terjadi pembengkakan pengangguran terdidik lulusan perguruan tinggi. Tahun 2001 saja mencapai 1,8 juta orang di tahun 2001. Sedangkan tahun ini diperkirakan meningkat sekitar seratus ribu orang. Walaupun kita bisa berdalih karena itu dan ini, yang jelas mereka menganggur karena dianggap tidak mempunyai nilai jual. Artinya, berkemampuan memberikan kontribusi signifikan bagi pendapatan. Itu kan duduk persoalannya. Suka tidak suka, sistem pembelajaran di perguruan tinggi ikut menjadi pangkal sebabnya. Salam, Nasrullah Idris