Salam Permias, Barangkali ada yang bisa meng update nasib komputer yang diceritakan di bawah?
Jabat erat, Ahmad Syamil ------------------------ Republika, Jumat 25 Oktober 2002 http://www.republika.co.id/cetak_detail.asp?id=101023&kat_id=3 Republika, Sabtu 26 Oktober 2002 http://www.republika.co.id/cetak_detail.asp?id=101268&kat_id=3 Hibah Empat Juta Komputer Niat Mulia yang Kandas Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1999, saat itu di Northwestern University, Chicago, Amerika Serikat, 374 pelajar dan mahasiswa Indonesia berkumpul. Niat mulia pun lahir: mencari jalan keluar konkret terhadap berbagai masalah di tanah air. Mereka, anggota Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), sepakat membentuk empat komisi kerja, salah satunya Komisi Pendidikan. Komisi ini antara lain mengumpulkan 178 ribu textbook dari AS untuk dikirimkan ke beberapa perguruan tinggi di tanah air. Firdaus Ali, pengurus Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat (Permias), saat itu pun mendapat ide untuk mengumpulkan komputer bekas dan mengirimkannya ke Indonesia sebagai hibah. Mantan aktivis mahasiswa ITB angkatan 1982 ini terinspirasi bantuan serupa pada 1993 kepada rakyat Kuba. Pada 1999, hasil bantuan itu tampak. Pengiriman komputer membuat kualitas tenaga kerja di Kuba meningkat. Maka, PPI pun mulai melobi perusahaan-perusahaan, antara lain Freeport dan Mobil Oil. Namun, dari seluruh dunia, lobi PPI Jepang adalah yang paling mendekati impian Firdaus. Saat digelar ''Indonesia Night'', yang juga dihadiri Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), PPI berhasil melobi KRD Japan Inc untuk menghibahkan empat juta unit komputer bekas Pentium I-III ke Indonesia. ''Setiap tahun akan dikirimkan satu juta unit,'' tutur alumnus University of Wisconsin Madison itu. Kendati merupakan hibah, KRD menetapkan ongkos 50 dolar per unit. Uang itu untuk mengecek komputer yang layak kirim, mengepak, mengirimkannya ke Indonesia, dan mengganti sistem komputer dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris. Apkasi setuju menanggulangi dana itu. Setelah melalui proses surat-menyurat antara dirjen pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen) dan dirjen industri logam, mesin, elekronika, dan aneka (LME&A) Depperindag, akhirnya impor disetujui. Surat perjanjian pun dilakukan KRD dengan sejumlah pemerintah daerah. Namun, belakangan dirjen dikdasmen dan dirjen LME&A membatalkan kesepakatan itu. Empat kontainer yang memuat sekitar 3.000 unit komputer tiba di Pelabuhan Tanjungperak, Surabaya, mulai akhir Juli hingga pertengahan Agustus. Tetapi, barang itu akhirnya mangkrak di gudang dan tidak bisa didistribusikan. ''Ternyata dirjen dikdasmen menolak mengeluarkan izin. Saya tidak tahu mengapa. Padahal, pihak bea dan cukai sudah bersedia mengeluarkan bila ada jaminan dari dirjen dikdasmen,'' kata Firdaus. Muncul dugaan bahwa ''mafia'' pedagang komputer bermain dalam persoalan ini. Dirjen Dikdasmen, Indra Djati Sidi, membantah sinyalemen itu. Dia mempersoalkan dua kekeliruan dalam kasus hibah itu. Pertama, KRD membuat MoU dengan sejumlah pemerintah daerah tanpa sepengetahuan Depdiknas. Kedua, ada pembayaran 50 dolar per unit yang dikirim ke Jepang. ''Pengiriman uang ke luar negeri itu menggugurkan hibah. Komputer itu jadi barang hibah,'' tuturnya. Nah, sebagai barang impor, tentu bakal kena pajak. ''Sulit memenuhi jika pajak dibebankan kepada Ditjen Dikdasmen. Apalagi dalam jumlah yang besar, satu juta unit,'' katanya. Kehadiran ribuan komputer hibah di Pelabuhan Tanjungperak, Surabaya, langsung tercium ''mafia''. Mereka berusaha menggagalkan pengiriman empat juta unit komputer besar laik pakai itu dengan menjebak bos KRD Japan Inc di Indonesia, Kanda Kotaro. Betapa kasar mereka ''bermain''. Soal ini sebenarnya sudah tampak saat mereka pertama kali menghubungi orang-orang Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Mereka menelepon, lalu mengintimidasi dengan cara membeberkan ciri-ciri anggota PPI yang sedang menerima telepon, termasuk pakaian yang sedang dipakainya. Kisah penjebakan Kotaro berlangsung Jumat, 13 September lalu. Saat itu, Kotaro didatangi sejumlah orang yang mengaku kepercayaan petinggi negara ini. ''Waktu mereka datang, saya bersama Kanda Kotaro. Mereka minta bagian 3 dolar AS per unit komputer. Bayangkan kalau jumlah komputernya empat juta unit,'' kata Firdaus Ali, aktivis Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di AS (Permias) yang menggagas hibah tersebut. Salah seorang di antara mereka mengaku bernama Jo. Tanpa ditanya, dia dua kali mengatakan tidak punya hubungan dengan asosiasi pengimpor komputer. Dia juga mengaku akan membantu mengeluarkan komputer hibah yang tertahan di Pelabuhan Tanjungperak. ''Demi kepentingan pendidikan bangsa,'' kata Jo. Jo mengajak Kotaro ke Surabaya untuk mengeluarkan barang itu pada hari Sabtu, 14 September. Firdaus kemudian mengatakan bahwa dia tidak mau komputer itu dikeluarkan dengan cara gelap karena semua proses perizinannya resmi dari pejabat pemerintah. ''Saya katakan niat baik itu harus dilakukan dengan cara yang baik,'' kata Firdaus. Namun, Jo beralasan bahwa komputer itu dikeluarkan hari Sabtu dan Minggu agar luput dari pengamatan asosiasi importir komputer. ''Nanti hari Senin baru kita urus administrasinya,'' kata Firdaus menirukan Jo. Saat itu, Jo tampak sibuk menelepon. ''Dia mengaku menelepon ke protokoler kepresidenan dan kepala bea dan cukai Surabaya dan mengaku di-acc,'' ujarnya. Jumat malam, Jo dan Kotaro ''terbang'' ke Surabaya. Di Bandara Djuanda, mereka dijemput kawan Jo yang bernama Supriyadi. Kepada Kotaro, Jo memperkenalkan Supriyadi sebagai pengusaha kayu. Sabtu pagi, Supriyadi datang menjemput Kotaro dan anak angkatnya, Djunaidi di hotel. Tapi, bukan untuk mengantar Jo ke Tanjungperak, melainkan memborgolnya. ''Supriyadi yang diperkenalkan sebagai pengusaha kayu itu ternyata polisi. Dia menahan Kotaro dan Djunaidi karena kasus penipuan, tanpa surat perintah penangkapan. Saya lihat ini permainan mafia,'' kata Firdaus. Tetapi, siapakah sebenarnya Jo? ''Terserah kamu mau nulis apa, apakah saya dari pemerintah, pengusaha, tentara, intelijen,'' katanya saat dihubungi Republika kemarin. Benarkah dia meminta 3 dolar per unit komputer? Jo menjawab dengan nada mengancam, ''Yang membongkar masalah ini saya. Kamu minta berapa dolar? Jangan acak-acak!'' Saat ditanya duduk persoalan hibah ini lebih jauh lagi, dia mengatakan, ''Tanya saja Indra Djati.'' Dia menutup teleponnya. Kepada Republika, Dirjen Dikdasmen Depdiknas, Indra Djati Sidi, membantah punya kaitan dengan pihak lain dalam kebijakannya menolak hibah. Menurutnya, dasar hibah telah gugur karena ada uang 50 dolar per unit yang terbang ke Jepang. Selain itu, terjadi MoU sejumlah pemerintah daerah dengan KRD tanpa sepengetahuannya. Kotaro sendiri akhirnya lepas dari tuduhan menipu. Namun, kemudian ia terjerat masalah imigrasi. ''Saat kami tanya paspornya, dia berbelit-belit. Setelah kami beri waktu, dia tidak juga menyerahkan,'' ungkap AKBP Conny TR, Kabag Resek Polda Jatim. Sumber Republika di Tulungagung mengatakan bahwa Kotaro bukan orang baru di Indonesia. ''Dia pernah tinggal lama di Jakarta.'' Dia juga pernah tinggal di Trenggalek, Jatim, untuk berbisnis jamur. ''Sebenarnya, upayanya mendatangkan sejuta komputer hibah sudah direncanakan sejak 1995, tapi gagal,'' kata sumber di pemerintahan itu. Kini, program hibah itu pun kembali gagal. KRD tampaknya jengkel. Apalagi Kotaro yang ditahan di Surabaya adalah bapak bos KRD di Jepang. KRD kemudian menawarkan hibah--yang semestinya untuk sekolah-sekolah di Indonesia itu--kepada Filipina dan Vietnam. Kedua negara langsung mau. Indonesia? Paling gigit jari. Republika. els/run/edo/bur