Rekan-rekan,
Seminar yang diadakan oleh Cornell University dan University of Turin
bulan lalu, membahas hal yang menarik yaitu "social capital".
Mereka perlu membahas ini untuk mengupayakan pengembalian
"trust" kepada pemerintah AS maupun market. Saya terilhami
seminar ini, sehingga mencoba mengangkat isu ini untuk kasus Indonesia.
Hipotesa saya juga sama, trust masyarakat sudah lama punah dan entah apa
yang akan terjadi kalau hal ini dibiarkan terus. Untuk itulah saya
sampaikan artikel yang dimuat Harian Jawa Pos beberapa waktu yang lalu.
Selamat menikmati dan mohon inputnya.
Terima kasih sebelumnya.
YY Alim
JawaPos
Rabu, 18 Des 2002
Modal Sosial Merajut Kebersamaan
Oleh YY Alim *
Konsep modal sosial (social capital) diperkenalkan Robert Putnam (1993)
sewaktu meneliti Italia pada 1985. Masyarakatnya, terutama di Italia
Utara, memiliki kesadaran politik yang sangat tinggi karena tiap indvidu
punya minat besar untuk terlibat dalam masalah publik. Hubungan
antarmasyarakat lebih bersifat horizontal karena semua masyarakat
mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Sementara itu, Putnam prihatin atas kecenderungan runtuhnya jalinan
sosial masyarakat Amerika. Adanya televisi memberikan kontribusi bagi
terciptanya "couch potato syndrome". Kebiasaan orang Amerika
"nongkrong" di depan layar televisi berjam-jam sebagai cerminan
hidup yang sangat individualistik.
Menurut Putnam (1993), modal sosial adalah kemampuan warga untuk
mengatasi masalah publik dalam iklim demokratis. Schaft dan Brown (2002)
mengatakan bahwa modal sosial adalah norma dan jaringan yang melancarkan
interaksi dan transaksi sosial sehingga segala urusan bersama masyarakat
dapat diselenggarakan dengan mudah.
Menurut penulis, modal sosial adalah kerja sama antarwarga untuk
menghasilkan tindakan kolektif. Pilar modal sosial, menurut Paldam
(2000), adalah kepercayaan (trust), eksistensi jaringan (network), dan
kemudahan bekerja sama (ease of cooperation). Dalam kenyataannya, modal
sosial seperti mata uang dengan dua sisi yang berbeda.
Penyanggah teori Putnam mengatakan, justru Amerika-lah tempat tumbuhnya
semangat charity (amal), volunteerism (kesukarelawanan), dan civic
involvement (keaktifan warga). Sisi negatif modal sosial di Italia adalah
berkembangnya praktik mafia (Sciarrone, 2002). Jaringan internal yang
kuat dan kemampuan dalam menjual security (perlindugan) adalah resep
dasar suksesnya kejahatan terorganisasi ini.
Modal sosial di Indonesia justru berkembang dalam sisi gelapnya.
Contohnya adalah dominasi praktik kolusi-nepotisme dan berbagai bentuk
praktik mafia. Indikasi nyata dari gejala ini adalah naiknya peringkat
kebusukan praktik korupsi. Akar praktik kolusi-nepotisme adalah kuatnya
tradisi "anak babe" (anak penguasa) yang selalu mendapat
kemudahan berusaha karena jaringan kekuasaan yang dibangun oleh orang tua
mereka. "Anak babe" memperoleh secara mudah tiga faktor Paldam
tentang modal sosial karena status mereka. Lancarnya transaksi sosial
berarti penghematan besar dalam transaksi ekonomi. Dengan modal sosial
yang kuat, mereka tak mengeluarkan sepeser pun untuk berusaha.
Benih praktik mafia tumbuh dari prinsip seperti "kita harus berbaik
sangka" atau "jangan makan tulang kawan". Prinsip yang
bagus untuk membangun modal sosial namun salah kaprah. Banyak yang tahu
persis kapan seseorang mulai memanipulasi jabatan. Karena sikap toleran
tersebut, pelanggaran itu terus berlangsung sehingga tercipta suatu kerja
sama korupsi antarinstansi dan lembaga. Praktik korupsi ala mafia ini
begitu parah sehingga penggantian seluruh pegawai negeri dan wakil rakyat
sekaligus tidak akan mengatasi masalah ini. Sebab, cara korupsi sudah
sangat jelas terlihat semua orang sehingga yang belum kebagian hanya
menunggu waktu. Dalam era reformasi ini, peran dominan birokrat agak
tergeser oleh para wakil rakyat. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya modal
sosial negatif tersebut sehingga mampu menjalarkan pengetahuan korupsi
dalam waktu singkat. Empat tahun sejak masa pemilu pertama yang
disebut-sebaut sebagai pemilu yang demokratis, keterampilan korupsi telah
merata.
Modal sosial negatif tumbuh subur karena kita asyik dengan teori
pertumbuhan ekonomi. Menurut Walter Isard (1997), kebijakan ekonomi tak
akan efektif tanpa memasukkan faktor sosial-budaya. Modal sosial positif,
arisan dan gotong royong, digunakan sebagai kosmetik kebijaksanaan
pembangunan. Padahal, modal sosial positif justru membuka peluang
pembangunan ekonomi (Kinsley, 1997). Karena itu, perlu pengamatan yang
jeli untuk lebih memperbaiki modal sosial yang salah kaprah.
Arisan dan gotong royong telah bergeser dari makna dasarnya. Semangat
arisan adalah untuk menjalin hubungan antaranggota sambil menggilir dana
yang dapat meringankan beban seorang anggotanya. Dalam arisan, kerap
dihasilkan kesepakatan bersama untuk melakukan sesuatu. Namun, tradisi
arisan ini telah "melenceng" menjadi sarana pamer kekayaan,
bahkan muncul "arisan tender". Begitu halnya gotong royong
kebersihan kampung. Pada masa lalu, kegiatan ini dilakukan spontan oleh
masyarakat. Namun, terjadi perubahan karena dorongan kompetisi dalam
perlombaan kebersihan nasional atau gotong royong yang dipaksakan kepala
desa dalam rangka menyambut kunjungan pejabat tinggi. Hasil akhirnya
adalah kebersihan untuk perlombaan, bukan kebersihan untuk kesehatan.
Dalam contoh tersebut, terlihat bahwa faktor eksternal lebih kuat dalam
mendorong modal sosial. Misalnya, arisan yang berubah karena pola hidup
konsumtif dan kesemuan gotong royong akibat tekanan hubungan
vertikal.
Ada juga modal sosial warga Indonesia di mancanegara, misalnya Permias
(Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika). Tujuan semula organisasi
adalah menciptakan wadah komunikasi antarmasyarakat Indonesia di AS.
Manfaat ini sangat terasa, terutama bagi orang yang baru pertama datang
ke Negeri Paman Sam.
Namun, dalam beberapa periode kepengurusannya, terlihat bahwa organisasi
ini didominasi oleh "anak babe" atau tokoh-tokoh yang ternyata
sangat dekat dengan pemerintahan Orba. Beberapa pengurusnya juga
menggunakan organisasi ini sebagai batu loncatan karir sepulangnya ke
tanah air. Gonjang-ganjing politik di tanah air membuat tingkat
partisipasi anggotanya turun.
Contoh lain ialah organisasi semacam Isnet (Islamic Network) yang
mengandalkan silaturahmi melalui jalur internet. Jalinan komunikasi
tersebut menghasilkan kegiatan nyata di lapangan, antara lain, pengiriman
buku dan usaha ternak sapi. Namun, modal sosial ini menghadapi tantangan
berat ketika kampanye antiterorisme yang praktiknya mematikan organisasi
terkait dengan umat Islam.
* Y.Y. Alim, mahasiswa S-3, Regional Science, Department of City and
Regional Planning-Cornell University, USA.
- Diskusi Antar Umat Beragama Ahmad Syamil
- Re: Diskusi Antar Umat Beragama Bonar Mangunsong