Kompas, 10 Februari 2003
 
Indonesia Tersangka, TKI Jadi Korban
Oleh Anies Baswedan

KAMI serombongan berangkat ke Chicago dengan mobil pukul 01:00 malam untuk mencari kepastian. Apa yang harus kami buat? Bagaimana nasib kami? Begitulah kata-kata seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) dalam pertemuan antara masyarakat Indonesia dengan Konsulat Jenderal RI di Chicago.

Malam itu, ruang pertemuan yang penuh sesak sempat hening dan hati hadirin bergetar merasakan suramnya nasib TKI di Amerika Serikat (AS). Pria setengah baya itu adalah pensiunan pegawai negeri yang berangkat ke AS, bekerja sebagai pencuci piring di sebuah restoran di negara bagian Indiana untuk menghidupi keluarganya di Indonesia.

Puluhan ribu TKI di AS menghadapi kebingungan yang sama sejak 16 Januari 2003. Pada hari itu Pemerintah AS mengeluarkan peraturan yang mewajibkan warga negara Indonesia (WNI) di AS melapor ke dinas imigrasi. Wajib lapor ini dikenakan pada pria berusia di atas 16 tahun yang tidak berstatus imigran.

WNI diharuskan registrasi antara 24 Februari-28 Maret 2003. Sejauh ini ada 25 negara dan dibagi dalam empat grup yang dikenakan kewajiban ini. Grup 1: Iran, Irak, Libia, Sudan, dan Suriah. Grup 2: Afganistan, Aljazair, Bahrain, Eritrea, Lebanon, Maroko, Korea Utara, Oman, Somalia, Tunisia, Uni Emirat Arab, dan Yaman. Grup 3: Pakistan dan Saudi Arabia. Dan, grup 4: Indonesia, Bangladesh, Kuwait, Mesir, dan Jordania.

Tak lama setelah serangan 11 September 2001, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang (UU), yang disebut US Patriot Act. Salah satu komponen UU ini adalah dilaksanakannya program National Security Entry-Exit Registration System. Peraturan ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1952, tetapi tidak penuh dilaksanakan. Padahal, pemerintah negara mana pun berkepentingan untuk tahu siapa saja yang masuk ke negerinya. Di AS, setiap tahun sekitar 35 juta orang asing yang datang dan pergi (CSMonitor, 7/6/2002). Dan selama ini tidak ada mekanisme pemantauan yang baik. Jadi, wajar bila Pemerintah AS kini merasa perlu mengetahui identitas orang-orang yang mendatangi negerinya.

Di sisi lain kewajiban ini mengandung keganjilan. Menurut Pemerintah AS, ada 145 negara yang diwajibkan registrasi (USINDO, 2003). Sejauh ini pemerintah AS mengumumkan 25 negara. Kecuali Korea Utara, negara-negara yang diwajibkan registrasi adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim. Di sinilah kebijakan ini jadi ganjil. Ganjil, bukan karena negara-negara berpenduduk Muslim diwajibkan lapor diri, tetapi karena tidak diumumkannya secara terbuka waktu dan nama 145 negara yang warganya diwajibkan lapor.

Kini 25 negara itu mirip daftar negara "tersangka". Bila Pemerintah AS mengumumkan seluruh 145 negara termasuk batas waktu lapor diri, maka kebijakan ini menjadi bernuansa obyektif. Meski Pemerintah AS menempatkan negara-negara Timur Tengah di urutan awal, hal ini bisa dipahami mengingat pelaku serangan "911" seluruhnya dari Timur Tengah.

Kebijakan lapor diri ini menimbulkan pro-kontra dalam negeri AS, tercermin di arena politik. Senator Kennedy, Senator Feingold, dan Congressman Conyers berkirim surat kepada Jaksa Agung AS, meminta program registrasi ini dihentikan sampai Kongres selesai me-review-nya. Tidak hanya itu. Dimotori Senator Kennedy, pada 23 Januari 2003, Senat AS mengesahkan amandemen anggaran, termasuk menghentikan alokasi dana program registrasi ini (WashingtonPost, 25/1/ 2003).

Bila penghentian alokasi itu disetujui Kongres AS, maka program registrasi akan berhenti. Karena itu, perkembangan dinamika ini layak terus diamati.

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia di AS, wajib lapor ini adalah mimpi buruk. Diperkirakan ada 100.000 WNI di AS. Secara umum WNI di AS bisa dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, kelompok pelajar dan mahasiswa sekitar 11.600 orang (IIE, 2002). Mereka umumnya tidak bermasalah karena status keimigrasiannya sebagai mahasiswa.

Kedua, kelompok orang kaya. Mereka menetap di AS bukan untuk mencari kerja. Status imigrasi mereka umumnya jelas. Bila ada masalah, mereka mudah terbang ke negara lain yang ramah terhadap orang berduit. Sebagian dari kelompok ini adalah pencari perlindungan politik, terutama yang meninggalkan Indonesia sejak huru-hara Mei 1998.

Ketiga, kelompok pekerja yang ke AS mencari penghidupan. Sebagian dari kelompok ini mendapat izin kerja. Tetapi, sebagian besar dokumen imigrasinya tidak lengkap. Sayang, tidak ada data akurat tentang jumlah mereka. Diperkirakan kelompok ini lebih dari 75.000. Mereka masuk AS secara legal (dengan visa) atau ilegal (tanpa visa) tetap tinggal di AS meski izin tinggalnya telah habis.

BAGAIMANA respons perwakilan Indonesia di AS? Seperti tercermin dalam pertemuan masyarakat Indonesia di Chicago dan Washington DC, mereka menganjurkan WNI mencari pengacara atau jika bermasalah pulang kampung saja. Anjuran itu mencerminkan pandangan, TKI datang ke AS atas inisiatif sendiri, maka masalah ini supaya diurus sendiri.

Untuk kasus TKI di AS, anjuran macam ini keliru. Mengapa? Pertama, kepulangan mereka akan menambah pengangguran. Kedua, TKI di AS jadi bermasalah bukan karena ulah mereka, tetapi karena Indonesia masuk daftar negara wajib lapor. Indonesia adalah satu-satunya negara di ASEAN yang masuk daftar.

Kini TKI dalam posisi terjepit. Di satu sisi, sebagai orang Indonesia para TKI diharuskan lapor. Mereka yang tidak lapor, statusnya berubah menjadi pelaku tindak kriminal karena melanggar kewajiban lapor. Di sisi lain, bila mengikuti aturan dan datang ke dinas imigrasi, TKI yang tidak berdokumen lengkap terancam tahanan, pengadilan, dan deportasi.

Di AS, ada sekitar 7-8 juta pekerja yang tidak berdokumen imigrasi, dan pekerja asal Meksiko adalah komponen terbesar sekitar 4,8 juta orang (AP, 31/1/03). Pekerja dari Meksiko tidak tersentuh kebijakan wajib lapor.

Apakah masuknya Indonesia dalam "daftar itu" menjadi tanda kegagalan diplomasi? Tidak sesederhana itu. Negara-negara sahabat AS seperti Mesir dan Jordania, atau "pompa-bensin" dunia seperti Saudi Arabia dan Kuwait pun masuk daftar. Wajar jika Pemerintah AS mendaftar semua pendatang.

Masalahnya, bagaimana nasib TKI yang tidak lengkap dokumen keimigrasiannya? Inilah ujiannya. Bila kemudian terjadi eksodus TKI besar-besaran dari AS ke Indonesia, itu bisa disebut sebagai kegagalan diplomasi.

Dari sini terlihat, negara dan masyarakat Indonesia harus turun tangan. Masyarakat Indonesia di AS sigap dan cepat merespons kondisi ini. Tokoh-tokoh masyarakat membuka hotline untuk menampung pertanyaan TKI yang panik, bertukar informasi dengan sesama negara yang masuk daftar wajib lapor, mengundang pengacara imigrasi dan masyarakat, melobi politisi AS, bekerja sama dengan lembaga-lembaga advokasi imigran, dan menulis petisi untuk Presiden RI.

Sementara perwakilan resmi Indonesia tidak pro-aktif. KBRI di Washington baru membuka hotline sesudah masyarakat menuntut. Ketika diminta membantu fasilitas pengacara, dijawab bahwa keterbatasan finansial jadi kendala.

Contoh menarik sikap pro-aktif perwakilan negara asing di AS adalah Pakistan. Duta besarnya berkeliling dan mengadakan pertemuan dengan warga Pakistan di berbagai kota dengan mengundang pengacara dan petugas imigrasi. Lalu, Pemerintah Pakistan mengirim Menteri Luar Negeri-nya ke AS guna membicarakan nasib warganya. Di sini terlihat, perwakilan dan Pemerintah Pakistan serius menangani masalah ini.

Kurang dari satu bulan, wajib lapor diri bagi WNI akan dimulai. Bila Pemerintah Indonesia masih tenang-tenang saja, maka eksodus TKI di AS akan jadi tamparan baru. Mengapa? Kewibawaan pemimpin Indonesia kian rontok di mata internasional karena dianggap tak memedulikan rakyatnya.

Lihat, bagaimana Malaysia bisa bertindak kaku dan tanpa kompromi terhadap TKI, sementara terhadap pekerja Filipina mereka lembek dan kooperatif. Pemerintah Malaysia sanggup melakukan itu karena tahu bahwa Pemerintah Indonesia tidak akan "pasang badan" membela TKI.

Dalam hal TKI di AS, Pemerintah AS berkepentingan menjaga hubungan baik dengan Indonesia. Begitu pula sebaliknya. Jadi, bila Pemerintah Indonesia memberi perhatian penuh, menunjukkan inisiatif dan bersikap tegas, Pemerintah AS-pun akan serius mencarikan peluang menyelamatkan TKI di AS. Apalagi, berbeda dengan pendatang dari negara lain, TKI dikenal sebagai pekerja keras dan jauh dari tindak kriminal. Hal ini tercermin dari pembicaraan para tokoh masyarakat Indonesia dengan pemerintah dan politisi di AS.

Mereka siap membantu dan memperjuangkan masalah TKI. Bahkan, Senator Orrin Hatch, salah satu senator terkemuka di AS, mengatakan akan membantu (Jawa Pos, 2/2/03).

Namun, bantuan mereka bersifat responsif. Artinya, bila Pemerintah Indonesia hanya bereaksi di media massa domestik dan tidak pernah secara resmi berinisiatif membela dan mengangkat kasus ini di hadapan Pemerintah AS, maka politisi AS tidak bisa ikut membantu. Tentu saja Pemerintah AS tidak merasa perlu merespons dan mencari solusi.

JADI, kunci inisiatif penyelamatan TKI ada di tangan Pemerintah Indonesia. Tragedi TKI di Nunukan dan keterlambatan respons pemerintah jangan terulang lagi. Kita masih ingat enam bulan lalu puluhan ribu TKI lari menyelamatkan diri dari lecutan cambuk di Malaysia, tetapi Pemerintah Indonesia adem ayem. Atas tragedi yang menyayat itu, Presiden malah menuding tragedi itu sekadar berita yang dibesar-besarkan media massa.

Sesak rasanya melihat saudara sebangsa terjepit dan diacuhkan negara. Seperti kejadian di Washington baru-baru ini, saat seorang ayah dilepas istri dan anak-anaknya pergi menembus dinginnya musim salju mendatangi pertemuan dengan perwakilan Indonesia. Harapannya mendapat ketenangan dan pembelaan, tetapi yang ditemukan justru anjuran agar pulang.

Cerita menyesakkan tentang kondisi TKI sudah menggunung. Para pejuang devisa yang telah membanting tulang, memeras keringat, selalu mengirim uang ke Indonesia, kini siap jadi korban, terlibas gelora perang melawan terorisme.

Pemerintah AS tegas menghadapi terorisme. Tetapi, dalam urusan tenaga kerja dan imigrasi, peluang negosiasi masih ada. AS adalah negara hukum sekaligus negara imigran.

Artinya, meski peraturan wajib lapor sudah dikeluarkan, selama pemerintah serius memperjuangkan nasib warganya, Pemerintah AS tak punya pilihan selain merespons, misalnya menimbang ulang jenis sanksi bagi pekerja bermasalah imigrasi. Hal ini terbukti dalam kasus Meksiko dan Pakistan.

Kini giliran Pemerintah Indonesia mengambil sikap dan berunding dengan Pemerintah AS, mencari jalan keluar agar TKI tidak harus pulang.

Ini adalah saatnya bagi pemerintah dan politisi Indonesia membuktikan bahwa kedudukannya bukan cuma dimanfaatkan untuk berebut kekuasaan, tetapi memikirkan rakyat yang menganggur, kocar-kacir mencari nafkah ke berbagai negeri, dan menjadi bulan-bulanan di negeri orang.

 

Kirim email ke