Buku yang isinya iklan sudah ada mas. salah satu
contohnya yang pernah dirancang agency bekas saya
bekerja: Jakarta Good Food Guide. Walau sudah
di-endorse 2 Bank, dan beberapa brand lain, tetap saja
buku itu dijual di atas Rp 100ribu per unit. Solusi
mas cukup inovatif juga sih. Iklan dalam majalah
berfungsi sebagai "stopping break" yaitu agar mata
tidak capai membaca terus menerus, makanya diselingi
iklan. Ini karena majalah disiasati agar dapat dibaca
cepat (oleh karena itu berputar/beredar cepat juga)
sedangkan buku itu perlu dinikmati, dicerna, dan malah
dibaca berulang kali. Nah apakah dengan disisipi iklan
kebiasaan baca juga akan berubah? 

Di Amerika Serikat, harga satu eksemplar majalah yang
dijual di Newsstand sama dengan harga buku fiksi
paperback. Ini ada kaitannya dengan stok kertas,
jumlah cetakan, jumlah warna, dan lagi-lagi iklan.
Kalau majalah jelas2 mahal nyetaknya, bayangin pake
kertas glossy, belum lagi kalau ada edisi khusus,
seperti Tempo yang waktu itu tampil dalam kover
berwarna khusus menyambut 17 Agustusan. Jumlah halaman
juga bisa mencapai ratusa. Lihat majalah Dewi
kadang-kadang lebih tebal dari buku-buku fiksi. Namun
iklan sendiri dalam majalah bisa mengganti ongkos
cetakan itu, malah majalah dapat laba bersih dari
ongkos iklan tanpa harus cari pelanggan lebih banyak.
Makanya berlangganan majalah lebih murah ketimbang
beli di rak toko buku. Sedangkan buku fiksi dicetak
dikertas murah yang kadang2 bau karena solusi pemutih
kertasnya yang murah. Kemudian ukuran juga kecil dan
cenderung efisien, gak seperti majalah yang super
boros. Kemudian Kover walau glossy dan full color,
tapi jernis kertasnya art carton (glossy paling murah)
dan paperback fiction biasanya cetaknya jutaan.
Makanya bestseller's list itukan hasil penjualan
sekian juta. Kita musti lihat konteks juga sih ya.
Karena di AS sudah maju industri buku dan majalahnya.
Sistem produksi kapitalisnya sudah baku dan foolproof.
Kadang-kadang beridam membuahkan buku di Amerika...

Itulah alasannya banyak pihak malas mendukung
pemasangan iklan di buku. Pertama, di indonesia, buku
itu tidak dicetak dalam jumlah jutaan. Walau ada yang
dicetak mendekati jumlah itu, edarannya tidak luas,
sehingga tidak banyak yang melihatnya. Kalau kita
bandingkan dengan majalah, setiap hampir kurang dari
50 meter kita bisa menjumpai kaki lima yang menjual
majalah, belum lagi penjual jalanan yang menghampiri
mobil. Ini sama juga dengan koran. Malah koran pakai
kertas yang lebih murah lagi. Dan harus diingat,
jumlah halaman koran, katakanlah 48, kalau dihitung
jumlah katanya bisa melampaui jumlah kata buku 100
halaman. Karena ukuran koran besar bukan?

Sebagai media komunikasi, buku tidak punya masa tayang
yang cepat. Iklan perlu media yang bergerak cepat.
Oleh karena itu buku dan iklan tidak pernah klop.
Kalau misalnya ada selebritis yang nulis buku, diapun
menjual bukunya di atas Rp. 300ribu, walaupun di tiap
babnya ada iklannya. Ini karena ongkos dari pemasangan
iklan belum bisa menutup ongkos cetak buku. Dan hanya
buat pemasang iklan tertentulah yang memiliki manfaat
memasang iklan di buku, yaitu mereka yang sudah
memiliki brand "established," yang sudah berakar dan
lama dikenal orang.

Ini buah pemikiran saya aja sih. Iklan dibuku bukan
hal yang baru dan tidak berhasil menekan harga. Tapi
saya tertarik mendengar taktik apa yang dimiliki oleh
mas, siapa tau jauh dari argumen saya tadi, malah baru
dan lebih inovatif.

Salam,
AJi

--- Nasrullah Idris <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Maka itu saya sedang menjajaki kerjasama pembuatan
> sebuah buku yang berisi iklan.
> Buku ini mempunyai alternatif.
> 
> Alternatif pertama : buku berbentuk majalah. Di
> dalamnya terdiri sejumlah jenis rubrik, tetapi tetap
> untuk bidang kajian yang sama. Jenis hurufnya
> beragam. Terdapat beberapa kotak kosong dengan
> berbagai ukuran untuk iklan.
> 
> Alternatif kedua : buku seperti biasanya, tetapi
> disisipi iklan antara bab.
> 
> Sekarang sedang cari penerbitnya.
> Urusan iklan ya urusan penerbit. Berarti penerbit
> harus menyediakan tim pencari iklan.
> 
> Pada koran ada berbagai macam rubrik yang sering
> dijadikan materi buku.
> Pada buku ada berbagai materi yang sering tampil
> pada koran.
> 
> Kalau koran bisa beriklan, mengapa buku tidak?
> 
> Tinggal bagaimana pihak penerbit melakukan studi
> kelayakannya.
> 
> Dampak sosial? Jelas ada. Toko buku dan distributor
> akan terkena imbasnya. Pendapatannya jelas akan
> berkurang. Di sinilah penting dicari solusi yang
> bijaksana.
> 
> 
> 
> Salam,
> 
> Nasrullah Idris
> 
> 
> ----- Original Message -----
> From: "Ismiaji Cahyono" <[EMAIL PROTECTED]>
> To: <PERMIAS@LISTSERV.SYR.EDU>
> Sent: Wednesday, August 09, 2006 2:07 PM
> Subject: Re: Fungsi Sosial Media Cetak dan Penerbit
> Buku
> 
> 
> koran kan dapat uang dari iklan. sedangkan buku
> tidak,
> makanya ia (koran) dapat menekan harga serendah
> mungkin. harga iklan satu halaman kompas bisa rp
> 500juta, bayangin aja...
> 


==================================

Each morning the day lies like a fresh shirt on our bed; 
this incomparably fine, incomparably tightly woven tissue of pure 
prediction fits us perfectly. The happiness of the next 
twenty-four hours depends on our ability, on waking, to pick it up. 
- Walter Benjamin -

==================================

ISMIAJI CAHYONO  |  Graphic Designer
School of the Art Institute of Chicago

532 West Roscoe St. Apt. #277, Chicago, IL 60657, USA
tel: +1 773 8809048  |  cel: +1 312 493 7545
[EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke