Sekedar merefresh kembali apa yang telah menjadi acuan ekonomi Indonesia berdasarkan UUD45, Ekonomi Indonesia dibangun atas 3 pilar utama 1. Koperasi (status sekarang : hidup segan mati tak mau, padahal koperasi merupakan cita-cita M. Hatta untuk menyejahterakan rakyat) 2. BUMN (status sekarang : di jual buat nambal defisit APBN) 3. Swasta (status sekarang : menggurita indikasi bahwa Indonesia menuju 'menjadi penganut' ekonomi kapitalis
CMIIW salam --utong-- ________________________________ From: Sulistiono Kertawacana <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Monday, December 8, 2008 8:55:06 PM Subject: [PPIBelgia] Relevankah Ekonomi Pasar Sosial? Posted by: "Rudy hartono" arahkiri2009@ yahoo.com arahkiri2009 Mon Dec 8, 2008 4:32 am (PST) Relevankah Ekonomi Pasar Sosial? 6.12.08 Oleh: RUDI HARTONO Beberapa hari yang lalu, dalam Workshop Mahasiswa Mengagasa Jalan Baru Indonesia, yang digelar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), dimana fadhil Hasan menjadi pembicara untuk sesi ekonomi, ia melemparkan kesimpulan bahwa sistim neoliberal sudah gagal. Ketika sebuah pertanyaaan di arahkan kepadanya, menyinggung soal alternatif ekonomi, ia dengan jelas merujuk pada Ekonomi Pasar Sosial (EPS) sebagai solusi. Menarik, setidaknya buat saya, karena gagasan EPS yang identik dengan kebijakan pemerintahan sosial demokrasi di Jerman kini sedang mengalami krisis. Artinya, sebuah model ekonomi yang terbukti salah hendak dipakai untuk menyembuhkan masalah ekonomi yang lebih ruwet ketimbang Jerman, yaitu Indonesia. Jerman dan Ekonomi Pasar Sosial Ekonomi pasar sosial (Epasos) mulai dibangun di Jerman paska perang dunia ke II. Konsep ini dikenalkan dalam kongres Godesberg, tahun 1958, setelah veteran-veteran kiri SPD yang tetap komitmen pada perjuangan klas dan menolak ekonomi pasar meninggalkan partai, sedangkan Jerman barat memilih berpartisipasi pada aliansi barat. Ekonomi pasar sosial (EPS) dikampanyekan sebagai alternative terhadap laissez-faire dan sosialisme. ekonomi pasar sosial mencurigai kompetisi bebas dan ide laissez-faire, tapi menghendaki peran negara yang kuat dalam membentuk dan menjamin aturan ekonomi pasar, yang disebut "ordnung" (kebijakan membentuk tatanan hukum bagi perekonomian) , yang tidak akan mencampuri mekanisme pasar, namun lebih menjamin bentuk-bentuk kebebasan perjanjian dan hak-hak kepemilikan pribadi dari pihak lain [1]. Pada tahun 1969, melalui koalisi dengan partai demokrasi Liberal (FPD), sebuah sayap partai liberal, SPD berhasil mengontrol pemerintahan. Segera program EPS diperkenalkan, terutama dengan isu memperluas demokrasi dan redistribusi kekayaan. Pada masa kanselir Willy Brandt, SPD memperluas hak-hak pekerja dengan membentuk dewan pabrik dan hak menentukan bersama berjalannya pabrik besar. Ia menggunakan pendekatan Keynesian dalam strategi investasi, yaitu memperluas pembangunan infrastruktur publik, pendidikan, dan jaringan pengaman sosial yang konferehensif, seperti pendidikan, kesehatan, asuransi kecelakaan, pengangguran, dan dukungan dana bagi keluarga dan anak-anak[2] . Akan tetapi, Jerman dibawah pemerintahan sosial demokrasi tetap merupakan masyarakat kapitalisme yang tersusun dan hierarkis; tetapi polarisasi sosial, dalam pengertian mengikuti laissez-faire barat, cukup berkurang. Pada pertengahan 1970-an, kapitalisme benar-benar sedikit dijinakkan dari keserakahannya. Perkembangan ini berjalan berkat pembangunan yang berkesibambungan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tapi periode ini berlansung singkat, dibawah Helmut Schmidt, pemerintah berhadapan dengan inflasi yang tinggi, pengangguran yang terus meningkat, dan deficit anggaran yang begitu besar. Dari 1974 hingga 1982, pengangguran meningkat dari 4,7% menjadi 8,2 %, serta upah pekerja yang terus jatuh sejak 1981. Schmidt mencoba mengatasi perkembangan ini, antara lain, dengan mengeluarkan dana pinjaman bagi investasi infrastruktur public dan pengurangan pajak bagi aktifitas bisnis. Akan tetapi, upaya Schmidt tidak memperbaiki keadaan, malahan dia harus jatuh dari kekuasaannya. Setelah ini, kekuasaan SPD berakhir dan digantikan oleh pemerintahan kanan CDU-FPD, yang menaikkan Helmut Kohl's. Di bawah Helmut, kondisi jerman bukannya membaik, apalagi dengan integrasi Jerman Timur, melainkan membawa kesulitan ekonomi yang cukup parah. Secara nasional, pengangguran meningkat menjadi 11,4% pada tahun 1994 (dan 19,5% di Jerman Timur), serta upah pekerja jatuh 7% sejak tahun 1992. kehancuran ini memberikan angin pada kembalinya SPDdalam pemerintahan. SPD berkoalisi dengan partai hijau untuk membentuk pemerintahan, dan menjanjikan membawa Jerman pada "Inovasi dan Keadilan", dengan reformasi pajak, pension, sistim pendidikan, serta perundangan yang mengatur pasar tenaga kerja. Dibawah Schröder, orientasi SPD semakin mengarah pada kebijakan neoliberal. Dibawah kritik kelompok kiri SPD, Schröder bergabung bersama Blair untuk membangun jalan ketiga; dengan menolak pendekatan Keynesianism dan mulai mendekati mekanisme pasar dan globalisasi. Pertumbuhan ekonomi menurun dari 2,9% pada tahun 2000 menjadi nol persen pada tahun 2003, sedangkan pengangguran mencapai 10% (4,4 juta) pada tahun yang sama. Stagnasi ekonomi sudah di depan mata, Schröder mengantisipasinya dengan serangkaian reformasi, seperti pemotongan pajak, pencabutan subsidi, dan deregulasi pasar tenaga kerja. Upaya itu tetap mendapati kegagalan. produksi industri turun 2,1% pada oktober 2002. sekitar 37.000 perusahaan kolaps pada tahun 2002, termasuk bebeapa perusahaan besar seperti Kirch Media, Babcock, Fairchild Dornier dan Herlitz, dan 650.000 orang kehilangan pekerjaan. Pengangguran resmi tercatat 4,2 juta jiwa [3]. Krisis yang dialami pemerintahan Schröder menciptakan krisis kepercayaan bukan saja anggota partai, tapi juga pekerja dan rakyat Jerman. 38 ribu kadernya meninggalkan partai pada tahun 2003. pada pemilu 2004, perolehan suara SPD hanya 21,4% (turun dari 30,7% pada tahun 1999). Ini merupakan kekalahan terburuk sejak 1945[4] . Keterbatasan- Keterbatasan Ekonomi Pasar Sosial Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan; bahwa; (1). EPS social tidak dapat menghindar dari krisis, meskipun lebih lambat dibanding dengan AS, tapi sejumlah reformasi-reformasi dan bongkar pasan sistim pajak dan jaminan social oleh pemerintah Jerman membuktikan bahwa Epasos sudah harus ditinggalkan. (2). Partai Sosial Demokrat (SPD) yang mencomot EPS dan mempraktekkannya dalam beberapa puluh tahun kini pun mengalami krisis dan mulai ditinggalkan pendukung fanatiknya, terutama yang berlatarbelakang kiri. EPS, seperti juga Keynesian, kapitalisme Negara, merupakan model-model ekonomi yang tercipta, dalam berbagai penyesuaian- penyesuaian, untuk mengantisipasi dan menunda krisis yang inheren dalam sistim kapitalisme. EPS yang dipraktekkan Jerman, mungkin lebih mirip dengan neoliberalisme yang sedikit jinak, yang disesuaikan dengan kultur politik masyarakat Jerman atau ajaran social kristen; jiwa sosialnya tinggi. Di dalam sistim kapitalisme, ada 3 penyebab krisis yang inheren dalam sistim tersebut, yakni; (1). Ketidakseimbangan antara produksi kapitalis dengan kebutuhan real masyarakat, yang selalu dijelaskan dengan anarkisme produksi. (2). Ketidakseimbangan antara keluaran (kapasitas produksi) dengan kemampuan konsumsi massal—yang parameternya adalah upah (daya beli) masyarakat. (3). Akumulasi berlebihan, yakni tidak cukupnya produksi nilai lebih, dibandingkan dengan jumlah capital yang diakumulasikan. Di dalam kapitalisme, mekanisme pertukaran dan distribusi diatur via mekanisme pasar yang kompetitif. Kompetisi pasar adalah aspek penting dan mendasar dalam kapitalisme, yang mengatur bukan saja distribusi, tapi juga soal penentuan harga dan panduan soal produk yang di mana yang perlu dihasilkan dan tidak. Dengan kepemilikan pribadi satu pihak, maka tujuan keterlibatan individu dalam mekanisme pasar yang kompetitif adalah memaksimalkan keuntungan (profit). Dalam situasi tersebut, EPS bukan untuk mengendalikan pasar agar sedikit jinak, seperti yang diyakini sejumlah intelektual di Indonesia, tapi justru menjamin kebebasan pasar. Makna kebebasan disini adalah jaminan atas kepemilikan pribadi atas alat produksi, pasar terbuka, kebebasan memasuki dan keluar dari pasar, serta kebebasan membuat kontrak-kontrak. Karena sifat pasar yang hiper-aktif, kompetitif, dan anarkis, sehingga berpotensi mendorong kesenjangan ekonomi, pengangguran, dan hilangnya jaminan social. Maka, EPS menawarkan beberapa katup pengamannya, diantaranya; (1). pengaturan soal monopoli; maka pemerintah harus membentuk aturan anti monopoli dan lembaga independent yang mengawasi persaingan usaha agar tidak mengarah pada monopoli (mirip KPPU, di Indonesia). (2). Redistribusi kekayaan; EPS menyadari bahwa distribusi dibawah mekanisme pasar tidak akan melahirkan keadilan, maka Aucken mengusulkan paket redistribusi kekayaan, salah satunya dengan pajak, meskipun ia menentukan limitnya agar tidak menggerus investasi produktif. (3) peraturan biaya eksternalisasi, terutama penggunaan sumber daya alam, kesehatan dan keselamatan kerja, serta soal waktu kerja. Model EPS sendiri di Jerman sedang mengalami krisis. Dari tahun ke tahun, pemerintah selalu mendorong reformasi pajak, hingga diprediksi bahwa nilai pajak Jerman merupakan terendah keempat di Eropa- 38.6%, yang jauh lebih rendah dengan US pada 46,5%. Untuk pajak personal, yang mencapai 56% pada tahun 1960-an, dan masih 53% pada masa akhir jabatan Kohl's, dan pada tahun 2005 turun menjadi 42%. Reformasi pajak yang dilakukan pemerintah Jerman, ternyata juga tidak mendorong sector real berkembang, malah sebaliknya, semakin meningkatkan pengangguran, kemiskinan, dan hilangnya sejumlah layanan social, akibat macetnya distribusi kekayaan. Di masa lalu, sistim pajak telah mengikat masyarakat Jerman agar tidak terseret pada filosofis ekonomi "yang kaya semakin kaya", tapi di masa kini, sistim pajak lebih berorientasi memberikan fasilitas kepada pemimpin bisnis, korporasi besar, perusahaan perbankan, untuk menarik dananya dan menginvestasikan pada sector yang menggiurkan, yakni kenaikan harga saham. Kesuksesan EPS di Jerman dalam beberapa periode, terutama dalam menekan pengangguran dan mempertahankan industrialisasi, terletak pada investasi social (pembangunan infrastruktur publik, sistim jaminan social, dll) besar-besaran dari Negara, karena periode booming ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ketika periode itu berlalu, segera ekonomi Jerman berhadapan dengan stagnasi ekonomi. Jerman dan Krisis Finansial Salah satu lapangan ujian bagi ketangguhan ekonomi suatu Negara adalah seberapa kebal terhadap pengaruh krisis financial di AS. Ketika badai krisis financial mengamuk, beberapa petinggi dan ekonom eropa memuji-muji bahwa EPS akan manpu menyelamatkan Jerman dari krisis, bahkan ada yang menganjurkan agar EPS dipraktekkan pada tataran internasional, sebagai solusi ekonomi global. Hingga bulan September, beberapa ekonom Jerman tetap optimis; bahwa tidak ada bank swasta dan sector public tetap solid dan aman, bahkan beberapa Bank yang menyimpan dana public, seperti Sparkasse dan Volksbank tetap aman. Juga, di Jerman belum ada tanda-tanda gelembung perumahan, atau tanda-tanda kekacauan dramatis dari harga properti. Namun, optimisme ini berakhir karena terjadinya krisis likuiditas yang melanda HRE dan mengarahkan pada kebangkrutannya. Dana 3,1 juta US$ hilang, tanpa ada hasil. Sektor industri Jerman, terutama otomotif (Opel, Ford, BMW dan Mercedes-Benz) sedang mengalami kesulitan, akibat penuruan permintaan (omzet) yang berlansung drastis. Perusahaan software SAP, yang berbasis di Jerman Barat, telah bereaksi atas jatuhnya permintaan dengan membekukan penyewaan. Lufthansa juga menderita kerugian akibat penurunan travel bussines dan bisnis kargo[5] . Beberapa lembaga penelitian di Swiss, Austria, dan Jerman, telah mendokumentasikan laporan yang menyebutkan prediksi pertumbuhan ekonomi Jerman, pada tahun 2009, hanya 0,2%, serta jumlah pengangguran yang meningkat drastic. Bahkan, Hans-Werner Sinn, kepala institute penelitian ekonomi (IFO), yang berbasis di Munich, membuat kesimpulan catatan "situasi sudah sangat mencemaskan" . Nilai ekspor Jerman sendiri sudah jatuh 2,5% hanya untuk bulan Agustus saja[6]. Apa yang disebutkan disini, meskipun belum mewakili keseluruhan, namun sudah dapat menjelaskan bahwa ekonomi Jerman benar-benar terperosok dan tak dapat melepaskan diri dari krisis financial. EPS tidak dapat membuat pertahanan ekonomi, yang melindungi kepentingan nasional dan rakyatnya, dari serbuan krisis. Hal ini terjadi, selain karena Jerman merupakan bagian dari sistim global yang sedang krisis, juga karena beberapa pendekatan ekonomi pemerintah Jerman serupa dengan pemerintahan kapitalis di AS maupun di eropa. kesimpulan Sudah hampir menjadi kesimpulan, bahwa sistim neoliberal telah menjadi penyebab utama dari masalah ekonomi di Indonesia. Kesimpulan ini, seharusnya menjadi titik berangkat untuk mendiskusikan jalan ekonomi seperti apa yang bisa menjadi alternative, diluar neoliberalisme yang gagal tersebut. EPS yang berdiri pada mekanisme pasar liberal tentu juga bernasib sama dengan neoliberalisme, sehingga perlu dicoret dari daftar pencarian. Menurut saya, yang terperting dalam pencarian sistim ekonomi alternatif setidaknya memenuhi kriteria berikut; pertama, memperjuangkan pengambil-alihan kendali atas control sumber daya alam, yang sebelumnya dikuasai dan dieksploitasi asing, untuk dimanfaatkan pada pemenuhan kebutuhan rakyat dan dalam negeri. Kedua, mengutamakan prinsip "kemandirian" dalam pengolahan sumber daya ekonomi, strategi industrialisasi, serta kerjasama ekonomi dan perdangan dengan bangsa-bangsa lain. Ketiga, memperbesar transfer sumber daya ekonomi kepada rakyat, dengan memperbesar anggaran investasi social, seperti pembangunan infrastruktur public, layanan pendidikan dan kesehatan, perumahan, kenaikan upah pekerja, sarana produksi bagi petani, dll. Keempat, memberikan tempat yang luas bagi partisipasi rakyat, terutama dalam mendiskusikan prioritas perencanaan ekonomi, pembangunan, dan pengalokasian anggaran. Mohon Maaf, Atas segala kekurangannya! Rudi Hartono, Anggota Redaksi BERDIKARI Online dan Pengelolah Jurnal Arah KIRI Catatan: 1. Dr. Rainer Adam, Ekonomi Pasar Sosial: Ludwig Erhard: Bapak dari apa yang disebut Keajaiban Perekonomian Jerman, Friedrich-Naumann- Stiftung. 2. Bill Smaldone, Krisis Sosial Demokrasi Jerman, 2002, Jurnal Solidarity 3. Crisis and class struggle in Germany, Jurnal Sosialism today, edisi 72 feb 2003 4. Bill Smaldone, Krisis Sosial Demokrasi Jerman, 2002, Jurnal Solidarity 5. Majalah DER SPIEGEL Online, edisi 15 oktober 2008 6. Ibid Baca Selengkapnya! -- Kind regards, Sulistiono Kertawacana http://sulistionoke rtawacana. blogspot. com/