Siph usulnya kang Bagus
--utong-- ________________________________ From: bagusco <bagus...@yahoo.com> To: PPIBelgia@yahoogroups.com Sent: Monday, December 22, 2008 2:05:55 PM Subject: Re: [PPIBelgia] Ilmuwan, Mengapa Publikasi Internasional? Kang Utong si calon peneliti... (nunggu ikut diklat fungsional dulu ya...) Mumpung ada disini, kita manfaatkan sebaik mungkin membangun jaringan sama para peneliti belgia (dan negara lain, kalau mungkin)... PPI-Belgia dan alumninya juga bisa nanti dimanfaatkan untuk kerjasama antar peneliti di Indonesia. Beberapa kali ada kan anggota milis yang minta tolong download paper...sampeyan nanti bisa juga begitu. Tetapi mudah2an tidak karena udah sanggup langganan banyak jurnal... salam, bagusco "lagi sibuk cari topik penelitian" Furqon Azis <uton...@yahoo. com> wrote: Boro boro mikirin nulis, mikirin gmana menjaga kelangsungan agar 'dapur tetep ngebul' ajah susah contoh kasus : CMIIW, (tunjangan peneliti muda di LIPI sekitar 200 rebu or professor riset 1,1 juta) + gaji 1,5 juta. sedangkan untuk membeli jurnal internasional as reference per paper 30 ยค karena institusinya tidak ada dana buat berlangganan jurnal tsb (tp anehnya dana non budgeter untuk ............ ... malah ada). gmana mo bersaing n submit ke jurnal internasional klo modal ajah cekak ibaratnya kita disuruh berperang dengan dunia internasional dengan bersenjatakan bambu runcing salam --utong-- 'calon peneliti' ________________________________ From: Sulistiono Kertawacana <sulistiono.kertawac a...@alumni. ui.edu> Sent: Monday, December 22, 2008 11:31:13 AM Subject: [PPIBelgia] Ilmuwan, Mengapa Publikasi Internasional? Oleh Paimin Sukartana Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, Fasli Jalal, menyatakan bahwa publikasi internasional ilmuwan Indonesia sangat rendah, hanya 0,8 artikel per satu juta penduduk. Angka ini jauh di bawah India, yang telah mencapai 12 artikel. Inikah gambaran prestasi (profil) ilmuwan kita. Lalu, apa ada yang salah? Bagi peneliti dan dosen, menerbitkan karya tulis ilmiah (KTI) termasuk persyaratan utama untuk peningkatan karier. KTI akan dinilai menjadi angka kredit yang harus dikumpulkan untuk mencapai jenjang jabatan tertentu. Sekarang ini ada empat jenjang jabatan fungsional di lingkungan perguruan tinggi; asisten ahli, lektor, lektor kepala dan guru besar, atau kalau di lingkungan peneliti: asisten peneliti, peneliti muda, peneliti madya dan peneliti utama. Untuk tiap jenjang, dosen atau peneliti harus mengumpulkan angka kredit sebesar 100-150, 200-300, 400-750, 850-1050, yang berasal dari berbagai unsur, termasuk KTI. Dengan persyaratan tertentu, guru besar dan peneliti utama berhak menyandang gelar profesor atau profesor riset. Tentu bobot angka kreditnya berbeda antara keduanya, jabatan profesor di perguruan tinggi lebih berfokus pada pendidikan dan pengajaran, dan profesor riset lebih pada penelitian. Namun, ada kesamaan antara keduanya, KTI hasil penelitian termasuk prasyarat utama. Selain latar belakang pendidikan, untuk memperoleh gelar profesor (riset) seorang dosen atau peneliti harus menulis KTI di jurnal ilmiah yang terakreditasi. Seorang Peneliti Utama dapat diangkat menjadi profesor riset melalui orasi ilmiah bila memiliki jenjang pendidikan minimal S2 dan mempunyai jumlah angka kredit yang cukup dari berbagai KTI di media ilmiah nasional yang terakreditasi, atau memiliki KTI di media internasional minimal dua buah (Peraturan Kepala LIPI: 04/E/2005). Di sini jelas, KTI di media internasional tidak diperlukan bagi peneliti berlatar pendidikan S2 dan S3, namun diperlukan untuk yang tidak masuk kategori tersebut. Tidak Sehat Keadaan ini tidak banyak berbeda dengan perguruan tinggi, kecuali latar belakang pendidikan, yang sekarang ini, harus S3. Keputusan Mendiknas pun (36/D/0/2001) bersifat minimalis, hanya diperlukan satu KTI di jurnal ilmiah internasional. Hal ini terjadi juga di ITB Bandung. Untuk menjadi guru besar, yang diperlukan hanyalah sebagai penulis utama KTI dalam satu jurnal internasional yang diakui dan satu jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi; atau dalam dua jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi dalam bidang ilmunya (Kep Senat Akademik: 041/SK/K01-SA/ 2002, ITB). Di Universitas Indonesia pun kurang lebih sama (Kep. Majelis Wali Amanat: 003/SK/MWA-UI/ 2004). Jadi, menerbitkan artikel di jurnal internasional sepertinya menjadi optional saja. Tidak (atau belum) ada keharusan untuk menulis sebanyak-banyaknya di jurnal internasional. Persyaratan- persyaratan tersebut tidak mendorong peneliti untuk berkiprah di dunia internasional. Mengapa harus bersusah-susah menulis di jurnal internasional, sementara di jurnal nasional, atau bahkan jurnal internal asal telah terakreditasi sebagai jurnal nasional saja sudah cukup. Bahkan hampir dipastikan, tiap lembaga penelitian di Indonesia, fakultas atau bahkan tingkat jurusan di perguruan tinggi memiliki jurnal sendiri (jurnal internal), yang semuanya mungkin akan terakreditasi sebagai jurnal ilmiah nasional. Penerbitan jurnal-jurnal ini umumnya sudah diprogramkan/ dianggarkan sebagai media penerbitan yang umumnya lebih untuk menampung hasil-hasil penelitian di lembaga tersebut daripada dari penulis di luar instansinya. Editornya pun umumnya diambil dari masing-masing lembaga yang bersangkutan, tanpa mitra bestari (peer reviewer) dari lembaga lain yang memadai. Kedalaman dan wawasan keilmuannya tentu lebih terbatas. Bahkan, ada kesan terjadi semacam persaingan antara peneliti di lingkungan sendiri. Objektivitas editor juga sering dianggap kurang memadai, karena penulis dan editornya berasal dari lembaga yang sama. Tentu ini tidak sehat, persaingan itu mestinya terjadi dengan para peneliti di luaran sana, dengan para peneliti atau kolega di negara lain. Bersaing dengan Peneliti di Seluruh Dunia Ini beda dengan negara maju. Banyak lembaga penelitian yang tidak punya jurnal ilmiah sendiri. Kalau toh punya, misalnya beberapa perguruan tinggi di Jepang, jurnal tersebut punya reputasi internasional. Itu pun para penelitinya masih berlomba-lomba menulis di berbagai jurnal internasional yang reputasinya lebih tinggi. Jurnal-jurnal yang ada umumnya dikelola oleh suatu lembaga nirlaba dari asosiasi ilmuwan. Sebutlah misalnya, Forest Pruducts Journal yang dikelola oleh Forest Products Society di Amerika, atau Journal Economic Entomology oleh Entomological Society of America (ESA). Di jurnal-jurnal semacam inilah mereka bersaing dengan peneliti lainnya di seluruh dunia. Tidak mudah memang masuk ke jurnal tersebut, persaingan sangat ketat, melibatkan peer review dari seluruh dunia untuk menentukan layak tidaknya suatu artikel untuk diterbitkan. Namun, dengan ikut serta dalam persaingan ini, kita akan menjadi bagian dari komunitas mereka. Mereka adalah pesaing, namun juga sekaligus sebagai kolega. Terbentuklah jejaring ilmiah (scientific networking), di antara kita dengan para ilmuwan di luar negeri. Menerbitkan KTI di media internasional, untuk ukuran kita, sangat mahal, sekitar 50-150 dolar AS, per halaman cetak (rata-rata 5-8 halaman). Ada juga yang gratis, namun tidak banyak. Bandingkan dengan jurnal kita, penulis kadang-kadang malah dibayar, meskipun hanya sekitar Rp 200.000-300. 000, atau kalau membayar juga murah (ongkos cetak), tak lebih dari angka-angka tersebut. Lalu apa yang harus dilakukan? Sudah saatnya, persyaratan menduduki jabatan ilmiah (peneliti dan dosen) harus ditingkatkan. Ketentuan-ketentuan normatif seperti dari Diknas dan LIPI perlu ditinjau, supaya menulis di jurnal internasional menjadi keharusan. Susah dan mahal memang, tapi kalau ingin maju, itu harus dilakukan. Tentu, penghargaan setinggi-tingginya perlu diberikan kepada sementara ilmuwan kita, yang secara voluntary berhasil menembus jurnal-jurnal ilmiah internasional. Namun, itu masih terlalu sedikit untuk menakhodai negeri sebesar ini, masih terlalu kecil seperti yang dinyatakan oleh Pak Dirjen Dikti tersebut. Penulis adalah Peneliti Utama, Bidang Entomologi, Badan Litbang Kehutanan. Tinggal di Ciomas, Bogor. http://www.sinarhar apan.co.id/ berita/0812/ 20/opi01. html -- Kind regards, Sulistiono Kertawacana http://sulistionoke rtawacana. blogspot. com/